Mohon tunggu...
Jatnika Wibiksana
Jatnika Wibiksana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mati boleh, tua jangan

Ngetril sampe tua

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Refleksi Telat 80 Tahun Persib, Quo Vadis Kritisisme

10 Juni 2013   09:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:16 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

TULISAN ini mungkin sedikit telat saya tempel di Kompasiana. Tapi melihat apa yang terjadi di ujung laga Persib kontra tuan rumah Arema Indonesia tempo hari membuat ketakutan mendapat ekses negatif --- seperti yang dialami orang-orang yang mencoba kritis terhadap Persib belakangan ini --- tidak lagi saya pedulikan. Meski sedikit telat, percayalah, substansi tulisan ini rasanya akan tetap relevan untuk beberapa bulan ke depan. Atau bahkan mungkin beberapa tahun ke depan ketika Persib kembali merayakan milad ke-81, 82, 83, dan seterusnya. Dengan catatan, komposisi jajaran petinggi Persib masih seperti sekarang.

Saya selalu meyakini, Persib --- ini mungkin ujaran klise yang ada di benak setiap bobotoh --- adalah tim terkeren di kolong jagat. Keren di sini tentu saja parameternya hati dan subyektivitas, bukan prestasi. Jika bicara soal prestasi, rasanya jauh panggang dari api. Setelah 18 tahun tanpa gelar, pohon harapan melihat Persib juara yang benihnya disemai setiap awal musim baru tak pernah sekali pun berbuah. Jangankan berbuah, berbunga pun tidak. Pohon harapan itu selalu mati ditelikung hama dan gulma yang itu-itu juga.

Sebagai bobotoh, berharap tim kesayangannya juara dalah sebuah fitrah refleks yang selalu bersemayam di hati paling dalam. Jangankan bobotoh tim sekelas Persib yang disokong fulus melimpah dan ditopang pemain berkualitas, suporter tim gurem --- maaf --- seperti Persidafon Dafonsoro atau Persiram Raja Ampat pasti juga punya harapan serupa. Namun, maaf beribu maaf, untuk saat ini mari kita mulai berhenti berharap juara. Sebab, di atas tanah tempat kita berpijak saat ini, ada masalah yang lebih krusial yang tengah dihadapi bobotoh, yakni hilangnya kritisisme.

Bagi saya hasil pertandingan atau kompetisi sudah bukan lagi persoalan. Seperti kalimat yang pernah diungkapkan mubaligh Zaenudin MZ: di atas ranjang perempuan itu rasanya sama, yang membedakan hanyalah pandangan mata. Demikian pula hasil pertandingan Persib di mata saya. Seri, kalah, atau menang, sensasinya seragam. Bahkan nyaris tidak berasa apa-apa. Yang membedakan adalah atmosfer sekeliling saya. Ekspresi bobotoh jelas akan beda ketika Persib seri, kalah, atau menang.

Sungguh, saya nyaris tak pernah girang ketika Persib menang, juga tidak sedih kala Maung Bandung kalah atau seri. Lagi pula, saya mendukung Persib bukan karena menang, kalah, atau seri. Saya datang ke stadion hanya untuk melampiaskan ekstase besar yang selalu memenuhi ruang adrelanin saya saban kali mengetahui ada jadwal Persib versus tim anu di stadion anu pada hari anu tanggal seanu.

Tetapi, ada satu hal yang selalu membuat saya sedih akhir-akhir ini. Mungkin tepatnya bukan sedih, lebih kepada rasa kecewa dan tak habis pikir. Hal yang dimaksud adalah hilangnya kritisisme. Saya kira inilah periode paling kelam yang pernah dialami Persib dalam hal iklim kritisisme. Dewasa ini, kita sama sekali dilarang kritis terhadap Persib. Saya tidak sedang membicarakan perilaku aktivis forum-forum bobotoh di laman facebook atau media sosial lain. Bagi saya, kekritisan lewat sosial lebih mirip sambal cibiuk. Terasa pedas tapi tidak cukup membuat sakit perut. Terdengar nyaring tapi nyaris tidak memberikan dampak apa-apa terhadap sasaran kritikitan.

Di sini, saya sedang menyoal dunia riil, yakni perilaku bobotoh keseharian dan juga media massa. Saya masih ingat, dan pasti akan ingat terus, bagaimana Panglima Viking dengan hanya dibantu seorang kawan membentangkan spanduk bernada kritikan saat Persib menggelar latihan di Lapangan UPI sekian tahun lalu. Atau hadirnya spanduk bertuliskan Pecat Yossi (manajer Persib kala itu) yang ujug-ujug muncul dari Tribun Timur saat Persib berlaga di Stadion Siliwangi. Dan juga demonstrasi-demontrasi lain dengan skala lebih besar dan ekstrem atau justru dengan gaya klandestine yang dilakukan secara elegan melalui selebaran-selebaran.

Yang paling segar di kepala, yakni ketika Ketua Viking terlibat gesekan terbuka dengan Manajer Persib Umuh Muchtar beberapa waktu ke belakang. Dengan gagah berani Herru Joko melemparkan kritik tajam kepada Umuh dalam sebuah komunike terbuka di dekat Stadion Siliwangi. Sebuah tindakan stingax yang tidak mampu dilakukan oleh pentolan bobotoh mana pun sekarang ini. Sebuah peristiwa keren sempat hendak dibawa beranjak ke ranah hukum segala.

Melihat aksi heroik Herru Joko kala itu, wuih saya merasakan Bandung benar-benar indah tak ubahnya di Liverpool atau Milan --- dua kota sepakbola paling cool di dunia menurut saya. Tapi, maaf, jangan pernah berharap momen keren yang diinisiasi Ketua Viking seperti itu bakal berulang dalam beberapa warsa ke depan. Padahal, apa yang dilakukan Ayi Beutik dulu --- dan juga Herru Joko kemarin --- adalah sebuah pembelajaran penting bagi kita sebagai bobotoh kelas bawah dalam membangun sudut pandang terhadap Persib. Bahwa, betapa pun kita sayang terhadap Persib, sikap kritis tetap harus tetap dijaga.

Kemarin sempat ada secercah harapan dari kawan-kawan dari Persib Watch. Tapi, apa mau dikata, mereka memposisikan diri sebagai bobotoh dengan gaya kritis yang puritan. Bukan ala Ayi Beutik atau Herru Joko dulu. Tidak salah memang, bahkan bagus, namun saya lebih suka kefrontalan Ayi Beutik dulu dan militansi Herru Djoko tempo hari. Andai saja mereka mau kembali beraksi seperti dulu, ah rasanya persetan dengan gelar juara. Tindak-tindak tanduk seperti itu lebih dari cukup untuk membangkitkan gairah kebobotohan saya. Dan sudah lebih dari cukup untuk mengalihkan libido melihat Persib meraih titel juara.

Kondisi kian parah karena peran media sebagai ujung tombak pembangunan sikap kritis sama sekali sudah majal atau dimajalkan. Coba perhatikan, media mana yang sekarang berani mengkritik Persib secara terang-terangan. Dulu koran-koran seperti Pikiran Rakyat, Galamedia, atau Tribun, masih mau bersikap kritis. Meski hanya sesekali. Tapi sekarang, sama sekali nol. Mereka hanya berani bersikap kritis dengan meminjam 'mulut' bobotoh yang ditampung dalam rubrik-rubrik sms. Entah apa gerangan sebabnya. Mudah-mudahan saja bukan karena para jurnalisnya berhasil dibekap dengan fulus oleh pihak-pihak yang tidak ingin adanya sikap kritis terhadap Persib. Ya, semoga!

Di akhir refleksi yang sangat kesiangan ini, saya hanya ingin mengucap selamat. Bukan ucapan selamat ulang tahun ke-80 tahun yang sudah lewat beberapa bulan ke belakang. Tapi ucapan selamat kepada mereka yang telah berhasil memberangus sikap kritis bobotoh. Sungguh Anda juara! Quo vadis, kritisisme!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun