Mohon tunggu...
Jati Kumoro
Jati Kumoro Mohon Tunggu... Wiraswasta - nulis di podjok pawon

suka nulis sejarah, kebudayaan, cerpen dan humor

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mataram Kuno: Siapa Sosok di Balik Nama Sri Kahulunan di Percandian Plaosan Lor?

9 Juli 2021   09:05 Diperbarui: 9 Juli 2021   09:18 1213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/dokumentasi-candi-plaosan-dalam-bentuk-3-dimensi/

Salah satu sosok yang sangat misterius dalam sejarah Jawa Kuno adalah "Sri Kahulunan". Nama "Sri Kahulunan" ini muncul dalam dua buah prasasti Trui Tpussan 842 M, prasasti yang ditulis untuk memperingati penetapan desa Tri Tpusan menjadi sima bagi kamulan di Bhumisambhara oleh seseorang yang disebut "Sri Kahulunnan". Selain itu nama ini juga terdapat dalam tulisan-tulisan singkat di empat buah candi perwara di percandian Plaosan Lor. Keempat tulisan itu berbunyi "anumoda sri kahulunnan" yang artinya persembahan dari "Sri Kahulunan". Tulisan "anumoda sri kahulunnan" ini menjadi menarik karena dua diantaranya bersebelahan dengan tulisan "dharmma sri maharaja" dan ada satu yang berhadapan dengan tulisan tersebut.

Berdasar prasasti Trui Tpussan, dapat diketahui bahwa "Sri Kahulunan" itu merupakan sosok yang mempunyai kedudukan yang cukup penting di kerajaan dan ia memiliki "daerah lungguh" sendiri yaitu di wilayah (watak) Kahulunnan. Selain itu, jika benar bahwa sosok "Sri Kahulunnan" di prasasti Trui Tpussan itu sama dengan yang namanya tertera di di empat candi perwara yang berada di percandian Plaosan maka dapat diduga bahwa sosok yang dimaksud dengan nama "Sri Kahulunnan" ini adalah seorang yang  berkedudukan tinggi di dalam masyarakat dan termasuk kerabat dekat raja yang berkuasa yang karenanya diperkenankan untuk ikut menyumbang membangun candi perwara di candi kerajaan.

Siapakah "Sri Kahulunnan" ini?

Berdasarkan keterangan dari kitab Udyogaparwa yang berbahasa Jawa Kuno, yang mana Yudhistira menyebut Kunti ibunya dengan sebutan "Sri Kahulunnan", de Casparis (1950) sampai pada pendapat bahwa Sri Kahulunnan ini adalah untuk menyebut Yang Mulia Sri Ratu. Lebih jauh dikatakan bahwa "Sri Kahulunnan" yang ada di prasasti Trui Tpussan itu sama dengan yang tertera di percandian Plaosan Lor yaitu yang mulia sri ratu permaisuri dari Raja yang mendirikan percandian Plaosan Lor. De Casparis mengatakan bahwa percandian Plaosan Lor itu dibangun oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan yang namanya tertera di dua tulisan pendek pada dua candi perwara "asthupa sri maharaja rakai pikatan", maka "Sri Kahulunnan" sebagai sang permaisuri ini dapat diidentifikasikan sebagai Pramodawardhani, putri raja Samaratungga yang namanya disebut dalam prasasti Kayumwungan 824 M.

Pendapat de Casparis yang menyamakan "Sri Kahulunnan" dengan yang mulia sri ratu atau permaisuri Pramodawardhani ini ditolak oleh Boechari. Boechari (1982) mengatakan bahwa di dalam prasasti Sukun yang bertarikh 1161 M pada bagian yang menuliskan persembahan kepada sekelompok pejabat kerabat raja menyebut adanya nama "Sri Kahulunnan" disamping  permaisuri, putra mahkota ("hino") dan putra-putra raja yang lain yang mempunyai hak untuk menggantikan duduk di atas tahta kerajaan ("halu" dan "sirikan"). Dengan demikian jelas bahwa "Sri Kahulunnan" ini bukanlah sosok seorang permaisuri raja. Jika bukan permaisuri apakah sosok ini adalah seorang selir raja? "Sri Kahulunnan" sebagai selir raja juga tak tepat karena apakah setiap selir itu memiliki "daerah lungguh" dan juga apakah seorang selir raja ikut diperkenankan membangun empat candi perwara di percandian kerajaan, sepertinya tidak.

Menurut Boechari (1982), dalam "Udyogaparwa", "Sri Kahulunnan" dipergunakan oleh Yudhistira untuk menyebut Kunti ibunya sehingga arti yang lebih tepat adalah sebagai "ibu suri" karena yang jelas-jelas sebagai permaisuri Yudhistira adalah Draupadi. Dengan demikian jika merujuk ke pendapat de Casparis yang menyebutkan bahwa percandian Plaosan Lor itu dibangun oleh Sri Maharaja Rakai pikatan maka sosok "Sri Kahulunnan" adalah untuk menyebut ibunya. Apabila masih tetap mengidentifikasikan "Sri Kahulunnan" dengan Pramodawardhani berati Pramodawardhani ini adalah ibu dari Rakai Pikatan.

Apabila benar demikian maka dapat dikatakan bahwa Pramodawardhani telah menikah dan berstatus sebagai isteri kedua dari Rakai Patapan Pu Palar. Pernikahannya adalah sebagai bentuk dari perkawinan politik untuk menjaga loyalitas Rakai Patapan terhadap raja Samaratungga. Dari perkawian inilah kemudian menurunkan Rakai Pikatan karena dari perkawinan yang sebelumnya sebagaimana tercatat dalam prasasti Gondosuli tidak ada seorang pun dari anak Rakai Patapan  yang secara meyakinkan dapat diidentifikasikan sebagai Rakai Pikatan.

Kusen (1994) sepakat dengan pendapat Boechari yang menyatakan bahwa "Sri Kahulunnan" itu untuk menyebut kepada "ibu suri". Namun "ibu suri" disini yang dimaksudkan oleh Kusen adalah ibu dari Rake Garung (828-847 M), karena prasasti Trui Tpussan itu diterbitkan dimasa pemerintahan Raja Garung. Menurut prasasti Wanua Tengah III (908 M), Rake Garung adalah anak dari "Sang Lumah i Tuk" (yang meninggal dan dimakamkan di Tuk). Tidak diketahui dengan pasti siapa yang dimaksud dengan yang dimakamkan di Tuk ini. Namun melihat lamanya dia berkuasa diatas tahta kerajaan menunjukkan bahwa Rake Garung ini mempunyai kedudukan yang kuat sebelumnya dan kemungkinan besar dia adalah putra dari penguasa sebelum Rake Warak yaitu Rake Panaraban. Dengan demikian "Sri Kahulunnan" ini adalah isteri dari Rake Panaraban.

Dengan mengetahui bahwa "Sri Kahulunnan" ini adalah ibu dari Sri Maharaja Rakai Garung, maka tulisan pendek "dharmma sri maharaja" yang tertera di candi perwara percandian Plaosan Lor itu adalah untuk menyebut Rake Garung, kecuali pada tulisan Sri Maharaja Rakai Pikatan yang memang ditulis untuk Rake Pikatan. Hal ini juga didukung dengan disebutkannya nama "Sirikan Pu Suryya", seorang pejabat yang menyertai Rake Garung sewaktu mengembalikan status sima sawah Wanua Tengah untuk bihara di Pikatan seperti yang tertulis di prasasti dari Rake Garung yang bertarikh 829 M, yang dikutip dalam prasasti Wanua Tengah III. Nama "Sang Sirikan Pu Suryya" ini juga muncul di dua perwara candi di percandian Plaosan Lor. Apabila nama "Sirikan Pu Suryya" yang terdapat dalam prasasti Raja Garung yang dikutip dalam prasasti Wanua Terngah III itu adalah orang yang sama dengan yang namanya tertera di dua candi perwara di percandian Plaosan Lor maka dugaan ini menjadi semakin kuat.

Podjok pawon, Juli 2021

Sumber bacaan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun