Mohon tunggu...
jefry prabowo
jefry prabowo Mohon Tunggu... Program Magister Akuntansi UPN Veteran Yogyakarta

Tertarik menulis isu-isu politik, pertambangan, ekonomi hijau, dan lingkungan hidup

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Optimalisasi Tata Kelola Pertambangan : Pelajaran dari Kontroversi Raja Ampat

14 Juni 2025   13:53 Diperbarui: 14 Juni 2025   15:19 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Greenpeace Indonesia

Raja Ampat merupakan kawasan konservasi laut dan UNESCO Global Geopark dengan fokus utama pada pelestarian biodiversitas laut. Dikutip dari theaustralian.com, 75% jenis terumbu karang dunia berada di kawasan ini. Namun, tiga tahun terakhir menyaksikan ekspansi izin tambang nikel di pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, Manuran, hingga Waisai, meski Mahkamah Konstitusi pada Maret 2024 telah menegaskan bahwa pulau kecil berstatus konservasi wajib dilindungi. Ada dicrepancy serius antara kerangka hukum konservasi dan praktik pemberian izin pertambangan, yang mencerminkan lemahnya koordinasi tata kelola antar lembaga.

Regulasi pertambangan di Indonesia sebagian besar diatur oleh pemerintah pusat (Kementerian ESDM/Energi & Sumber Daya Mineral), namun tantangan muncul ketika izin tersebut bertabrakan dengan kewenangan daerah dan suara masyarakat adat Papua. Regent Raja Ampat bahkan menyatakan bahwa daerah tidak berdaya menghadapi keputusan pusat untuk perizinan di Raja Ampat. Kasus ini menuntut reformasi tata kelola berbasis desentralisasi dan memperkuat mekanisme partisipasi publik, terutama pada kawasan konservasi seperti Raja Ampat ini.

Studi  dari Marine & Coastal Policy Research mencatat peningkatan tambang sebesar 494ha dalam lima tahun terakhir di Raja Ampat, menyebabkan sedimentasi yang mengancam ekosistem. Greenpeace dan Pemerintah mengungkap dampak negatif di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, seperti kerusakan hutan hingga 500ha dan terancamnya terumbu karang melalui sedimentasi. Masyarakat adat dan pelaku pariwisata lokal telah melancarkan gelombang penolakan, menuntut pencabutan izin dan penyelamatan ekosistem laut.

Tanggapan pemerintah mulai terlihat pada 10 Juni 2025, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang merupakan kelahiran Papua, mengumumkan pencabutan empat izin tambang, menangguhkan satu lagi, dan menyisakan izin PT Gag Nikel yang berada di luar geopark tetapi diminta diawasi ketat atas instruksi langsung dari Presiden. Ini menjadi momentum penting untuk mendorong evaluasi menyeluruh perizinan tambang, memperkuat standar AMDAL, serta menuntut audit ilmiah terhadap dampak ekologis dan sosial.

Indonesia, sebagai negara penghasil Nickel terbesar dunia, tengah mengejar industrialisasi sektor baterai kendaraan listrik. Namun, transisi energi hijau menjadi ironis ketika membawa dampak lingkungan yang merusak menggugurkan spirit keberlanjutan jika tidak dikelola secara bertanggung jawab. Model tata kelola yang ideal harus menjembatani kebutuhan ekonomi global dengan kepatuhan terhadap hukum konservasi dan perlindungan hak masyarakat adat.

Rekomendasi Tata Kelola Pertambangan Berkelanjutan yang dapat Menjadi Masukan Terhadap Pemerintah :

  1. Reformasi perizinan tambang: Memperbarui regulasi dengan mekanisme lintas sektor (ESDM, KLHK, KKP) untuk menegakkan perlindungan kawasan konservasi dan keputusan MK.
  2. Partisipasi aktif masyarakat lokal dan adat: Melakukan konsultasi bebas, informasi, dan persetujuan (FPIC) serta integrasikan peran masyarakat adat sebagai co-manager atas wilayah mereka.
  3. Audit lingkungan berkala: Menerapkan pemantauan independen atas sedimentasi, air, dan keanekaragaman hayati sebagai syarat lanjutan izin operasi.
  4. Evaluasi pencabutan izin sesuai pertanggungjawaban: Melakukan audit hukum dan teknis terhadap perusahaan tambang untuk konsekuensi pencabutan izin secara permanen serta ganti rugi atas kerusakan lingkungan.
  5. Transparansi dan akuntabilitas publik: Mempublikasikan data izin, dampak AMDAL, serta distribusi dan realisasi royalti pertambangan kepada publik.

Jadi, Kasus Raja Ampat menghadirkan pelajaran penting, bagaimana tata kelola pertambangan yang bijak harus mengedepankan harmoni antara pertumbuhan ekonomi dan konservasi, terutama di kawasan yang memiliki nilai ekologis dan budaya tinggi. Transisi energi bersih tidak boleh menjadi dalih merusak "surga kecil bumi". Reformasi tata kelola, partisipasi masyarakat, dan penegakan hukum yang tegas adalah fondasi untuk menjaga keberlanjutan sumber daya alam bagi generasi mendatang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun