Di era modern, isu halal telah berkembang jauh melampaui urusan pribadi. Label halal bukan sekadar tanda pada kemasan, melainkan instrumen penting yang memengaruhi kepercayaan konsumen, perdagangan internasional, hingga reputasi industri. Pertanyaannya, dari mana sebenarnya keyakinan kita bahwa suatu produk benar-benar halal?
Dalam sebuah forum halal, Ali Fauzan menegaskan bahwa keyakinan tidak boleh lahir dari asumsi kosong. "Kalau Anda mengatakan ini halal tanpa pernah melihat dokumen sertifikatnya, itu konyol. Bahkan bisa disebut berbohong kepada Allah," ujarnya. Peringatan ini terdengar keras, namun penting untuk direnungkan.
Halal Bukan Sekadar Klaim
Fenomena sehari-hari menunjukkan, banyak orang cepat puas dengan klaim verbal atau sekadar tulisan "halal" di kemasan. Padahal, pertanyaannya sederhana: apakah label itu resmi, apakah sertifikatnya masih berlaku? Keyakinan tanpa data inilah yang disebut sebagai "keyakinan kosong".
Padahal, Islam mengajarkan pentingnya bukti. Mengatakan sesuatu halal berarti seakan memberi kesaksian atas nama Allah---sebuah tanggung jawab besar yang tidak boleh sembarangan.
Sertifikat Sebagai Jaminan
Sertifikat halal bukan formalitas, melainkan hasil proses pemeriksaan ketat, mulai dari bahan baku, produksi, hingga distribusi. Tanpa sertifikat, bagaimana kita yakin produk tersebut benar-benar terjamin? Di era digital, sertifikat halal bisa diverifikasi dengan mudah melalui lembaga resmi.
Ironisnya, untuk urusan duniawi kita begitu teliti, seperti saat membeli ponsel atau kendaraan. Tetapi untuk urusan halal-haram, yang menyangkut ibadah, justru sering longgar.
Bangun Budaya Verifikasi
Inilah saatnya membangun budaya verifikasi. Konsumen berhak menuntut bukti, bukan hanya menerima klaim. Produsen yang jujur tentu siap menunjukkan dokumen halal produknya. Ketika konsumen kritis bertemu dengan produsen yang transparan, industri halal akan tumbuh sehat.