Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

20|Battle Bening|

2 Oktober 2013   14:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:06 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13806975001405098275

[image: appunti]

|o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-|

Di sebuah lokasi nan asri, sebuah rumah bergaya Machiya berikut tamannya yang sangat indah. Nampak tersaji sebuah lansekap sejuk dengan efek meditasi yang menciptakan ketenangan. Bebatu, air, tanaman dan beberapa shakkei/tenkebutsu yang tertata mematuhi arsitektur ala zen Jepang lazimnya hanya memperdengarkan senandung gemericik air dan kicau merdu murai-murai mungil. Mungkinkah sebuah rumah peristirahatan, tempat menyingkir dari bisingnya kehidupan metropolitan? Mungkinkah sebuah pondok rahasia tempat seseorang merenung, membiarkan imajinasinya melanglang, merambah lorong fantasia seliar mungkin hingga kelak terlahir maha karya yang membelalakkan dunia? Entahlah, sebab tak jarang si pemilik pun memfungsikannya semacam dojo.

Dojo? Ya, seperti hari ini, ketika tak satupun murai berani unjuk paruh, melantunkan harmonisasi nada bersama air yang tumpah dari mulut kendi berperut gendut. Bilamanakah murai-murai itu terbang? Kemanakah gerangan desau angin yang lembut menggoda ricik-ricik air? Sebab yang terdengar hanya suara gedebak-gedebuk diselilingi teriakan marah, jerit kesakitan dan seru kegeraman saja. Dimanakah kedamaian itu? Mengapa dan ada apa dengan kegaduhan yang berasal dari dalam sana?

Ciaatt! Spawwkk! Bukk!

Sebuah tendangan keras mendarat mulus tanpa aral. Si pemilik tendangan pastilah penganut Tao of Jeet Kune-Do yang bertalenta baik. Beberapa gurat luka terlukis di rahang, darah pun seketika menetes di sudut bibir lawan.

Pada sebuah laga, umumnya penonton akan berharap serangan semacam itu segera berbalas lebih kejam. Namun serangan demi serangan, bahkan sebuah one inch punch yang sangat bisa ditangkis, nyatanya tak terjadi. Di atas tatami, seorang pria nampak begitu berkuasa atas ilmu beladirinya, sedang lawannya lebih sebagai Mok Jan Jong, wooden dummy bertakdir mengenaskan, harus pasrah menampung segala jurus martial art. Apa sebenarnya yang tengah terjadi?

Bila seekor cacing pun akan berontak di ujung kail, maka lelaki dengan egonya yang selalu nomor satu, acapkali tak sudi membiarkan harga dirinya terinjak-injak. Akan tetapi, pria si penerima tendangan sabit ala Guille Street Fighter itu secara menakjubkan, sama sekali tak terpancing emosi. Dari fitur tubuhnya yang kekar, jelas sekali dia sangat mampu melakukan serangan balasan, tinju yang sama melumpuhkan, atau tendangan yang sama kuat, mungkin lari menghindar bila dia tak ingin melawan. Namun pria itu bergeming, sesekali meringis menahan sakit, terduduk sembari membelai-sayang pada rahangnya yang masih nampak sekokoh ‘Bogazkesen’, tak terpengaruh oleh tendangan menyakitkan itu.

Ciaat! Spawkk! Buk! Buk!

“Trompet-sember! Tak malu kau sebut dirimu itu pria, ha?! Aku menyuruhmu karena aku percaya kepadamu, kau mengerti?! Bagaimana kau bisa begitu lancang membuatnya terluka parah seperti itu! Pecundang sial!” tak puas dengan aksi tendangan mautnya, pria pertama memaki lantang penuh marah.

Ciaat! Spawkk! Buk! Buk!

Kali ini tendangan master Jeet Kune-Do dari pria pertama mendarat empuk di lutut yang seketika tertekuk dan membuat lawannya kembali terduduk. Padahal belum lama pria kedua itu telah mencoba untuk berdiri dan tak semudah itu untuk takluk.

Spawkk! Spawkk! Ciaat! Buk! Buk!

“Idiot! Bagaimana kalau Tuhan tak berbaik hati lantas mengambil kehidupannya! Apa yang akan kau lakukan, Bedebah! Kalau sampai terjadi sesuatu terhadapnya aku bersumpah tidak akan ragu mengakhiri hidupmu! Kau dengar itu, Cacing kremi?!” teriak pria pertama. Kali ini kakinya kembali mengumbar murka. Spawkk! Spawkk! Ciaat!

Belum cukup rupanya posisi bersimpuh itu, Eddu yang tak lain adalah si pria penyerang itu, menyelesaikannya dengan tendangan memutar yang mendarat indah di punggung, hingga pria kedua yang kini tak ubahnya boneka hidup itupun jatuh tertelungkup dengan wajah mencium lantai, lalu diam tak bergerak sama sekali. Darah segar menganak-sungai dari sudut bibir dan lubang hidungnya. Selama itu pula, dia telah bertahan, bersikukuh tak memberikan perlawanan apapun. Dan Eddu pun tetap tak terhentikan.

Spawkk! Spawkk! Ciaat! Buk! Buk!

“Aku menyuruhmu untuk mengantarnya ke tempat neneknya dirawat atau minimal pulang ke rumah, kau dengar, ha?! Apa kau tuli? Apa telinga kelinci bodohmu itu terbuat dari besi karatan? Bukan mengantarnya ke rumah sakit sebagai pasien dengan luka-luka yang membuatnya kritis selama berminggu-minggu, dasar kau as* buduk!”

Sabung raga itu jelas terlihat sangat tidak imbang. Eddu yang bersabuk hitam sangat dominan melayangkan pukulan demi pukulan, sementara si pria kedua, begitu tak berdaya membalas satupun serangan itu. Dia menerima begitu saja setiap jurus selayaknya hadiah. Tak sekalipun rasa sakit dan emosinya dibiarkan menggelegak lalu membalas serangan Eddu, si petarung kawakan.

Maka sudah barang tentu, terciptalah duel yang menyenangkan untuk dikonsumsi mata dan nafsu bagi para petaruh. Namun jangankan taruhan, penonton pun hanya nampak seorang. Pria ketiga yang duduk tenang di luar arena, memilih perannya sebagai penonton tunggal sekaligus wasit yang tidak adil. Bukannya melerai, malah sibuk geleng-geleng kepala menyaksikan laga tak bersponsor itu. Macak gulu yang ndak perlu! Tapi ini memang bukan panggung sendratari bertajuk ”Sayembara Dewi Ambara Ayu”, dimana gerakan macak gulu selalu fardhu. Ini arena wrestling bebas, muay thai dipadu pencak silat, kendo dan tae kwon-do. Sepanjang laga itu berlangsung, wajah sang wasit acuh saja menonton pertarungan antara hidup dan mati itu. Tak terbersit niatan atau terlihat usahanya membunyikan peluit panjang, mungkin memukul gong, memencet bel, apalagi menghadirkan gadis berbusana super mini yang melenggok centil mengusung papan berangka.

Spawwkk! Ciaat! Buk! Buk!

“Kau tidak tahu betapa berartinya dia bagiku, ha?! Kau pikir siapa dirimu, Sialan! Kau itu tak berhak menambah derita gadisku!”

Spawwkk! Ciaat! Buk! Buk!

“Tampang jelekmu itu tak pantas disebut sebagai pria! Kau bukan pria! Kau pria bergincu tebal yang menjijikkan!”

Spawwkk! Ciaat! Buk! Buk!

“Kau sungguh badut paling tidak lucu, paling menyedihkan yang selamanya tak pernah ingin kulihat!”

Spawwkk! Ciaat! Buk! Buk!

Lalu hening sesaat. Hanya terdengar dengus nafas yang saling memburu. Dua petarung tanpa gelar, tanpa mahkota, tanpa hadiah, itu sama-sama terkapar. Yang satu kehabisan tenaga untuk menyerang. Sedang lainnya kehilangan kekuatan menampung serangan.

Eddu berusaha sekuat tenaga mengatur jalan nafasnya yang seakan hendak terputus detik itu juga. Dia terkapar di samping sang lawan yang sekujur badan dan mukanya babak belur nyaris hancur lebur. Adapun si Tuan Wasit tanpa peluit terlihat duduk santai mengangkat tungkai kaki. Dari balik kepulan asap sigaretnya, mata si Tuan Wasit menyipit tajam mengawasi dua jagoannya yang telah sama-sama kehilangan seluruh tenaganya. Zero power. Lumpuh tak berdaya. Lembek seperti bubur bayi basi. Melempem seperti kerupuk yang direndem. Nglemperek kaya lumbu dilulubi. Bahkan andainya atap ruangan dojo ini jebol, dijamin keduanya akan pasrah bongkokan menyambut reruntuhannya.

“Auuw, it’s not exciting anymore. Can’t get any satisfaction. Huh!” Tuan Wasit yang khusus datang dari negeri pizza itu, ya dia tak lain adalah Marco, kemudian bangkit sambil membuang puntung sigaretnya ke dalam keranjang sampah.

Sekonyong-konyong, seseorang berlari tergopoh memasuki arena. Bukan! bukan round girl genit yang bikininya membuat hati kebat-kebit, namun seorang gadis yang jauh lebih menarik dalam balutan blazer amber dengan tangan menenteng tas dokter berbahan leather.

”Ah, dokter Rini! Anda datang cepat dan tepat waktu! Legittimo! Perfetto! Right person in the right time! Maaf telah mengganggu kesibukkan Anda. Tolong saya untuk urus dua orang tak berguna ini, per favore?” kata Marco sambil menunjuk dua zombie yang masing-masing kemejanya rancak dipenuhi bercak darah kental-kering.

“Ya, Tuhan! Apa yang telah terjadi, pak Marco?“ tanya dokter Rini. Tangan yang cantik sigap membuka tas perlengkapan medis. Dan dengan kecekatan yang sangat terlatih, dokter Rini segera melakukan tindakan pertolongan pertama yang diperlukan. Lalu dengan isyaratnya, dua orang asisten bergegas menggotong raga-raga ‘impoten’ itu ke dalam ambulance yang sudah menunggu.

Meninggalkan dojo yang indah, Marco harus menarik nafas berat saat kakinya memasuki gerbang kaca yang tak menawarkan keindahan, hanya kepraktisan sajalah yang diprioritaskan oleh gedung ini, rumah sakit. Hembusan nafasnya terdengar sangat berat hingga sanggup merontokkan kelopak-kelopak Sakura di musim gugur, andai rumah sakit ini berada di Osaka. Padahal harapannya sebisa mungkin menghindari komunitas bau obat macam ini. Namun ternyata bahkan dia sendiri yang harus mengantar dua bocah besar itu kemari. Terkadang, sesuatu yang setengah mati ingin dihindari, kerapnya justru datang menghampiri.

“Ah, malas rasanya mengurusi these two stooges idiot, bagaimana kalau aku…,” Marco bergegas menyelinap ke ruangan dokter Rini, sesaat setelah sms yang dikirimnya mendapat balasan positif dari Bening. Akan terlalu beresiko andainya dia bertahan di ruang perawatan saat gadis sekretarisnya itu datang. Berondong pertanyaannya sudah pasti akan sulit dijawabnya, dan salah-salah dialah nanti yang terkena getah. Bening pasti sudah mendengar cerita sekomplit-komplitnya tentang duel tak imbang itu. Yup! menghindar, merupakan pilihan yang tepat, walau itu mentahbiskannya sebagai seorang pengecut. Ouch, so sorry, Ning, I’m slick like a baby seal. Ouch! Ouch!

”Astagfirullah, Dul! Masya Allah, apa lagi ini? Kenapa bisa begini?” Eddu meringis mendengar histeria Bening. Telunjuknya cepat berdiri, mengacung tepat di pintu mulutnya yang masih berhias darah kering, sebuah isyarat agar Bening tenang, karena seorang pasien lain terbaring tepat di samping tempat tidurnya.

“Aku sudah dengar semuanya, Dul! Kau ngga bisa berkelit lagi dah. Gila! Kau itu bisa dituntut, Dul!“ Bening terdengar lebih mengontrol suaranya. “Kau bisa terjerat pasal tindak pidana, tau ngga sih loe? Perbuatan tidak menyenangkan. Belum lagi percobaan pembunuhan,” terang Bening yang sangat terkejut begitu mendengar jawaban Eddu bahwa abangnya itu mengaku tak peduli dan justru bangga karena telah sukses menghajar pasien malang di sebelahnya itu.

”Biar saja, Ning. Yang penting sekarang aku sudah puas! Lagian gampang kok! Aku toh bisa menuntutnya balik! Bukankah dia juga telah lalai dalam menjalankan kewajibannya hingga menyebabkan terjadinya kecelakaan fatal. Dia itulah yang pantas didakwa melakukan percobaan pembunuhan terhadap dirimu. Apa kau bilang tadi, menuntutku? Over my dead body! Enak ajah! Coba saja tuntut aku, kalau memang dia punya nyali!” ujar Eddu berapi-api, namun tak lama kemudian mengaduh bila merasakan nyeri akibat terlalu bersemangat menghabisi lawan.

”Eddu, itukan kecelakaan! Berarti dia itu ngga sengaja, kamu gimana sih? Bagaimana kalau tampang jeleknya kelak bertambah amburadul setelah aksi pemukulanmu yang membabi buta itu?”

“Haha! Buat apa risau? Cecunguk ini memang sudah jelek sebelumnya kok. Syukur dah kalau tambah ancur!”

“Betul-betul kejam kau itu, Dul!”

“Berani berbuat, berani menanggung resiko. Dan itulah resiko yang harus dia tanggung akibat telah menyelewengkan wewenang dan kepercayaan yang kuberikan kepadanya.”

“Jahatnya kau! Apa kau juga akan bertindak subversif seperti ini, bila yang menjadi sopirku waktu itu orang lain?”

”Anyone!”

”Gila loe ya, Dul!?”

”Memangnya apa lagi yang bisa kulakukan?”

”Ingat, Dul! Kau itukan dokter bukan preman! Atau inikah caramu menunjukkan dominasimu atas diriku?”

”Eh, apa itu? Domino, do-dominasi? Memangnya…a, aku boleh?”

”Oh, tidak! Tidak ada itu kata dominasi. Bahkan nenek yang amat sangat kucintai, tidak berhak apa-apa atas diri dan kehidupanku. Kau mengerti? Jadi berhentilah bersikap konyol. And you too, Marky!” seru Bening seraya tangannya menuding ke arah Marco yang diam-diam sudah bergabung di ruangan tempat Eddu dirawat, mungkin tak dia temukan dokter Rini di ruangannya.

Me? What about me?” tanya Marco berlagak pilon. Tak menyangka dirinya akan mendapat jatah pula. Menyesal jadinya dia tak mencari dokter Rini ke ruang operasi atau memburunya hingga ke ladies room, barangkali? “Guarda Bening, la mia bella donna! I am innocent, just like a new-baby-born or an angel in the heaven!”

”Yes, you! Kau itu, bisa-bisanya kau hanya menjadi penonton melihat adu ego yang tidak pada tempatnya itu! Apa sih yang ada dalam pikiran kalian bertiga ini? Ngga ngerti deh!”

No-no! I am not to blame, darling Bening! Aku bukan sekedar penonton. Eddu memintaku jadi wasit. Katanya tugasku hanya mengingatkan andainya dia lepas kendali, that’s it! Dan itu saja kok yang telah kulakukan. Being a good partner, you think I am, don’t you?“ Marco berdalih tanpa rasa bersalah sedikitpun.

“Kau!” Bening melotot, gemas pada Marco yang masih berkilah padahal jelas-jelas dirinya juga bersalah. “Kalian berdua ini… ya ampun!“ Bening berada di puncak kemarahannya hingga tak tahu harus berkata apa. “Kalian para pria dewasa tapi sikap kalian lebih kekanak-kanakkan dari balita!”

“Ah, sudahlah Ning. Ini urusan para pejantan, kau itu tahu apa? Lagipun masalahnya juga sudah selesai kok. Apa kau tidak lihat, orangnya juga sudah cengengesan seperti badut kuburan!” papar Eddu kalem, seraya matanya mendelik pada room-mate tapi bukan soul-mate yang sudah duduk anteng laiknya pendengar sejati.

Seperti ditotok ajian sakti, leher Bening spontan turut memutar, mengikuti arah pandangan Eddu. Untuk sesaat Bening tak dapat mengenali wajah pasien yang menjadi satu-satunya tetangga Eddu di kamar perawatannya ini. Barulah ketika senyum jeleknya yang menyebalkan itu tersembul dari wajah ‘mummy’-nya, Bening pun segera tahu bahwasanya ia harus waspada dengan kejut di dadanya yang mendadak hadirkan gelisah tak tentu arah. Bening cepat memalingkan muka, berupaya sembunyikan hangat yang merayap di wajahnya, berjuang keras agar tak seorang pun tahu betapa biadab hatinya telah berlaku hanya karena sebuah senyum jelek itu, dan telah berefek pada sikapnya yang mendadak kikuk tanpa sebab. Auw, malangnya, ia justru mendapati sepasang mata Eddu yang penuh selidik dengan senyum tertahan. Bening cepat melengos lagi. Namun kali ini ia harus mendapati sepasang alis Marco yang so manly, turun-naik tak seimbang seperti timbangan di pasar tradisional. Entah komedi apa yang tengah ada di kepala abang dan bossnya itu, Dudul dan Marco. Yang jelas Bening mendadak blingsatan dan merasa caught in the act…?!

“Caught in the act? For what? Well, I did nothing, didn’t I?!” batin Bening membela diri sambil tergopoh ngeluyur pergi. “Run Bening run! Kaboor!” batin Bening menyemangati diri. Menyadari dirinya bak perawan di sarang penyamun, maka ia merasa sangat riskan untuk berlama-lama tinggal di ruangan itu. Hanya tinggal hitungan menit sebelum ia terpancing berucap sesuatu yang akan menimbulkan kesenangan bagi ketiga penyamun itu, Eddu, Marco dan si pasien yang... oh no-no! sudah sejauh ini dan ia masih juga belum tahu siapa namanya…? Tapi untuk apa juga…? Ingat Bening, ingat istri dan tiga anaknya…

|bersambung|

“Love does not begin and end the way we seem to think it does. Love is a battle, love is a war; love is a growing up” [James Arthur Baldwin]

Machiya : rumah ala Jepang

Shakkei/tenkubutsu : ornament sebuah taman ala Jepang

Bogazkesen : benteng raksasa penjagal Selat Bosphorus di masanya Sultan Mehmed II dari Turki

Nglemperek kaya lumbu dilulubi : pepatah Banyumasan yang dapat diartikan kurang lebih lemah, loyo, tak bertenaga sedikit pun

Pasrah bongkokan : pasrah tanpa syarat apapun

Legittimo! Perfetto! : sempurna (Italy)

Per favore : please (Italy)

Guarda Bening, la mia bella donna : Dengar ya Bening, gadisku cantik (Italy)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun