Mohon tunggu...
Ahmad Jayakardi
Ahmad Jayakardi Mohon Tunggu... pensiunan -

Kakek2 yang sudah males nulis..............

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

#KamiTidakTakut, Padahal Saya Takut!

18 Januari 2016   09:11 Diperbarui: 27 Desember 2016   18:04 3687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masjid itu kami bangun mulanya hanya dengan niat. Cuma sekadar bermodal semangat. Semangat mewujudkan tempat ibadah itu, karena sarana terdekat berjarak 3 km dari rumah, terlalu ngos-ngosan kalau ditempuh dengan berjalan kaki…..

Lantas proses pembangunan berlangsung. Begitu saja. Semua jadi pemilik-proyek, semua jadi arsitek, semua jadi pemodal. Untungnya pelaksanaannya tetap pada tangan profesional (bayangkan saja kalo kami ikutan memasang bata, pasti temboknya miring, dan lebih banyak ngobrol-ngopinya daripada kerja). Genteng sebelah sini warnanya natural merah bata, sebelah sana keramik diglasir warna biru terang. Keramik lantai di depan warnanya coklat, dibelakang berwarna hijau.

Sudahlah, pokoknya jadi. Dan masjid itu memang berdiri, hanya seluas kira-kira 50an meterpersegi, pas-pasan buat melaksanakan shalat Jum’at dengan 40 jama’ah. Gunjreng!

Setelah keinginan terwujud (biarpun seadanya), kami mulai saling melirik. Eh, dia ternyata Muhamadiyah, si Polan seorang NU, si Badu aktivis Salafi. Ah, biar sajalah, pokoknya ibadah! Kalo si Polan kebetulan jadi imam shalat shubuh, kami yang jadi ma’mum terpaksa ’biyayak-an’  sewaktu i’tidal, karena dia baca doa Qunut. Kalo gerombolan Qul yg jadi imam, ma’mumnya terpaksa ikut meski menggerutu ”Bacaan ayatnya Qul lagi, Qul lagiiii........”. Kalo ada yg adzan tapi suaranya pas-pasan, paling yang lain cuma bilang dengan misterius ”Gak ada yang suaranya lebih sumbang yak?”  

Sejak awal, memang ini masjid warga dengan berbagai latar belakang. Dan kami sepenuhnya toleran dengan berbagai perbedaan itu.

Tapi itu kejadian 25 tahun yang lalu. Kini masjid kami tambah makmur, seiring bertambahnya kemakmuran warganya. Daya tampung masjid sudah 400an jama’ah. Ma’mum shalat shubuh pun bisa 4-5 shaf ke belakang. Punya Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) untuk mendidik putra-putri warga usia dini. Punya.unit usaha kecil-kecilan buat biaya operasi masjid. Punya imam dan tenaga kebersihan (marbot) tetap. Dana ZIS (Zakat-Infaq-Shadaqah) yg terkumpul sangat cukup untuk mengadakan berbagai kegiatan. Pengurus Masjid (yang kami sebut sebagai Dewan Kemakmuran Masjid-DKM) datang dan pergi, berganti setiap 2 tahun tanpa putus.


Memang, gejolak kecil-kecilan selalu ada. Misalnya saja, suatu kali Ketua DKM yang baru memutuskan untuk membaca (atau menyuruh baca) ayat suci Al-Qur’an sebelum waktu shubuh tiba, dengan alasan kuat, membangunkan warga untuk Qiyamul Lail......  Tapi speaker yang disetel kencang pada jam 2 pagi itu, cukup untuk membangunkan seorang preman yang mendatangi masjid sambil membawa clurit. Membangunkan merbot yang tertidur, mematikan kaset, dan membuangnya ke jalan. ”Bilang Ketua DKM kalo gak terima saya tunggu di sini atau dipersilakan datang ke rumah...... .”   Tapi selain beberapa insiden kecil seperti itu, tidak ada hal-hal lain yang mengganggu kebersamaan dan ketenteraman hidup.

Sampai suatu kali..........

Ketua DKM itu memang pilihan kami. Dia sudah cukup lama tinggal di lingkungan ini. Aktivis masjid, sopan santun dalam berucap, tidak pernah secara jelas menunjukkan alirannya serta tidak ada hal lain yang memberatkan kami untuk memilihnya. Tapi ternyata itu baru permulaan. Pengurus lain dalam struktur organisasi di bawahnya, ternyata orang-orang baru yang nyaris atau bahkan sama sekali tidak kami kenal. Imam tetap masjid diganti dengan pilihannya. Mulailah masjid kami berubah revolusioner. Khutbah Jum’at dan ceramah dalam majelis taklim mingguan segera berbeda warna.

Mengapa harus toleran dengan musuh kita? Mereka selalu memerangi kita. Kita harus menyatakan perang. Jihad untuk membela Allah. Mati karena jihad adalah mati syahid dan janji Allah untuk masuk surga sudah pasti adanya  Indonesia itu negara bentukan kafir! Jangan pernah takut kepada Polisi dan Tentara. Mereka sepenuhnya kafir! Menumpahkan darah kafir adalah halal hukumnya....... Gus Dur itu kafir! NU itu kafir! Muhammadiyah juga kafir!. Menumpahkan………..(hiyaaaaaaah!)

Laporan Keuangan Masjid tidak pernah lagi diumumkan. Mengumumkan duit ZIS yang dipercayakan umat kepada DKM itu dianggap bid’ah dan riya. Keputusan tentang penetapan Idul Fitri dan Idul Adha yang berkaitan dengan shalat Id, ditetapkan sendiri tidak lagi melibatkan warga.

Kami lalu mulai merasa mual. Gerakan ‘kontra-revolusi’ mulai muncul dengan mengadakan sendiri shalat Idul Adha yang waktunya sesuai dengan ketetapan Pemerintah di depan masjid yang sengaja dikunci oleh DKM. Di bawah tuduhan jelas.... kafir! Dan ancaman ”menumpahkan.........” (hiyaaaah!).  Puncak dari semuanya adalah ketika semua ustad/ustadzah di TPA diganti. Apa jadinya anak-anak kami, cucu-cucu kami kalau pola pendidikannya seperti itu?

Mulailah gerombolan ’kontra-revolusi’ ini bergerilya. Tapi cemmana mau disebut gerakan gerilya kalau semua yg ’dilawan’ juga orang-orang sekitar kami? Mereka sudah banyak merekrut orang-orang baru. Di RT sini ada 3 rumah di kontrak. Di RT sebelah 2 rumah dibeli. Dan seterusnya, en so on, et cetera. Isinya, orang-orang yang aktif di masjid di bawah kepengurusan baru ini. Gerakan ’kontra-revolusi’ kami ini segara saja terdeteksi. Dan ada saja tetangga baru itu menghubungi kami. Secara sopan-santun dan lemah-lembut bilang bahwa gerakan kami ini bisa di sebut sebagai gerakan kaum kafir. Dan kami pun segera ngarti kalau lanjutannya adalah : ”menumpahkan............” (hiyaaaah!)

Tapi kami harus peduli. Anak-anak itu harus kami lindungi. Kami lalu menghubungi aparat. Aparat tahu, dan mendukung, tapi tidak mampu bertindak. Atas nama kebebasan ber-ekspresi, ’faham’ itu sah-sah saja. Mungkin sampai ada kejadian yang mengganggu ketenteraman, barulah tindakan bisa dipertanggungjawabkan. 

Kami sadar benar bahwa secara individu suara kami pastilah tidak (dianggap) berarti. Tapi kalau itu suara mayoritas warga?. Nah....mulailah kami  menghimpun kebersamaan (lagi). Gerombolan lama yang ikut mendirikan masjid sebagian besar sudah tercerai-berai dan banyak yang keluar dari lingkungan kami. Baik karena kondisi finansial yang membaik atau hal lain yang memaksa pindah rumah, atau karena dipanggil (oleh Sang Maha Pemberi Hidup). Banyak juga warga baru ketika secara personal diajak bergabung cuma bilang : ”Saya setuju dan mendukung gerakan ini. Tapi keluarga saya siapa yang melindungi kalau terjadi sesuatu?”. Nah lo.........

Meskipun banyak hambatan, tapi gerakan ini kemudian menjadi ’bola-salju’ dan para mantan pengurus DKM banyak yang setuju untuk bergabung. Gerakan ini lalu berhasil memaksakan sebuah ’munaslub’ dan memaksa sang Ketua DKM mundur......

Tak lama, sebuah bom meledak di kawasan perumahan sebelah dan aparat bertindak. Semua pengikut Ketua DKM lama segera angkat kaki dari lingkungan kami dan ............. (ahh, sudahlah, tapi jelas, gak lagi.......... hiyaaaaah!)

Ini bukan cerita fiksi. Beneran terjadi di lingkungan kami.

Jadi........ meskipun tagar #KamiTidakTakut itu benar, tapi sejujurnya kami (minimal yang nulis) amat takut. Kaum ’revolusioner’ itu sudah berpikir, berencana dan melakukan tindakan untuk me-regenerasi  kadernya secara berkesinambungan. Tidak usah disebutkan dari organisasi mana mereka berasal. Tapi faktanya ....... organisasi itu 'melahirkan'  banyak kader yang kemudian kita namakan sebagai 'teroris'.  Adalah kebetulan di tempat kami mereka bertemu dengan gerakan ’kontra-revolusi’ yang juga lumayan militan. Tapi bagaimana di tempat lain? Bagaimana kalau warganya tak peduli dan membiarkan pendidikan ’revolusioner’ ini terjadi di depan hidungnya?. 

Apa gunanya kalau #KamiTakPeduli?

Tak peduli dengan anak-anak kami, pendidikan anak toh sekolah yang urus. Tak peduli dengan lingkungan kami, karena itu  adalah tanggung jawab aparat. Kami sibuk. Tidak ada waktu kami untuk itu. Kalau kami tidak bekerja, nafkah keluarga bisa terganggu. Kalau terjadi sesuatu dengan kami gara-gara aktivitas kami di luar keluarga, siapa yang menanggung kehidupan keluarga kami?

Kira-kira lima puluh tahun yang lalu faham komunis bisa berkembang dan marak di Indonesia, karena faktor ekonomi. Orang tertarik dengan komunis karena menjanjikan hal yang ’sama rata-sama rasa’. Sekarang, sebagian dari kita sudah hidup makmur. Tapi bagaimana di tempat lain?. Ketimpangan ekonomi masih jelas terpeta. Dan faktor ’jihad-mati syahid-masuk surga’ itu rasanya sama menariknya. Mungkin juga untuk melepaskan diri dari himpitan kesulitan hidup di dunia yang memang fana ini.

Jadi, masihkah kita tak peduli dengan proses regenerasi faham ’intoleran’ ini? Sekarang, mereka masih jadi minoritas. Bagaimana kelak?

Salam #KamiPeduli..........   

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun