Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

9|Darling Bening|

13 Mei 2013   15:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:38 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13684323991488536060

[image: alibabadotcom]

|o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o|

“Aku bukan orang yang skeptis pada agama. Tapi juga bukan atheis yang menyangkal eksistensi Tuhan. Aku, well, as you know, Ed, selalu malas ke gereja. Meski pada akhirnya pergi ke juga, tapi hanya ketika seorang kolega melangsungkan pemberkatan pernikahannya di sana. Nah, saat itulah, ketika hendak memasuki gerbangnya, kulihat seorang gadis berdiri di seberang jalan.”

“Gadis itu, ia berdiri tegak, diam tak bergerak. Kedua tangannya bersatu menggenggam handle tas. Matanya tak lepas memandang pada satu garis lurus dari satu objek saja, Chapel Maria Bunda Karmel, gereja itu.”

“Lain hari, ketika harus melewati jalan itu, aku melihatnya lagi. Dengan aktifitas yang sama. Berdiri mematung. Menatap sendu ke arah gereja. Only the church! Sejak itu aku terpicu menemukan dirinya lagi dan lagi. Seolah rindu telah terpatri. Ah, jangan ribut soal kata terpatri, ok? It has been five years or more aku tinggal di sini.”

“Hari ke hari aku semakin sering melihatnya berdiri di sana. Kuyakin bahwa memang hanya gereja itu sajalah yang menarik perhatiannya. Dia bahkan tak peduli ketika aku berdiri tepat di sampingnya. Dan tetap tak peduli meski kuyakin dia sadar ada orang asing dengan matanya yang melotot nyaris melompat keluar melihat keganjilan perilakunya itu.”

“Hai… !“ sapaku iseng dan datar. Masih jelas kuingat, wajahnya yang sangat Asia, tidak cantik tapi unik. Uhm, what am I supposed to say? She’s not pretty, tapi ada sesuatu, ada magnet kuat yang membuatku tertarik. Her face is full of strength? Not strength, it’s full of sadness! She’s slim but full breasted, and somehow careless in what she he he... wears…? Bukan tidak rapi, atau mungkin karena nampaknya dia pulang kerja, sehingga pakaian yang dikenakan terlihat semaunya saja. Aku melihatnya untuk ke sekian kalinya, sore itu. Belakangan baru kutahu, ternyata hari minggu pagi pun dia habiskan waktunya dengan hanya berdiri terpaku di spot yang sama. Amazing, huh? What does she think she’s doing, anyway?

“Mau ke gerejakah?“ Tanyaku lagi, gemas mengapa say hi-ku tidak mendapatkan respon yang setimpal dengan usahaku itu. Padahal kebanyakan young lady di negeri ini, akan langsung membalas dengan keramahan ekstra setiap kali kusapa. Terkadang bahkan mereka langsung lengket setelah sedikit obrolan ringan saja. Mungkin karena, well, you know, I am Italian, handsome, most eligible bachelor, hehe. No complain, Ed! Keep listening, kalau tidak akan kuhentikan ceritaku sekarang juga!

Gadis itu tidak menjawab. Dia hanya menatapku lembut sambil menggelengkan kepala disertai senyumannya yang damn! It made my heart skipped for a minute. God blimey! It’s so sweet and full of warmth! I suddenly felt light and I floated. Aku tidak sedang berlebihan. It’s true!”

“Aku sudah sering ke sana. Dulu,“ Tanpa kuduga, gadis itu bicara.

”Bagaimana dengan hari ini ?” Tanyaku semakin bersemangat saja.

”Ah, tidak, terima kasih,” gadis itu menjawab singkat.

”Kudengar itulah tempat terbaik bagimu menumpahkan segala masalah,“ Sambungku sok tahu dan masih dengan spirit go go get that lady! Hehe, namanya juga usaha. Belum apa-apa, aku sudah memupuk harapan, semoga dia berkenan dan selanjutnya akan kutawarkan dengan segenap gempita untuk menjadi pengawal yang akan mengantarkannya kemana-mana. It’s a big honor to me…… Oh yea, dream on, Marc! Demikian gemuruh batinku waktu itu.

“Kau salah menebak. Aku tidak sedang dalam masalah apapun,“ jawab si gadis dengan senyum yang tak pernah kering. Dan kau tahu Ed, aku terus berdoa dalam hati: please, please, keep on smiling…

“Uhm, ah, itu, oke sorry. Bukan maksudku, you know, being impolite. Aku hanya sering mendapatimu berdiri termangu seorang diri. Kau seperti tengah dirundung masalah, seperti tenggelam dalam duniamu sendiri.”

“Ah, aku baik-baik saja kok. Terima kasih untuk perhatianmu,” gadis itu menjawab.

“Tapi mengapa wajahmu selalu menampakkan kesedihan yang mendalam seolah jurang tak berdasar?“ Of course, untuk sesaat aku terkejut sendiri oleh bahasaku yang bombastis dan mendayu-dayu. Ssh, nothing’s matter. Ini hasil dari private lesson bahasa Indonesia yang diselenggarakan ICCC. Bagaimana? Apakah gaya bicaraku sudah mirip dengan Prof. Dr. Gorys Keraf? Eh, tidak ya, hehehe…

“Rumah doaku bukan gereja. Tapi itu!“ si gadis menunjukkan kubah putih dari masjid terbesar yang nampak menonjol diantara kepungan gedung-gedung bertingkat. Bukan sebuah jawaban yang kuharapkan. Namun dengan kalimat itu justru semakin menjerumuskanku dalam rasa ingin tahu yang menggejolak.

“Oh, benarkah? Maaf ya kalau begitu. Aku…,” Berasa bimbang, maka kupenggal kalimatku. Entah mengapa timbul rasa salah karena telah menebak-nebak sesuka hatiku sendiri. Ah, mengapa pula aku harus tertarik dan menerjunkan diri dalam rasa ingin tahu yang menggebu-gebu? Tapi gadis itu memang memiliki sesuatu yang membuatku, uhm, embittered, want some more, dig her out more, begitulah…

“Ngga pa-pa kok. Jangan merasa bersalah seperti itu,“ jawaban si gadis sontak membuatku tenang. Terdengar sangat menyejukkan hati. Gairahku pun menggeliat kembali.

“Lalu, dulu itu? Maksudku, kau sendiri yang bilang dulu sering ke sana. Maksudnya, sering ke gereja kan?” aku tak dapat menutupi rasa penasaranku.

“Ya… dulu aku sering ke sana,“ gadis itu nampaknya gemar berteka-teki. Ia tak segera menjelaskan lebih detil jawabannya.

Dan itu tentu saja jawaban yang cukup mengejutkan. Sering ke sana? Tapi bukan untuk beribadah? Lalu untuk apa? Belum sempat kulontarkan pertanyaan-pertanyaan itu, si gadis kembali bicara. Seperti tengah bertutur dengan dirinya sendiri.

”Gereja itu, ah, aku bahkan sangat hafal setiap sudut ruangannya, halamannya atau ornamen apa saja yang menambah sisi religi di dalamnya. Sebelum kebaktian dimulai, aku sering bermain petak umpet di antara barisan kayu-kayu panjang tempat jemaat duduk mendengar kutbah atau mimbar panjang di depannya tempat jemaat menyandarkan siku-siku mereka, menyatukan kedua telapak tangan, berdoa dengan mata terpejam… Atau juga halaman depannya yang luas, tempatku berlari mengejar kupu-kupu bersayap kuning yang hinggap dari kelopak Daffodil lalu berpindah ke ranting Portulaca. Dulu di sebelah kanannya, ada setapak yang akan berujung pada sebuah bench putih. Bangku panjang itu bisa memuat dua tubuh anak kecil sekaligus. Aku dan…”

Sampai di sini, gadis itu terdiam. Seperti hendak memanggil kembali memori yang telah lama terpendam. Ia nampak berusaha sekuatnya menggalinya ke permukaan. Setelah menarik nafas panjang, dia memulai ceritanya yang tertahan.

”Entah mengapa taman cantik itu kini berubah menjadi show room mobil dan sepeda motor milik para jemaat. Padahal dulu hanya ada mobil ayahnya dan pastor Jonas yang terparkir di sana,” si gadis menoleh kepadaku. Tersenyum lagi. Masih dengan kekuatan melelehkan hati yang belum luntur dari bibirnya itu.

“Apakah dulunya kau seorang…,” Aku tidak sampai hati menanyakannya. Lagipun itu adalah pertanyaan yang sangat pribadi. Di negara asalku, menanyakan keyakinan seseorang adalah haram hukumnya. I mean, itu sangat tidak dianjurkan. Itu di luar etiket kesopanan. Kurang ajar bahkan. Apa urusan kamu? Usil sekali. Urus saja dirimu sendiri! Begitulah tanggapan yang akan kau peroleh bila nekat bertanya tentang agama seseorang. Akan semakin parah bila orang itu tidak kau kenal sama sekali. Wanna bet?

“Aku dulu, hanya seorang gadis kecil, yang mengekor kemana pun kakakku pergi. Tak terkecuali masuk ke dalam gereja. Tapi tidak di saat ritualnya. Nenek wanti-wanti melarangku. Menganggu, katanya. Tentu saja aku harus patuh. Karena nenek adalah satu-satunya keluargaku. Kepada siapa lagi aku harus berbakti. Ya, kan?” si gadis menjawab.

Buatku itu terdengar agak membingungkan. Wajarlah, karena selama apapun aku telah tinggal di negeri ini, aku tetap bukan anak negeri ini, masih banyak karakteristik penduduknya yang belum kumengerti. Dan untuk gadis satu ini, sungguh ia sangat mengusik keingintahuanku.

“Ma-maaf, tapi aku sedikit agak bingung dengan ceritamu ini…,“ maka dengan terpaksa aku memotong ceritanya. Duh, harusnya aku bersabar sedikit. Tapi begitulah laki-laki. Kami adalah keturunan Adam yang sering tidak sabaran. Happy?

“Oya? Membingungkan ya? Sama. Aku sendiri juga bingung dibuatnya. Bagaimana seorang pria entah darimana berasal yang datang kemudian di kampung kami suatu hari, tiba-tiba menjadi saudaraku? Bahkan dengan keyakinannya yang berbeda pula? Dia katolik, aku muslim. Kalau kau, sebagai pendengar lantas tidak merasa bingung, berarti akulah si Pandir dari Negeri Bahlul!” sedikit menggebu gadis itu menjawabku.

”Selalu ada alasan dibalik sebuah tindakan atau kejadian,” aku mencoba menenangkannya. Entah darimana kebijakan itu datang padaku. Yang pasti kalimat itu meluncur dengan sendirinya. You called me a loser all the time, Ed. All the time! From now on, stop it! Hentikan itu mulai sekarang, or I’ll be your death! You hear me, Ed?!

“Kau masih mau dengar yang lebih membingungkan lagi?” gadis itu bertanya.

“Ah, tidak-tidak. Kutahu itu hanya akan memperdalam lukamu saja. Bagaimana kalau kutawarkan pizza? Large, medium atau…” Belum sempat kuteruskan, gadis itu bertutur lagi.

“Mereka semua bersekongkol menyembunyikan segalanya hanya demi sebuah alasan yang tidak masuk di akal. Nama baik? Agaknya nama baik mereka itu lebih berharga daripada nyawa seseorang, darah daging mereka sendiri. Dan mereka telah lupa bahwa Tuhan selalu punya cara untuk membongkar kuburan Firaun sekalipun!” gadis itu berkata.

Aku bergidik melihat sorot matanya yang penuh luka. Hatiku lekas berkata, oh betapa malangnya gadis itu. Duka apakah yang telah sebabkanmu demikian nampak menderita?

“Calm down, will you?” kucoba tenangkan dirinya.

“Nenek bukanlah nenekku. Nenek yang kucinta dengan seluruh hidupku, ternyata adalah orang lain yang menaruh iba pada bayi merah yang ditinggal mati kedua orangtuanya. Hanya karena bayi itu terlahir dari persekutuan yang diharamkan, orang lantas begitu tega mencampakkannya. Aku tak pernah tahu siapa orang tuaku. Dan percaya begitu saja, ketika nenek mengatakan keduanya meninggal karena kecelakaan mobil saat aku masih kecil. Lalu sekonyong-konyong datang seorang pria yang mengatakan ibuku adalah adiknya yang sudah wafat dalam kecelakaan itu. Dan yang lebih mengejutkan adalah ketika si pria berkata bahwa anaknya, lelaki yang selama ini kucintai sampai kumau mati, adalah… kakakku? Haha, dapatkah kau percaya itu?” gadis itu tertawa getir yang sangat getir.

“Well, I don’t know what to say, but…” aku sungguh terhenyak mendengar cerita pilunya. Jadi inikah bentuk kesedihan yang tergambar dalam wajah yang sejak semula telah menarik perhatianku itu?

“Aku tidak membenci nenek. Tidak! Kalau bukan karena nenek, aku tidak akan ada. Mungkin diberikan ke panti yatim. Atau ditinggalkan di tempat pembuangan sampah. Atau bisa jadi …” gadis itu kembali berkata.

Don’t say that. Ayolah, aku mengajakmu bicara bukan untuk menabur garam di atas luka lama,” ujarku dengan hati bersalah.

“Dengarkan saja! Ini tidak akan lama. Sekarang aku sudah bisa menerima segalanya. Bahkan kepergiannya yang terkesan menghindariku. It’s okay now. Meski terkadang sulit untuk dipahami. Dan kerap timbul pertanyaan mengapa Tuhan memberiku jalan yang sangat sulit dilalui. Ataukah karena Dia tahu, aku pasti bisa melaluinya? Tapi dosa apa sebenarnya hingga Dia memberiku jalan berliku?” gadis itu lantas mengakhiri ceritanya seiring tangis yang menghebat.

Dengan cepat kupeluk dirinya sebelum semakin terguncang. Hal yang tak pernah kulihat sejak aku pertama kali mengenalnya. Agaknya beban yang menggunung itu, sudah tak mampu lagi dipikulnya. Aku tak pernah menyangka dibalik segala kegesitannya dalam urusan pekerjaan, senyum manisnya, tawa cerianya dan kadang juteknya, ternyata dia menyimpan rahasia berat yang tidak seharusnya dia tanggung seorang diri.

Aku peroleh semua cerita sedih itu, setelah kami dipertemukan di kantor yang sama dan menjadi dekat satu sama lain seiring berjalannya waktu. Inilah yang kubenci dari Tuhan. Dia selalu senang bermain misteri dengan umatnya. Dia suruh aku datang ke pernikahan seorang teman. Seakan Dia hendak menunjukkan bahwa ada seorang putri yang akan kutemui. Meski dapat kumaknai perananku dalam masalah ini, tetap saja aku benci melihat kenyataan gadis yang kucintai, susah payah kudapati, menyimpan luka yang entah kapan terobati, bahkan kemudian aku menambahkannya hingga kian tak terperi. I do really love that girl, Ed. Tapi aku pula yang telah menambahkan luka, duka, seolah belum cukup semua airmata yang dia sembunyikan selama hidupnya!

Andai tidak ada hari itu. Andai kami berdua langsung pulang. Andai kami tak perlu ke acara office dinner. Aku bersalah karena tidak menyuruh sopir untuk mengantar kami pulang. Seingatku aku tidak terlalu fly karena wine. Hingga terjadilah kecelakaan nahas itu. That horrible car accident, Ed! She lost her voice because of me, Eddu! She lost her voice because of me! Bening lost her voice because of me, Eddu! Curse me sebanyak yang kau mau, Ed! Go on, curse me…

Losing the voice can be like losing an arm. Suddenly handicapped, you know! Aku menyesal tak berkesudahan. Moreover, when I know that she’s your sister. God damn it! Bagaimana kalian bisa melakukan semua itu kepadanya? Okay, I know, itu semua adalah masa lalu. Tapi, lihatlah! Dia terus menerus menyalahkan dirinya! Dia selalu bertanya, mengapa dia harus dilahirkan? Dia menuntut alasan dibalik semua tindakan orang-orang di masa lalu terhadapnya. What’s the exact reason and why, why!?

Dan kau, Ed? Bodohnya kau! Kau pergi begitu saja, right after dia tahu semua rahasia yang menohok itu? Man! Tidakkah terpikir olehmu untuk stay beside her, accompany her, just for a while, untuk menguatkan hatinya, memberinya pengertian blab la bla… bukan malah kabur dengan alasan sekolah ke luar negeri! You are her man! You are her brother! The only one brother, for God’s sake! Kau pria teregois yang pernah kutahu, Eddu! You fu^*ing stupid idiot!

Marco, pria Italia itu, dengan marah mengusap air matanya yang tak terkendali menetesi pipi. Meski dia tahu percuma saja marah-marah. Apalagi dilihatnya Eddu tak sekalipun mengangkat kepalanya. Entah sejak berapa jam yang lalu. Tertunduk dengan sesekali terdengar sedu sedannya. Marco tahu, Eddu pun sama menderitanya dengan Bening.

“… loosing her voice…,“ Eddu memukul-mukul kepalanya sendiri. Mengapa itu tidak kusadari saat melihat responnya yang dingin? Saat tak satupun kalimat keluar dari mulutnya yang terbiasa cerewet bawel dan selalu membalikkan semua perkataannya? Bodohnya aku! Bodoh! Bodoh! Eddu membentur-benturkan kepalanya sendiri ke meja seolah ingin dikeluarkannya segala kecewa, keluh dan kesah tentang sikap konyol Bening di awal berjumpa setelah tujuh tahun berpisah. Bungkam seribu basanya yang dianggapnya sangat tak beralasan itu, oh my dear darling Bening…

|bersambung|

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun