Mohon tunggu...
Angel Sang Pemenang
Angel Sang Pemenang Mohon Tunggu...

demokrasi telah mati

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jika Belum Bisa Berbagi Harta, Mari Berbagi Doa

1 Agustus 2018   10:55 Diperbarui: 1 Agustus 2018   11:01 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup itu tentang berbagi, berdampak positif bagi orang lain, bagi bangsa, bagi dunia dan bagi seluruh umat manusia.

Mengapa? Karena hidup ini begitu singkat.

Jika kita membaca sejarah yang tertulis, betapa singkatnya usia manusia. Tidak perlu kita bicara juta tahun, atau milyar tahun, ribuan tahun pun jauh lebih panjang dibanding 60 atau 70 tahun usia rata rata manusia. 

Dalam masa yang singkat ini, jangan sia - siakan untuk menulis sejarah baik dalam hidup kita. Jika tidak dalam skala nasional apalagi global, setidaknya orang - orang dekat, anak cucu dan keluarga mengenangnya sebagai orang baik ketika jasad kita membujur kaku di akhir hidup. 

Jangan takut untuk memperjuangkan idealisme dan jangan jual murah hidup ini hanya untuk sesuap nasi. Sekaya apapun uang haram yang kita dapat, tetap saja kita hanya makan tiga kali sehari, selebihnya obesitas. 

Apakah kita tidak percaya diri, dengan hidup lurus tidak sanggup makan, tidak sanggup beli rumah dan mobil. Memang semua itu relatif, tetapi setidaknya jika kita sungguh sungguh berusaha bekerja giat, hidup layak bukanlah khayalan yang terlalu tinggi, walaupun tanpa harus menjadi pelacur, baik itu pelacur politik, pelacur moral, intelektual dll.

Secara jujur, keadaan bangsa ini selama empat tahun terakhir menjadi sangat buruk sejak reformasi bergulir. Secara sosial politik masyarakat kita terbelah, mereka yang menang pemilu merasa berhak mendapat status diatas kelompok lain. Hal ini bisa dilihat dari acara jambore relawan yang dilakukan berkali kali walaupun pesta demokrasi sudah selesai. 

Penguasa yang tidak bisa berdiri diatas semua golongan. Kemudian kita melihat mereka yang menyebut dirinya relawan, tiba tiba secara mengejutkan mendapat jabatan hebat di BUMN dan instasi - instasi baru dan pemerintahan. T

entu rakyat pada umumnya menjadi bertanya - tanya, seolah pemilu kemarin ini sebuah kudeta demokratis, sehingga seolah yang kalah tidak berhak hidup, dan semua yang berhubungan dengan anggaran negara menjadi milik pemenang.

Sebetulnya hal yang lumrah jika pergantian jabatan dilakukan pada posisi politis, seperti misalnya menteri dan jabatan politik lainnya. Karena memang demokrasi berbicara mengenai politik. 

Tetapi merembet ke sektor lebih luas seperti birokrasi dan pekerjaan profesional, maka sebetulnya negeri ini sedang melakukan pekerjaan mulai dari NOL. Banyak sekali dampak negatifnya pada bangsa ini baik ekonomi, politik terlebih menghancurkan karakter bangsa dengan budaya gotong royong yang kuat. 

Jaman kakek nenek kita dulu di pedesaan di Jawa, keluarga yang membangun rumahnya seringkali dibantu secara sukarela oleh para tetangganya, terutama saat pada fase berat, seperti menaikkan kuda - kuda rumah. Kemudian malamnya nya mereka jagong (kumpul - kumpul semalaman tidak tidur di tempat yang punya hajatan). 

Bagaimana budaya itu bisa lestari, jika hajatan sekarang ini difasilitasi oleh negara untuk para relawan saja. Jika mau ikut jambore, ya silahkan jadi relawan dulu. Jika ingin jadi komisaris BUMN, kartu relawan bisa menjadi faktor relatif yang dominan.

Politik pecah belah itu nanpak kuat ketika berwacana politik dengan slogan "Saya Indonesia, Saya Bhinneka". Sungguh ironis jika salah satu kelompok mengaku paling Indonesia dan paling Bhinneka. Identitas Indonesia dan Bhinneka di eliminir seolah hanya menjadi milik kelompok tertentu. 

Dampaknya sangat luar biasa, masyarakat makin terbelah. Budaya hoax dan bully menjadi tontonan aksi tirani. Hoax pun dipilah menjadi hoax halal dan haram. Hoax membangun dianggap halal, selebihnya dianggap haram. 

Sebagai anak bangsa saya menangis melihat realita ini. Kita tidak boleh lagi bicara pribumi dan non pribumi. Walaupun realitanya kemerdekaan negeri ini basah kuyup oleh darah pribumi, mulai dari tanam paksa, kerja rodi, romusha, sampai triakan heroik Bung Tomo, "Allohu Akbar..." di pertempuran Jembatan Merah Surabaya, atau Bandung Lautan Api, Atau Enam Jam di Jogja, atau Palagan Ambara dll, semua tidak lepas dari darah dan keringat pribumi. 

Sementara kelompok pembajak Bhinneka, lebih sering melakukan diskriminasi gaji pegawai di perusahaan - perusahaan, yang besar oleh kolusi dan merampok negeri ini. Ada yang besar karena fasilitas monopoli import tepung terigu. 

Pabrik semen swasta yang dibangun dengan failitas dana yayasan dan bank bank BUMN, hutan gratis yang dibabat secara sembarangan, monopoli importir mobil dll. 

Peta pergusuran pribumi makin terasa jika kita mencermati yang terjadi di DKI saat si angkara murka berkuasa. Daerah sarang narkoba dan amoy cungkok dibiarkan, sementara tempat lain digusur tanpa pesangon, peralatan rumah tangga, tv kulkas berserakan hancur seiring robohnya tempat tinggal mereka.

Kita bukan bangsa rasis, juga bukan penganut Chauvinisme, tetapi kita bangsa beradab yang tidak sudi DIKIBULI terus. Apa artinya Merdeka, jika pribumi selalu di marginalkan? Belajar dari Jepang, Korea dan China, mereka begitu cepat, karena pribumi ada ditempat yang layak. Tentu saja berbeda emas berkadar tinggi dibanding emas sepuhan.

Dimana rasa keadilan penguasa? Sudah tepat jika kita berusaha menghentikannya. Jangan sampai kita berhutang darah karena berkianat pada pejuang - pejuang kemerdekaan kita. 

Mereka yang sudah berbohong untuk berkuasa pasti akan mendapat kutuk baik di bumi maupun di akhirat. Kita tidak bicara kekuasan sang pencipta karena itu otoritas Sang Khalik. Kita hanya memastikan menjadi alat kebaikkan-Nya. Jadi sudah selayaknya jika kita tidak diam untuk menyuarakan kebenaran, tidak peduli sudah seberapa bengkok keadaan yang ada.

Mari kita dukung #2019GantiPresiden untuk Indonesia yang lebih baik. Bukan Indonesia hasil selingkuh penguasa dan anak kost yang sebetulnya tidak pernah merasa sebagai Indonesia, mereka yang hanya cari makan disini dan hasilnya dilarikan ke luar negeri.

Jika belum bisa berbagi harta, mari berdoa bagi bangsa ini, sehingga si angkara murka segera berlalu. Garuda kembali terbang dengan gagah perkasa,

Jika anda setuju dengan tulisan saya, mohon share dan bagikan tulisan ini dan tulisan tulisan saya lainnya di media sosial, sehingga tepat saat kampanye nanti banyak anak bangsa yang tercerahkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun