Mohon tunggu...
Syamsul Idul Adha
Syamsul Idul Adha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Profil bersifat sementara

Lahir 11 Juni 1992 di Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kontekstualisasi dalam Penalaran Jurisprudensi

3 September 2019   12:09 Diperbarui: 31 Desember 2019   11:54 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagian sarjana seperti Syamsuddin Arif dalam "Islam dan Diabolisme Intelektual" (2018) di antaranya meragukan kualifikasi dan kepakaran Ir. M. Syahrour dalam Islamologi. Pandangan atas otorisasi keilmuan Syahrour dengan alasan formalitas tidak dapat dibenarkan di dalam epistemologi keilmuan Islam yang dipandang hanya didasari oleh otoritas isnad.  Sementara diskursus keilmuan Islam juga memandang keberadaan peran penalaran  (ra'yu) seperti yang ditegaskan oleh Fakhruddin Al-Razi dalam al-Mahsul dan Ibn Rusyd dalam Fashal al-Maqal, sebagai bagian yang tidak terpisahkan sebagai bagian dari sumber keilmuan Islam. Kajian-kajian penalaran hukum yng tidak terlepas dari kontekstualitas keadaan sosial,  kekuatan framework hanya dapat diukur dengan tinjauan metodologi profan dan positivistik seperti hermeneutika, kritik historis, filsafat ilmu, psiko-sosial, dan sebagainya. Pengujian dengan pendekatan disiplin ilmu di atas bukan bertujuan utk menjustifikasi kebenaran teologis dari framework penelitian yang diaplikasikan, tetapi dari itu hanya bertujuan untuk menguji tingkat kekuatan validitas dan objektivitas hasil kajian keilmuan.

Metodologi analitik Syahrour tidak dapat terpisah dari teori Al-Jinni yang menolak adanya al-mutaraif dalam teks (nash) dan menganjurkan analisis penanda (semantic). Konsep Asinomity yang diuraikan Syahrour seperti dengan menyebut terminologi Al-Kitab dan Al-Quran secara berbeda bertujuan untuk melakukan analisis penanda atas kedua tersebut sesuai dengan konteks yang dikehendaki oleh teks. Pendekatan analisis materialism dialectic yang digunakan dalam analisis Syahrour bertujuan untuk dapat membaca nash (teks) sesuai dengan kebutuhan dan penalaran dari pembaca yang berlatar kultur dan tradisi yang berbeda. Pembacaan teks seperti dianjurkan oleh Anna Wiezback tidak boleh mengabaikan aspek pluralitas (keberagaman) dari identitas pembaca teks dan kebutuhan yang berbeda yang dikehendaki oleh teks. Sebagian kalangan yang membatasi pembacaan teks pada satu penafsiran tunggal, pada prinsipnya justru menyebabkan teks (nash) menjadi rigid dan tidak sejalan dengan pembaca sebagai penerima teks. Al-Qarafi dalam Anwar Al-Buruq fi Al-Furuq misalnya dengan mengutip keterangan Malik ibn Anas mengecam keras literalisme (Zhahiriyah) dalam penafsiran teks sebagai bagian dari pembacaan hukum Islam yang tidak disertai pemahaman atas kondisi yang sesuai atas pembacaan teks.

Perlu diperhatikan bahwa teks (nash) tidak terlepas dari lingkungan (habitus) dan identitas primordial seperti suku bangsa, agama, gender yang secara tidak langsung menentukan pembacaan atas teks. Pada sisi yang lain, teks yang berada pada lingkungan (habitus) dan karakteristik antropologis yang berbeda tidak dapat dipahami dan bahkan menjadi tidak relevan dengan kondisi yang dihadapi. Hal ini disebabkan teks hanya dapat menjadi identifikasi atas kondisi pada suatu lingkungan waktu dan tempat, sebagai suatu hubungan yang mengikat. Konsep muntij tsaqafi yang memperlakukan teks (nash) tidak dapat dilepaskan begitu saja dari dimensi lingkungan (habitus), meniscayakan penafsiran harus disesuaikan dengan tuntutan pembaca teks. Hal ini meniscayakan hubungan yang fleksibel antara teks (nash) dan kebutuhan (dharuri) dari pembaca teks untuk menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi. Konsep ini yang lebih sering disebut sebagai Al-'Amr Al-Mujtama' 'alaih merupakan salah satu pendekatan metodologi bagi Mazhab-mazhab klasik seperti Mazhab Hijaz, Mazhab Irak (Kufah), Mazhab Syiria untuk menafsiran teks (nash) seperti tradisi profetik yang saat itu tidak terkorpus secara baku, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi praktik yang diakui oleh masing-masing, sekalipun praktik ini sendiri oleh Abu Yusuf dikritik sebagai tindakan yang terlalu fleksibel dalam memahami teks (nash).

Perlu diperhatikan seperti dikemukan Aloys Sprenger bahwa gerakan revivalis (tekstualis) yang berupaya memperkuat teks sebagai bagian otoritas seperti yang dipelopori oleh Al-Syafi'i dan dikritik oleh Nasr Hamid Abu Zayd, yang ditunjukkan oleh arah literalisme atau setidaknya meletakkan teks sebagai yang utama bagi penalaran jurisprudensi dalam Mazhab Syafi'i justru berbeda dari konstruksi jurisprudensi di kalangan Hanafiyah dan Maliki bahkan Hanabilah (dengan konsep 'urf, Maslahah  dan Sadd al-Dzari'ah) yang tetap menjadikan keadaan dan kebutuhan dari penerima teks (nash) sebagai bagian bukan hanya pertimbangan tetapi juga rasionalisisasi dari produk jurisprudensi Mazhab, tidak dapat diabaikan upaya untuk mengukuhkan (tatsbit) keberadaan teks (nash) dan menjaga legalitasnya. Sedangkan bagi Mazhab-mazhab yang berorientasi pada purposivisme (al-maqashid) secara objektif berupaya memperlakukan secara objektif teks (nash) dengan tetap menjaga keberadaan legalitas dan legitimasi teks sebagai sumber jurisprudensi dengan tujuan mencapai kemanfaatan atau pemenuhan atas kebutuhan dari pembaca teks.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun