Mohon tunggu...
Jan Pieter Windy
Jan Pieter Windy Mohon Tunggu... staf -

melihat dari sudut yang berbeda

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rawan Pangan di Provinsi Jagung

22 September 2015   12:50 Diperbarui: 22 September 2015   13:01 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi"][/caption]Dalam keseharian aktivitas bersama komunitas dampingan yang mayoritasnya adalah petani, saya sering mendapat curhat dan keluhan dari mereka tentang hujan yang tidak menentu dalam artian curah hujan yang sangat minim, terlambat dari waktu biasanya, dan tidak merata. Akhir dari curhat dan keluhan tersebut biasanya bersifat ramalan bahwa tahun ini mereka akan kesulitan pangan akibat gagal tanam, gagal panen. Kondisi ini menurut mereka akan berdampak pada berkurangnya ketersediaan pangan.

Pada saat mendengar curhat dan keluhan dari kawan-kawan petani tersebut, dalam hati saya berpendapat bahwa konsep keamanan dan kedaulatan pangan sudah harus menjadi manstreaming dari para pengambil kebijakan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebab konsep ketersediaan pangan saja tidak cukup untuk mengatasi persoalan pangan di NTT.

Bertolak dari pendapat yang demikian, maka tulisan ini dimaksudkan untuk menggugat sekaligus menggugah Pemprov. NTT agar dalam merespon masalah pangan di NTT tidak dilakukan secara kasuistis tetapi secara berkelanjutan. Tulisan ini juga akan menggambarkan beberapa titik hitam dari noda yang hingga kini masih mengotori proses pembangunan di NTT sehingga patut dipertanyakan.

Propinsi NTT mempunyai penduduk sekitar 4 juta jiwa yang mendiami 42 pulau dari 566 pulau yang ada. Luas propinsi NTT diperkirakan mencapai 47.350 KM2 yang pada umumnya berbentuk pegunungan dan perbukitan dengan sedikit daerah dataran. Propinsi NTT terletak di sebelah barat garis Wallace, dengan cuaca seperti Australia, yaitu musim kemarau panjang pada bulan Maret hingga November dan musim hujan yang pendek. Kekeringan pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan terjadi hampir setiap tahunnya. Lebih dari 80 persen penduduk NTT menggantungkan penghidupannya pada pertanian,  setidaknya dari total jumlah penduduk, terdapat 30 persen penduduk miskin. Sekitar 39 persen anak balita menderita gizi kurang; bahkan dibeberapa daerah angkanya dapat mencapai lebih dari 50 persen.

Tanah bersolum tipis dan kurang subur serta rendahnya curah hujan, membuat sebagian orang (mungkin juga termasuk para pengambil kebijakan di NTT) selalu beranggapan bahwa masalah pangan sudah menjadi takdir yang harus diterima. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila tingginya angka kemiskinan, bombastisnya tingkat kematian ibu hamil dan meningkatnya pengidap gizi buruk telah dianggap lumrah.

Walaupun hasil panen sering kurang dari kebutuhan konsumsi, petani di NTT juga menjual sebagian hasil produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan lain, misalnya untuk kesehatan, pendidikan dan sosial. Selain itu, meskipun hasil utama masyarakat adalah jagung dan singkong, tetapi mereka telah dibiasakan untuk mengkonsumsi beras dengan beberapa alasan. Oleh karena itu, tidak tersedianya beras seringkali dianggap beberapa kalangan sebagai kekurangan pangan.

Bahkan yang lebih menggelikan lagi, karena persoalan pangan, masyarakat setiap bulan selalu direkayasa untuk membeli ± 20 KG jatah RASKIN (Beras Miskin) dengan harga Rp. 2000/KG. Parahnya lagi, persoalan rawan pangan seakan-akan menjadi pembenaran untuk memperbesar dana SILPA maupun dana tanggap darurat yang sangat berpotensi di korupsi, sebagaimana dalam catatan akhir tahun PIAR NTT yang semakin meningkat setiap tahunnya. Pengalaman PIAR-NTT dalam melakukan advokasi terhadap berbagai kasus korupsi dan persoalan kemiskinan di NTT, juga menemukan bukti bahwa dana untuk menanggulangi KLB gizi buruk di NTT pada tahun 2005 sebesar Rp. 64.227.000.000,00 yang belum dipertanggungjawabkan oleh pejabat di 15 dari 16 kabupaten/kota di NTT dan diduga terindikasi korupsi. (Paul SinlaEloE, 2009).

Ironis memang bila rawan pangan masih menjadi masalah bagi masyarakat di daerah merdeka ini. Pertemuan Pangan Dunia (1996), menguraikan bahwa Ketahanan pangan terjadi ketika seluruh orang, pada setiap waktu, mempunyai akses yang cukup secara fisik, sosial dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi, yang memenuhi kebutuhan gizi dan pilihan pangan untuk hidup aktif dan sehat.

Survey pangan yang pernah dilakukan KoAR-Kupang (2008) pada masyarakat petani di Desa Kuanheum, Kabupaten Kupang, menemukan fakta bahwa dalam kondisi panen normal, masyarakat petani miskin hanya sanggup memenuhi 25-35 persen kebutuhan pangannya dari hasil produksi sendiri, sisanya harus didapatkan dengan membeli. Survey tersebut juga menemukan bahwa apabila terjadi gagal panen dan gagal tanam, masyarakat akan menjual aset-asetnya untuk membeli pangan. Beberapa kelompok juga melakukan tidakan penyesuaian beresiko, misalnya mengkonsumsi ubi hutan dan kacang hutan, sebagian lagi bermigrasi untuk mencari pekerjaan di tempat lain.

Saya teringat pada bacaan yang pernah saya baca bahwa keamanan atau kecukupan pangan mempunyai hubungan yang erat dengan hak hidup. Hal ini sangat jelas terbesit dalam Kovenan Internasional Hak Sosial Ekonomi Budaya Pasal 11 (2), khususnya butir a. Pada pasal ini tertulis bahwa negara-negara yang menandatangani  kovenan ini mengakui bahwa bebas dari lapar adalah hak dasar setiap orang dan untuk mencapainya negara-negara yang menandatangani  harus mempunyai program kerja yang mencakup perbaikan metode-metode produksi, konservasi, dan distribusi makanan; penyebarluasan pengetahuan-pengetahuan dasar nutrisi; dan pelaksanaan reformasi agraria untuk mencapai pengembangan dan pemanfaatan sumber daya alam secara paling efisien.

Sementara kondisi ini sangat sulit untuk menjadi kenyataan di Nusa Tenggara Timur, dimana lebih dari 39 persen anak mengalami masalah gizi, lebih dari 80 persen masyarakat berada digaris kemiskinan, hasil produksi pertanian yang tidak pernah mencukupi kebutuhan konsumsi, serta kondisi infrastruktur yang mengisolasi sebagian masyarakat untuk dapat mengakses penghidupannya ke luar lokasi tempat tinggal, bahkan membuat sebagian masyarakat lupa bahwa sejak 17 agustus 1945 negara ini telah merdeka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun