Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Kala Senja Bercinta

1 November 2013   14:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:43 879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1383291986309220737

[image: arno meintjes_flickr]

[...]

Keramaian yang cukup terkendali tak mengurangi keceriaan disana-sini. Seperti biasa, taman hiburan siang itu utuh menampilkan jati dirinya sebagai lahan kolosal untuk mengumbar tawa, canda dan kesenangan semata. Oh ya, tentu saja yang tak tertinggal adalah cucuran keringat.

Dion mengusap kening dan tengkuknya untuk yang ke seratus kalikah? Mungkin lebih dari itu sebab dua saputangan di kantong kiri dan kanan tak hentinya keluar masuk bergantian. Kusut masai dan basah dalam upaya mengusir gerah. Tak ingin disalahkannya cuaca bila kebahagiaan bersama dinda juwita di taman hiburan ini lebih menguasa. Pun tak terpikir untuk mengeluh meski nyata benar kerepotannya mengatasi peluh yang gigih  meluruh. Padahal yang dilakukan Dion sekedar berjalan-jalan lalu duduk di bangku panjang yang banyak tersebar.

Do fun, Dion! Tidak, tidak. Tak ada satupun wahana yang ingin dinaikinya. Kora-kora? Niagara-gara? Bahkan carousel dengan kuda-kuda mengkilap karena rutin dilap, tak sedikitpun membuatnya menaruh harap. Leony si kuda pony, Donnie si donkey, Cory si unicorn, dan Bouraq si kuda sembrani, berbaris melingkar berlarian saling mengejar. Namun tak satupun dari mereka berhasil mengusik perhatian Dion. Begitu pula dengan minat wanita yang menjadi teman kencannya, terlihat condong pada aneka macam suvenir yang banyak dijajakan. Keduanya sama sekali tak terintimidasi oleh suka ria yang dipamerkan beberapa pasangan lain. Tak adakah uang?

“Berapa semuanya, Bang?” Dion bertanya pada seorang kasir di stan minuman, lalu tangannya sibuk memilah beberapa lembar uang kontan, mencari nominal yang tak membutuhkan banyak pecahan. Pendar matahari sedikit menyulitkannya mengenali wajah coklat Imam Bonjol, Iskandar Di Nata, Ngurah Rai dan merah meradangnya wajah dua Bapak Bangsa. Dion mencabut selembar kemudian merelakan sisa kembaliannya ketika si Kasir ingin menukarnya dengan segenggam kembang gula. Dion pria kaya yang bersahaja. Dompetnya selalu sesak menampung isinya. Tapi kembang gula?

Dion yang tampan bermuka masam. Separuh dirinya merasa tersindir si Kasir pandir. Dion berlalu dengan hati membukit batu penuh gerutu.

”Aih, Dion sayangku, macam mana kasir nak tahu bila gigi dan kembang gula adalah dua hal tabu bagimu ?” hibur pacar Dion. ”Bagaimana dengan ideku mencari makanan di stan lain ?” tawarnya dengan lembut.

”Sudah kenyang,” Dion menepuk-tepuk perutnya yang menggelambir, gembul lagi buncit. ”Bagaimana kalau aku semakin tak bisa jalan?” seraya menggamit tangan sang kekasih tercinta. Pasangan itu lantas berjalan dengan bergandengan tangan erat, sesekali melempar pandang penuh cinta melekat. Mungkinkah bertukar hasrat?

“Museum. Bioskop. Galeri foto dan lukisan. Kebun binatang. Pantai. Café. Mall. Planetarium,” di bawah naungan pohon rindang, Dion membaca daftar seluruh tempat yang telah dikunjunginya bersama sang pacar. “Menurutmu, manakah tempat yang paling menyenangkan saat dikunjungi, Cantikku?” Dion bertanya.

”Bersamamu, semua tempat terasa menyenangkan, Sayang,” pacarnya menyahut lalu bermanja dengan menyandarkan kepalanya di bahu Dion.

“Kau ketakutan saat di Planetarium,” Dion menyibak kenangan sepekan silam.

“Ah, aku hanya terkejut untuk sesaat karena gelap mendadak,” sanggah pacar Dion.

“Kau tersengal mengekori langkahku di pantai kala itu,” senyum Dion tak lekang.

”Dan kau sangat tidak berperasaan,” rajuk sang pacar sambil mencubit sayang lengan Dion.

”Kau tak bisa menahan pipis saat di gedung bioskop,” tawa Dion tertahan.

”Hihi. Mungkin lain kali harus kupakai pospak ya, Sayang?” pacarnya justru melepas tawa.

”Saat di café, kau kebingungan tak dapat menahan malu mendapat limpahan perhatian dari pengunjung lain,” kenang Dion lagi.

”Hm, ya. Padahal tak ada sesuatu yang salah. Kita datang sebagai pasangan yang saling mencinta dan tengah butuh suasana romansa. Kita berlaku sopan. Kita membayar lunas tagihan. Benar bukan?” beber pacar Dion.

”Tapi semua orang memandang kita aneh. Hanya di museum dan galeri seni saja, kita mendapat perlakuan wajar seolah semua tempat yang lain bukanlah hak kita. Tapi sudahlah, mari bersama-sama berjuang untuk selalu mengingat kenangan indah itu,” Dion memutuskan.

“Dan jangan lupa untuk terus bersyukur atas perjalanan ini, sebuah kesempatan yang jarang diberikan Tuhan,” pacarnya menutup percakapan, kemudian menyambut uluran tangan Dion saat mobil yang mereka sewa tiba di depan halaman luas sebuah rumah berpagar besi tinggi.

“Home sweet home. Selamat datang kembali ke rumah yang telah mempertemukan kita!”

Tak memaksakan diri untuk menegakkan tulang belakang, Dion dan pasangannya berdiri diam sejenak, mata berselubung haru menatap rumah besar tempat mereka bernaung selama ini. Setahun sudah sejak keduanya tinggal dalam satu atap. Berbagi ruang balkon yang menghadap taman dekat ruang baca. Berbagi ruang makan, ruang ibadat dan ruang bersantai yang memajang televisi berlayar gigan. Apa? Ah, berbagi ruang tidur rupanya. Lazimnya mahluk Tuhan yang berpasang-pasangan, Dion dan pasangannya pun berbagi balai peristirahatan. Itu terjadi di tahun kedua, setelah keduanya menyadari adanya ketertarikan yang besar, saling jatuh cinta dan mencapai kesepatakan untuk tak terpisahkan hingga Tuhan mengutus malaikatNya.

Pintu terkuak. Serombongan orang keluar bak air bah menggelegak. Ada yang berlari menghambur, menyambut lalu memeluk. Sebagian datang tertatih mengandalkan kaki ketiganya, tongkat kokoh penopang tubuh rapuh mereka. Lainnya berpasrah pada petugas yang sigap mendorong kursi-kursi beroda. Tak lama pria-pria berseragam bergegas menyingkirkan kopor-kopor yang telah menjamin kebutuhan selama perjalanan bulan madu Dion dalam beberapa pekan silam. Semua itu wujud cinta dan kasih sayang yang hanya ditemukan di rumah ini.

Keluargakah? Ya, keluarga. Begitulah definisi yang diberikan Dion kepada orang-orang yang telah bersusah payah merawatnya, menjaganya, memperhatikan tiap detil tentang dirinya dengan kesabaran luar biasa, ketekunan yang menakjubkan, ketabahan yang menggetarkan, melebihi keluarganya sendiri yang nyata-nyata berbagi gen dan aliran darah namun tak sanggup berlaku selayaknya keluarga lalu bersubahat menukar kebersamaan yang sangat berharga dengan segepok uang atas nama kesibukkan kerja, keterbatasan ruang dan waktu.

“Selamat yaaa…Opa Dion! Selamat yaa…Oma Decy! Selamat atas pernikahan opa dan oma. Semoga Tuhan memberikan kesehatan dan umur panjang yang bermanfaat !” satu persatu para pengurus Panti Tresna Wredha ‘Sih-Asuh Ayah-Bunda’ memberikan ucapan diikuti seluruh penghuni sepuh…

[tamat]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun