Mohon tunggu...
Abdul Karim
Abdul Karim Mohon Tunggu... Relawan - Pegiat Sosial

Kebenaran dan kedamaian adalah dua hati yang terpaut pada simpul kebebasan. Untuk tegakan kebenaran kadang harus korbankan kedamaian, untuk memelihara kedamaian kadang harus mengekang kebabasan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jangan Asingkan Telekomunikasi Indonesia

28 November 2018   08:54 Diperbarui: 28 November 2018   08:58 1150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Telekomunikasi, saat berada di era convergence dan abad informasi tidak bisa dimaknai  sempit. Ini kata orang-orang yang percaya dengan konsep komodifikasi. Karena telekomunikasi tidak lagi sekedar public utility tetapi sudah menjadi komoditi yang dapat dieksplorasi maksimal untuk berbagai produk layak jual dan mengeruk untung besar.

Bahwa potensi telekomunikasi bakal menjadi tambang emas sudah lama disadari oleh mereka yang menguasai teknologi-nya.  Pertengahan 90-an ITU (international telecommunication union)  mengungkap bahwa pasar telekomunikasi bernilai 513 milyar dollar. Info itu membuat hijau mata pemburu rente dan mereka bergegas menyusun rencana.   Sejak 1994 WTO mulai diperalat oleh Amerika and the gang untuk melancarkan aksi itu. Dengan jargon bahwa telekomunikasi mempunyai peranan yang penting dalam perdagangan internasional mereka mulai meniupkan racun liberalisasi, karena realita pada saat itu banyak Negara di dunia menggunakan telekomunikasi sebagai sarana public yang mutlak dimonopoli  oleh Pemerintah. Tatanan itu dipandang Amerika menjadi penghalang perkembangan perdagangan internasional, sehingga perlu "dirusak" dengan ajimat kompetisi dan liberalisasi.

Pada Putaran Uruguay 1994 "rencana jahat" mulai dijalankan. Namun di putaran itu hanya 8 negara yang tergiur dengan tawaran Amerika cs dan  berkomitmen untuk meliberalisasi bidang telekomunikasi. Minimnya peserta WTO yang setuju, belum cukup menjadi landasan implementasi. Namun mereka belum putus asa. Tahun 1996 dibentuk grup diskusi Negotiating Group On Basic Telecommunication (NGBT) namun belum berhasil juga. Lalu dibentuk grup baru lagi dengan nama The Group Basic Telecommunication. Tahun 1997 tercapai kesepakatan setelah 69 negara anggota WTO yang mewakili lebih dari 90% pendapatan telekomunikasi dasar dunia menyerahkan komitmen mereka dalam bidang telekomunikasi.

Komitmen tersebut sesuai dengan yang diharapkan oleh Amerika Serikat adalah   liberalisasi yang substansial dan menyeluruh. Inilah mile stone luruhnya telekomunikasi dari tangan Pemerintah. Karena dua tahun kemudian lahir Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999 yang salah satu pasal pentingnya adalah melepaskan kewenangan Penyelenggaraan Telekomunikasi dari tangan Pemerintah kepada swasta. Pemerintah cukup duknis (duduk manis) sebagai Pembina saja. Kaum liberal dunia bertepuk tangan. Pasar besar di Asia Tenggara takluk sudah.

Pada saat yang hampir bersamaan dengan dimulai pembicaraan liberalisasi telekomunikasi sebenarnya Indonesia sedang menjalankan rezim duopoly telekomunikasi di bawah Undang Undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi. Menurut kami, rezim duopoly sudah sangat tepat untuk Indonesia. Swasta sudah boleh masuk ke telekomunikasi, tetapi dibatasi untuk jasa telekomunikasi non dasar. Sedangkan untuk jasa dasar (teleponi) swasta boleh masuk dengan syarat harus bekerja sama dengan Badan Penyelenggara (Telkom dan Indosat). Artinya ada kombinasi antara monopoli dan kompetisi.

Telkom memanfaatkan belied ini dengan program Kerja Sama Operasi di lima Divisi Regional. Rombongan investor asing berduyun-duyun masuk Indonesia. Namun sayang sejarah mencatat dan ribuan karyawan Telkom  menjadi saksi kebrutalan implementasi KSO. Hampir semua investor yang masuk membawa pepesan kosong dan tak sanggup memenuhi kontrak. Bahkan saking parahnya, ada Divisi Regional yang "kalah kliring" dalam menggaji karyawan. Hampir semua KSO berakhir premature dan terdampar di meja Arbitrasi. Ternyata mereka datang bukan membawa modal dan teknologi yang akan ditransfer ke anak bangsa, mereka datang murni sebagai pedagang, atau tepatnya makelar biasa.

Rejim baru telekomunikasi yang dibawa oleh UU Nomor 36 Tahun 1999 berjalan  dengan ambiguitas. Ada yang mengatakan Undang Undang ini seperti produk setengah jadi sekaligus setengah hati, karena menimbulkan ketidakpastian. Di satu sisi, telekomunikasi masih diakui sebagai cabang produksi penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Namun disisi lain Penguasaan Negara atas telekomunikasi dilepas begitu saja kepada swasta. Lazimnya di sebuah iklim kompetisi, Pemerintah membuat badan yang independen sebagai wasit. Tetapi Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang diharapkan menjadi independence body ternyata tak benar-benar independen. Ketua BRTI dijabat Direktur Jenderal secara otomatis. Dengan format itu, kekuasaan Pemerintah masih melekat.

Banyak pihak, terutama yang pro liberalisme sewot dengan pengaturan itu, tetapi saya pribadi bisa memahaminya, karena dalam hati kecil para policy maker  masih ada bisikan nurani bahwa melepaskan kewenangan penyelenggaraan telekomunikasi dari tangan Pemerintah adalah sebuah pengkhianatan sejarah dan menyimpangi amanah Pasal 33 UUD 1945. Telekomunikasi itu sumber daya alam yang terbatas, milik Negara, yang artinya milik public. Mestinya Pemerintah yang mengelola langsung.

Tapi apa mau dikata, karpet merah sudah dibentangkan, dan teori makan bubur berhasil dilancarkan dengan lembut. Tahun 2007, dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi dibuka untuk modal asing maksimal 65%. Pertahanan makin rapuh, karena 2 tahun kemudian pagu maksimal itu naik lagi menjadi 67%. Dan 2018 berhembus kabar akan disempurnakan menjadi 100%.

Masuknya investasi asing ke sektor telekomunikasi sebenarnya membawa perubahan yang positif, selama porsinya cocok. Fakta tak terbantahkan, industri telekomunikasi tumbuh pesat di 10 tahun pertama liberalisasi, bahkan menurut saya mengalami over heat. Persaingan sangat brutal dan nyaris tidak rasional. Indonesia pernah memiliki 11 operator telekomunikasi, bandingkan dengan China atau India yang konon hanya ada 3 operator. Terjadi perang iklan yang nyaris mengabaikan business ethic.

Jatuh bangun operator telekomunikasi menjadi berita rutin. Esia, Star one, Flexi, tak terdengar lagi kuburnya. Smart bergabung dengan Fren. Datang dan pergi pemegang saham silih berganti. Tiba-tiba Indosat sudah bukan BUMN lagi karena saham milik Pemerintah yang awalnya mayoritas hanya tersisa sekitar 14,29% pasca program Penjualan BUMN dilancarkan. Tiba-tiba Excelcomindo Pratama  sudah menjadi XL  Axiata karena ganti majikan dari negeri jiran Malaysia dan dengan lahap menelan Axis. Begitulah serunya kompetisi dan sayangnya  kompetisi itu hanya terjadi di wilayah tertentu saja, tidak merata di penjuru nusantara. Inilah buah kompetisi dan absennya Negara dalam penyelenggaraan telekomunikasi.

Disela kerisauan itu, tiba tiba berdengung nada sumbang bahwa sektor telekomunikasi akan di-drop out dari Daftar Negatif Investasi. Artinya kepemilikan asing yang tadinya dibatasi maksimal 67% akan di-los seperti pintu kehilangan daunnya. Lalu sisa apalagi yang dapat dipegang oleh bangsa ini?.

Pembatasan kepemilikan asing di sektor swasta adalah benteng terakhir pertahanan Indonesia. Bangsa ini sangat ketinggalan dalam penguasaan teknologi baik hardware maupun software walau banyak anak bangsa yang hebat, tapi mereka kurang dapat tempat. Kita sudah menjadi bangsa consumer telekomunikasi. Catatan statistic Kominfo tahun 2017 menunjukan dari ratusan uji kaji perangkat telekomunikasi 90% lebih diajukan oleh Negara asing. Produk anak bangsa kurang dari 10%. Lalu apa yang membuat kita masih bisa tegak berjalan di halaman rumah sendiri. Tak lain karena kita masih bisa "mengendalikan" modal melalui jaring pengaman DNI itu. Tapi kalau sisa yang terakhir inipun diobral, kelar lah kita.

Tak perlu heran apabila kabar dari Pak Darmin Nasution ini mendapat tanggapan yang seragam. Asosiasi, ormas dan beberapa pakar di bidang bisnis telekomunikasi menyatakan rencana itu salah. Banyak dari penolakan tersebut mengambil dasar dari sudut pandang ekonomi pragmatis. Sektor telekomunikasi menyuburkan Usaha Kecil dan Menengah. Mereka akan menjadi korban pertama apabila muncul pesaing-pesaing baru dari luar yang mungkin lebih unggul dalam pendanaan dan knowledge. Namun ada Serikat Karyawan yang melihat kekeliruan rencana Paket ke-16 itu dari sudut yang beda. "Menyerahkan telekomunikasi kepada 100% asing sama dengan menggadaikan kedaulatan Indonesia". Itu tulisan spanduk protes mereka.

Kita pikir-pikir pernyataan filosofis ini banyak benarnya. Bayangkan, telekomunikasi adalah cabang produksi penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Ini kata undang undang, bukan ujaran dari saya. Cabang produksi yang masuk kategori ini harus dikuasai oleh Negara, supaya ada jaminan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahkan di dalam Penjelasan Undang Undang Pertahanan Negara disebutkan "era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi, dan informasi sangat mempengaruhi pola dan bentuk ancaman. Ancaman terhadap kedaulatan negara yang semula bersifat konvensional (fisik) dan saat ini berkembang menjadi multidimensional (fisik dan nonfisik), baik yang berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri.

Jelas disini bahwa sektor telekomunikasi mempunyai peran strategis dalam memelihara kedaulatan Negara. Jadi apabila kepemilikan telekomunikasi dapat 100% oleh asing sama dengan menggadaikan kedaulatan Negara. Pernyataan itu cukup berdasar karena ancaman kedaulatan Negara yang dapat masuk lewat telekomunikasi cukup banyak.  Ancaman yang bersifat multidimensional tersebut dapat bersumber, baik dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya maupun permasalahan keamanan yang terkait dengan kejahatan internasional, antara lain terorisme, imigran gelap, bahaya narkotika, pencurian kekayaan alam, bajak laut, dan perusakan lingkungan. Jadi apabila sepanduk itu menggunakan istilah Menggadaikan Kedaulatan Indonesia, kita bisa paham karena dampak sistemik yang dapat ditimbulkan dari telekomunikasi memang lebar.

Saya maklum, kadang Negara kita  yang sedang membangun ini dihadapkan pada pilihan ganda. Di satu sisi ada target-target jangka pendek yang harus dicapai, misalnya pembukaan lapangan kerja yang butuh investasi. Sehingga perlu ada umpan untuk menstimuli agar investor mau datang. "Plis invest in my country", kata pak Jokowi,....  Kondisi seperti ini membuat para perancang kebijakan sedikit panic. Pak Darmin Nasution salah satunya. Hasil dari kepanikan tersebut menjadi lucu. Pagi dibuka, sore ditutup, pagi sarapan tempe, sore tinggal delai nya. Akhirnya PKE-16 ditunda untuk beberapa saat.

Padahal sebenarnya kepanikan itu tidak harus menjadikan kebijakan yang diambil menjadi kontra produksi. Kalap dan menghajar semua sektor dengan asumsi semua itu adalah komoditas yang dapat di-asing-kan. Padahal di dalamnya ada sektor strategis yang merupakan cabang produksi penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup, yaitu telekomunikasi. Sektor telekomunikasi ini, walaupun penuh dengan nilai jual, dan laku keras, tetapi fungsinya sebagai public utility tidak boleh dilupakan. Nilai-nilai tersebut harus selalu disertakan dalam setiap analisa kebijakan telekomunikasi, agar penyelenggaraan telekomunikasi tidak menyimpang dari amanah konstitusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun