Jaman kakek nenek kita dulu di pedesaan di Jawa, keluarga yang membangun rumahnya seringkali dibantu secara sukarela oleh para tetangganya, terutama saat pada fase berat, seperti menaikkan kuda - kuda rumah. Kemudian malamnya nya mereka jagong (kumpul - kumpul semalaman tidak tidur di tempat yang punya hajatan).Â
Bagaimana budaya itu bisa lestari, jika hajatan sekarang ini difasilitasi oleh negara untuk para relawan saja. Jika mau ikut jambore, ya silahkan jadi relawan dulu. Jika ingin jadi komisaris BUMN, kartu relawan bisa menjadi faktor relatif yang dominan.
Politik pecah belah itu nanpak kuat ketika berwacana politik dengan slogan "Saya Indonesia, Saya Bhinneka". Sungguh ironis jika salah satu kelompok mengaku paling Indonesia dan paling Bhinneka. Identitas Indonesia dan Bhinneka di eliminir seolah hanya menjadi milik kelompok tertentu.Â
Dampaknya sangat luar biasa, masyarakat makin terbelah. Budaya hoax dan bully menjadi tontonan aksi tirani. Hoax pun dipilah menjadi hoax halal dan haram. Hoax membangun dianggap halal, selebihnya dianggap haram.Â
Sebagai anak bangsa saya menangis melihat realita ini. Kita tidak boleh lagi bicara pribumi dan non pribumi. Walaupun realitanya kemerdekaan negeri ini basah kuyup oleh darah pribumi, mulai dari tanam paksa, kerja rodi, romusha, sampai triakan heroik Bung Tomo, "Allohu Akbar..." di pertempuran Jembatan Merah Surabaya, atau Bandung Lautan Api, Atau Enam Jam di Jogja, atau Palagan Ambara dll, semua tidak lepas dari darah dan keringat pribumi.Â
Sementara kelompok pembajak Bhinneka, lebih sering melakukan diskriminasi gaji pegawai di perusahaan - perusahaan, yang besar oleh kolusi dan merampok negeri ini. Ada yang besar karena fasilitas monopoli import tepung terigu.Â
Pabrik semen swasta yang dibangun dengan failitas dana yayasan dan bank bank BUMN, hutan gratis yang dibabat secara sembarangan, monopoli importir mobil dll.Â
Peta pergusuran pribumi makin terasa jika kita mencermati yang terjadi di DKI saat si angkara murka berkuasa. Daerah sarang narkoba dan amoy cungkok dibiarkan, sementara tempat lain digusur tanpa pesangon, peralatan rumah tangga, tv kulkas berserakan hancur seiring robohnya tempat tinggal mereka.
Kita bukan bangsa rasis, juga bukan penganut Chauvinisme, tetapi kita bangsa beradab yang tidak sudi DIKIBULI terus. Apa artinya Merdeka, jika pribumi selalu di marginalkan? Belajar dari Jepang, Korea dan China, mereka begitu cepat, karena pribumi ada ditempat yang layak. Tentu saja berbeda emas berkadar tinggi dibanding emas sepuhan.
Dimana rasa keadilan penguasa? Sudah tepat jika kita berusaha menghentikannya. Jangan sampai kita berhutang darah karena berkianat pada pejuang - pejuang kemerdekaan kita.Â
Mereka yang sudah berbohong untuk berkuasa pasti akan mendapat kutuk baik di bumi maupun di akhirat. Kita tidak bicara kekuasan sang pencipta karena itu otoritas Sang Khalik. Kita hanya memastikan menjadi alat kebaikkan-Nya. Jadi sudah selayaknya jika kita tidak diam untuk menyuarakan kebenaran, tidak peduli sudah seberapa bengkok keadaan yang ada.