Mohon tunggu...
Jausi Ilyas
Jausi Ilyas Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukum Penggadaian dalam Islam

19 Maret 2019   07:28 Diperbarui: 19 Maret 2019   07:37 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (rain), dan murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaiyan tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka murtahin boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabia ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang tersebut).

Tentunya, pemanfaatannya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulallah SAW.

"binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nagkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperoleh boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan."(Hr. Tirmidzi;hadis sahih)

Syeh Al-Basam menyatakan, "menurut kesepakatan ulama', biaya pemeliharaan barang gadai dibedakan kepada pemiiknya".

Demikian juga, pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga miliknya, kecuali dua pengecualian dua ini (yaitu kendaraan hewan yang memiliki air susu yang diperas, pes).

Penulis kitab al-Fiqh al-Muyassar menyatakan, "manfaat dan pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Orang lain tidak boleh mengambilnya tanpa seizinya. Bila ia mengizinkan Murtahin (pemberi utang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalandan utang gadainya dihasilkan dari peminjam, maka yang demikian itu tidak boleh dilakukan, karena itu adalah peminjaman utang yang menghasilkan manfaat.

Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka murtahin diperbolehkan untuk mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya nafkah yang dia berikan kepada barang gadai tersebut, tanpa izin dari penggadai, karena Rasulallah SAW bersabda;

"binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makananya) bila sedang digadai, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makananya bila sedang digadai. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan." (Hr. Al-Bukhari, no. 2512).

Ini adalah pendapat madzhab Hanabilah. Adapun mayoritas ulama fikih dari Madzhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi'iyah berpandangan dengan tentang tidak bolehnya murtahin mengambil manfaat barang gadai, dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai, dengan sabda Rasulallah SAW.

"dia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya menanggung bianya pemeliharaannya."(Hr. Ad-Daruquthni dan Al-Hikam)

Tidak ada ulama yang mengamalkan hadis pemanfaatan kendaraan dan hewan perah sesuai nafkahnya kecuali Ahmad, dan inilah pendapat yang rajah-Insya Allah-karena dalil hadits shahih tersebut. Pemanfaatan kendaraan gadai dengan pernyataan, "Hadits ini serta kaidah dan ushul syariat menunjukkan bahwa hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak kepemilikan dan murtahin (yang memberikan uatang) memiliki hak jaminan padanya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun