Mohon tunggu...
Sukron  Makmun
Sukron Makmun Mohon Tunggu... Editor - Peneliti, penulis

I'm a go-lucky-man, just free me from all these rules from needing to find an explanation from everything, from doing only what others approve of...

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Gus Dur Bukan PKI

30 Juni 2020   21:35 Diperbarui: 30 Juni 2020   22:44 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Soal narasai politik kontemporer yaitu isu bahaya laten PKI, kalau kita menilik rangkaian kejadian bernuansa politik di Indonesia, rasanya ada semacam pola yang diulang-ulang. Begitu ada peristiwa/ wacana politik besar, seperti pilpres, pergantian kabinet, penyitaan aset koruptor, pembubaran ormas, bersih-bersih BUMN, dan sejenisnya, selalu saja muncul isu ---yang sebenarnya basi--- seperti bahaya laten PKI, komunisme dan hujatan-hujatan yang tidak mendasar kepada pemerintah.

Presiden, Menteri dan Kiyai PKI?

Dalam suatu dialog antara mantan Panglima TNI, Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo (GN) dengan Usman Hamid (UH), direktur Amnesty Internasional Indonesia di Kompas TV beberapa waktu lalu soal bahaya laten PKI. 

Perdebatan menyangkut soal pemutaran film G30S/PKI, GN memprotesnya dan menuduh penghentian pemutaran film ini adalah ulah suatu 'kekuatan besar' atau kerja kaki-tangan (siapa lagi kalau bukan) PKI. Ia juga menyinggung soal upaya pencabutan TAP MPRS Nomor XXV/1966 tentang Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Sontak argumen GN ini dibantah oleh UH. 

Faktanya, film ini tidak benar diputar selama kekuasaan pemerintah orde baru. Karena film itu baru diproduksi tahun 1981 sampai ke tahun 1998. Dimana pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie diputuskan bahwa film Pengkhianatan G30S PKI dihapuskan dari kewajiban pemutaran tahunannya, dan diumumkan oleh Menteri Penerangan waktu itu, Jenderal (purn.) Yunus Yosfiah. 

Maka menurut UH, "kalau dikatakan yang meminta penghentian film itu adalah PKI, siapa lagi kalau bukan mereka. Keliru, justru dari dalam tubuh pemerintahan Presiden Habibie ketika itu memang mau meninjau ulang. "Sampai Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono membentuk satu tim khusus demi memeriksa seluruh buku sejarah yang dianggap mengandung muatan sejarah yang tidak benar. 

Maka katanya, "Apakah Pak Juwono adalah PKI? Bukan! Orang terdidik, profesor (guru besar). Pak Yunus Yosfiah PKI? Bukan! Jenderal Angkatan Darat. Jadi logika semacam itu menurut saya membangun suatu insinuasi yang negatif tanpa ada dasar fakta yang jelas." Kemudian soal TAP MPRS Nomor XXV/1966, justru dimana pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, yang kiyai itulah, upaya untuk mencabut TAP MPRS Nomor XXV tahun 1966 tentang Komunisme, Marxisme, dan Leninisme. 

"Itu Gus Dur yang mengajukan untuk menghapuskan TAP MPRS karena dianggap menjadi dasar bagi diskriminasi terhadap begitu banyak orang yang tidak salah tapi dianggap salah. Gus Dur bukan PKI, Gus Dur anak kiyai dan Gus Dur sendiri adalah kiyai." Menurutnya, logika yang disampaikan GN itu terlalu lompat-lompat dan menyederhanakan masalah. "jadi keliru kalau kemudian membangun logika lompat-lompat, seolah-olah meminta penghapusan TAP MPR (tentang PKI), itu pasti PKI. Itu keliru fatal, itu membodohi masyarakat kita", imbuhnya,.

Selain UH, semua juga tahu bahwa Gus Dur bukan PKI, ia yang justru paham Islam secara mendalam, tahu bahwa tradisi saling memaafkan adalah ajaran agama yang harus diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa. Nabi Yusuf a.s. adalah di antara para rasul yang pernah melakukan "rekonsiliasi" di saat berada dalam tampuk kekuasaan (QS. Yusuf [12]: 92).

Cucu pendiri NU ini telah mengambil pengalaman rekonsiliasi nasional yang dijalankan oleh Presiden Nelson Mandela di Afrika Selatan. Terbukti, dalam suatu kesempatan, Gus Dur mengatakan,"Saya tahu bayak kiai-kiai NU yang jadi korban. Tapi tak sedikit juga orang-orang PKI yang jadi korban. Bahkan paman saya Pak Ud (panggilan akrab KH. Yusuf Hasyim) merupakan pimpinan Ansor yang turut melawan PKI. Saya tidak menyalahkan kiai-kiai NU yang mengambil sikap keras pada PKI. Baik NU maupun PKI sama-sama korban keadaan. Membunuh atau dibunuh, itu yang terjadi. Masalahnya, Pak Harto menimpakan seluruh kesalahan pada PKI, dan seolah-seolah tentara bersih. Sekarang sudah banyak peneliti yang melihat peristiwa 65 dari berbagai sudat pandang yang menunjukkan adanya persoalan internal tentara, tepatnya angkatan darat (AD). Tidak ada faktor tunggal dalam peristiwa itu. Sekali lagi, NU dan PKI adalah korban keadaan. Karena itu, tak ada salahnya kalau saya minta maaf, karena saya tiak mau mewariskan kebencian pada generasi muda NU. Dengan pemaafan, maka ke depan generasi muda NU akan lebih ringan beban sejarahnya."

sumber foto:https://web.facebook.com/gusdur.gituaja.kok.repot/
sumber foto:https://web.facebook.com/gusdur.gituaja.kok.repot/
Gus Dur yang berlatarbelakang pesantren, mantan Ketum PBNU serta presiden RI ke-4 ---keulamaan & kenegarawanan bertemu pada dirinya--- mengajak rekonsiliasi nasional (baca: lahirnya UU Nomor 27 tahun 1999) malah dihujat. Harusnya, masyarakat membaca sejarah lebih komprehensif-holistik, agar tahu bahwa saat peristiwa G30S/PKI itu bersamaan dengan perang dingin Uni Soviet-Amerika Serikat (USSR-USA). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun