Mohon tunggu...
Ahmad Jayakardi
Ahmad Jayakardi Mohon Tunggu... pensiunan -

Kakek2 yang sudah males nulis..............

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

#KamiTidakTakut, Padahal Saya Takut!

18 Januari 2016   09:11 Diperbarui: 27 Desember 2016   18:04 3687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kami lalu mulai merasa mual. Gerakan ‘kontra-revolusi’ mulai muncul dengan mengadakan sendiri shalat Idul Adha yang waktunya sesuai dengan ketetapan Pemerintah di depan masjid yang sengaja dikunci oleh DKM. Di bawah tuduhan jelas.... kafir! Dan ancaman ”menumpahkan.........” (hiyaaaah!).  Puncak dari semuanya adalah ketika semua ustad/ustadzah di TPA diganti. Apa jadinya anak-anak kami, cucu-cucu kami kalau pola pendidikannya seperti itu?

Mulailah gerombolan ’kontra-revolusi’ ini bergerilya. Tapi cemmana mau disebut gerakan gerilya kalau semua yg ’dilawan’ juga orang-orang sekitar kami? Mereka sudah banyak merekrut orang-orang baru. Di RT sini ada 3 rumah di kontrak. Di RT sebelah 2 rumah dibeli. Dan seterusnya, en so on, et cetera. Isinya, orang-orang yang aktif di masjid di bawah kepengurusan baru ini. Gerakan ’kontra-revolusi’ kami ini segara saja terdeteksi. Dan ada saja tetangga baru itu menghubungi kami. Secara sopan-santun dan lemah-lembut bilang bahwa gerakan kami ini bisa di sebut sebagai gerakan kaum kafir. Dan kami pun segera ngarti kalau lanjutannya adalah : ”menumpahkan............” (hiyaaaah!)

Tapi kami harus peduli. Anak-anak itu harus kami lindungi. Kami lalu menghubungi aparat. Aparat tahu, dan mendukung, tapi tidak mampu bertindak. Atas nama kebebasan ber-ekspresi, ’faham’ itu sah-sah saja. Mungkin sampai ada kejadian yang mengganggu ketenteraman, barulah tindakan bisa dipertanggungjawabkan. 

Kami sadar benar bahwa secara individu suara kami pastilah tidak (dianggap) berarti. Tapi kalau itu suara mayoritas warga?. Nah....mulailah kami  menghimpun kebersamaan (lagi). Gerombolan lama yang ikut mendirikan masjid sebagian besar sudah tercerai-berai dan banyak yang keluar dari lingkungan kami. Baik karena kondisi finansial yang membaik atau hal lain yang memaksa pindah rumah, atau karena dipanggil (oleh Sang Maha Pemberi Hidup). Banyak juga warga baru ketika secara personal diajak bergabung cuma bilang : ”Saya setuju dan mendukung gerakan ini. Tapi keluarga saya siapa yang melindungi kalau terjadi sesuatu?”. Nah lo.........

Meskipun banyak hambatan, tapi gerakan ini kemudian menjadi ’bola-salju’ dan para mantan pengurus DKM banyak yang setuju untuk bergabung. Gerakan ini lalu berhasil memaksakan sebuah ’munaslub’ dan memaksa sang Ketua DKM mundur......

Tak lama, sebuah bom meledak di kawasan perumahan sebelah dan aparat bertindak. Semua pengikut Ketua DKM lama segera angkat kaki dari lingkungan kami dan ............. (ahh, sudahlah, tapi jelas, gak lagi.......... hiyaaaaah!)

Ini bukan cerita fiksi. Beneran terjadi di lingkungan kami.

Jadi........ meskipun tagar #KamiTidakTakut itu benar, tapi sejujurnya kami (minimal yang nulis) amat takut. Kaum ’revolusioner’ itu sudah berpikir, berencana dan melakukan tindakan untuk me-regenerasi  kadernya secara berkesinambungan. Tidak usah disebutkan dari organisasi mana mereka berasal. Tapi faktanya ....... organisasi itu 'melahirkan'  banyak kader yang kemudian kita namakan sebagai 'teroris'.  Adalah kebetulan di tempat kami mereka bertemu dengan gerakan ’kontra-revolusi’ yang juga lumayan militan. Tapi bagaimana di tempat lain? Bagaimana kalau warganya tak peduli dan membiarkan pendidikan ’revolusioner’ ini terjadi di depan hidungnya?. 

Apa gunanya kalau #KamiTakPeduli?

Tak peduli dengan anak-anak kami, pendidikan anak toh sekolah yang urus. Tak peduli dengan lingkungan kami, karena itu  adalah tanggung jawab aparat. Kami sibuk. Tidak ada waktu kami untuk itu. Kalau kami tidak bekerja, nafkah keluarga bisa terganggu. Kalau terjadi sesuatu dengan kami gara-gara aktivitas kami di luar keluarga, siapa yang menanggung kehidupan keluarga kami?

Kira-kira lima puluh tahun yang lalu faham komunis bisa berkembang dan marak di Indonesia, karena faktor ekonomi. Orang tertarik dengan komunis karena menjanjikan hal yang ’sama rata-sama rasa’. Sekarang, sebagian dari kita sudah hidup makmur. Tapi bagaimana di tempat lain?. Ketimpangan ekonomi masih jelas terpeta. Dan faktor ’jihad-mati syahid-masuk surga’ itu rasanya sama menariknya. Mungkin juga untuk melepaskan diri dari himpitan kesulitan hidup di dunia yang memang fana ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun