Jurnalisme disuatu negara harus memiliki pondasi yang kokoh untuk mendukung tujuan Pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) ke-16 pada perdamaian, keadilan, dan institusi yang kuat. Karena jurnalis memastikan transparansi informasi yang terjadi disuatu daerah kepada masyarakat sekitar. Jurnalisme juga membantu masyarakat sekitar untuk mempersiapkan diri terkait ancaman dan tantangan yang akan dan sedang terjadi di kemudian hari. Akan tetapi, proses transparansi informasi yang dilakukan oleh jurnalis akan terhambat akibat adanya tantangan secara alamiah dan oleh manusia sendiri. Sebuah laporan yang diterbitkan oleh Yayasan Tifa (2025) tentang indeks keselamatan jurnalis menunjukan hasil survei dari 760 jurnalis yang diambil sampelnya dari seluruh Indonesia dari sabang sampai Merauke. Data survei ini menunjukan bahwa jurnalis-jurnalis di Indonesia masih mengalami tindakan kekerasan pada proses peliputan sampai publikasi berita. Tindakan kekerasan yang diterima berasal dari beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab dan mengganggu proses transparansi dari informasi tersebut. Pihak-pihak tersebut berusaha untuk menyembunyikan informasi yang menguntungkan diri mereka sendiri dan merugikan pihak lain, yang terdampak dari informasi tersebut. Dari data-data yang ada, laporan tersebut menunjukan variasi data keselamatan jurnalis dari daerah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali-Nusa Tenggara, Maluku-Maluku Utara, Sulawesi, sampai ke Papua. Artikel ini berusaha untuk memetakan tingkat keselamatan jurnalis disetiap daerah dan menekankan faktor-faktor keselamatan jurnalis didaerah-daerah tertentu.
Data pada artikel ini diperoleh dari laporan indeks keselamatan jurnalis yang diteliti oleh Yayasan Tifa (2025) dalam bentuk kuisioner survei. Data diperoleh dari 760 jurnalis yang tersebar di seluruh Indonesia. Data yang diolah adalah data kekerasan kepada jurnalis dan jenis laporan berisiko yang terjadi disetiap daerah di Indonesia. Kemudian, setiap variabel ditransformasikan untuk memiliki satuan jumlah kejadian per 100 jurnalis untuk data kekerasan dan jumlah liputan per 100 jurnalis untuk data liputan berisiko. Tujuan dari transformasi satuan data adalah untuk mempermudah analisis data dan mengurangi faktor kekompleksitasan dari data. Data kemudian diolah menggunakan pirati lunak (software) Rstudio untuk memanfaatkan teknik k-means clustering untuk mengelompokan daerah-daerah di Indonesia yang memiliki indeks keselamatan jurnalis yang beragam. Teknik k-means clustering adalah teknik pembelajaran tidak terbimbing (unsupervised learning) untuk mengelompokan variabel-variabel tertentu berdasar jumlah titik pusat (Scrucca et al. 2023). Penetapan titik pusat dari kelompok (cluster) diujicobakan dari 2 sampai 5 pusat. Artikel ini menetapkan paling besar 5 titik pusat untuk mengikuti data dari laporan Yayasan Tifa (2025) yang pengelompokan datanya dari sangat berisiko, cukup berisiko, netral, cukup tidak berisiko, dan sangat tidak berisiko. Akan tetapi, setelah melakukan uji coba dari kodenya, hasil uji memperoleh bahwa dari 3 titik pusat kelompok memiliki hasil yang optimal dan dapat intepretasi secara baik. Penetapan kelompok dilakukan mempertimbangkan jenis kekerasan dan laporan berisiko.
- Pemetaan berdasar Jenis Kekerasan
Berdasar aplikasi dari metode k-means clustering untuk data jenis kekerasan, artikel ini memperoleh 3 kelompok daerah risiko berdasarkan jenis kekerasan. Kelompok 1 dikategorikan kurang berisiko (ditandai dengan warna hijau pada gambar) terjadi di daerah Bali dan Nusa Tenggara. Jenis kekerasan yang paling sering muncul di kelompok 1 adalah pelecehan verbal dan serangan digital. Kelompok 2 memiliki kategori cukup berisiko (ditandai warna kuning pada gambar) terjadi pada Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Kelompok 2 memiliki jenis kekerasan dari percobaan pembunuhan, ancaman pembunuhan, penculikan atau penyanderaan, tuntutan hukum, dan penghapusan liputan. Kelompok 3 merupakan kelompok yang paling berisiko untuk menjadi jurnalis karena memiliki kekerasan perampasan atau pengrusakan alat, pelarangan liputan, pelarangan berita, pelecehan seksual, kekerasan fisik, dan penahanan. Kelompok 3 cenderung terjadi pada daerah kepulauan maluku dan maluku utara. Amatan risiko dari semua kelompok dilihat dari banyaknya jenis kekerasan yang terjadi disuatu daerah. Berdasar pemetaan k-means clustering, diketahui bahwa daerah Bali dan Nusa Tenggara merupakan daerah paling aman untuk jurnalis dengan jenis kekerasan yang paling rendah. Maluku dan Maluku Utara memiliki risiko yang tinggi untuk meliput dan menjadi jurnalis. Sedangkan untuk meliput didaerah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua memiliki tingkat risiko yang sedang.
Bali dan Nusa Tenggara merupakan destinasi wisata favorit oleh masyarakat mancanegara. Hal ini menyebabkan tingkat kekerasan jurnalis didaerah tersebut rendah untuk menjaga martabat dan menaikan indeks pariwisata di daerah tersebut. Tingginya kekerasan pada jurnalis akan mengurangi datangnya turis asing yang dapat berakibat buruk untuk pendapatan (devisa) negara. Maluku dan maluku utara masuk kedalam zona merah untuk jurnalis akibat aktifnya beberapa separatis seperti republik maluku Selatan (RMS) dan letak geografisnya yang cukup terpencil dari beberapa pusat kota besar. Pembangunan yang tidak merata dimaluku dan maluku utara juga menjadi salah satu penyebab perkembangan hukum serta perlindungan jurnalis menjadi tidak optimal. Yang menjadi sorotan pada subbab ini adalah kelompok 2 yang memiliki tingkat risiko kekerasan pada jurnalis yang sedang. Sumatera dan Jawa pada tahun 2024 sedang ditekankan untuk proses pembangunan. Tentunya beberapa aliran informasi akan diizinkan untuk mempercepat proses pembangunan. Akan tetapi, daerah di kelompok 2 ini juga memiliki keterlibatan beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab dan ingin memutuskan proses transparansi informasi oleh jurnalis. Meskipun pada artikel ini kelompok 2 termasuk golongkan berisiko sedang, jurnalis tetap harus berhati-hati karena diantara kekerasan yang terjadi, ada potensi risiko kehilangan nyawa (percobaan pembunuhan).
- Pemetaan berdasar Liputan Berisiko
Pemetaan risiko jurnalis juga dilakukan terkait jenis liputan berisiko yang dilalui oleh para jurnalis. Sama seperti subbab sebelumnya, risiko berdasar jenis liputan yang berisiko menghasilkan 3 kelompok (cluster). Kelompok 1 merupakan kelompok paling tidak berisiko (ditandai dengan warna hijau pada gambar) karena liputan berisiko yang terjadi cenderung rendah dan terjadi di daerah Bali, Nusa Tenggara, dan Kalimantan. Sedangkan kelompok 2 adalah daerah berisiko sedang (ditandai dengan warna kuning pada gambar) pada Maluku dan Maluku Utara yang hanya meliput konflik masyarakat, penyebaran penyakit, dan bencana alam. Kelompok 3 tergolong berisiko berbahaya untuk jurnalis (ditandai dengan warna merah pada gambar) karena memiliki liputan seperti konflik militer, kekuasaan kelompok tertentu, penyebaran penyakit, aksi teroris, aksi kriminal, dan demonstrasi. Kelompok 3 mencakup Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Papua. Dari hasil pengolahan k-means clustering, Bali, Nusa Tenggara, dan Kalimantan tergolong kelompok yang memiliki liputan berisiko yang paling rendah. Sedangkan kelompok yang memiliki liputan berisiko paling tinggi mencakup daerah-daerah padat penduduk seperti Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Papua. Pengelompokan liputan berisiko melihat dari jumlah liputan berisiko yang muncul.
Bali dan Nusa Tenggara memiliki liputan berisiko paling rendah karena daerah tersebut hanya ditujukan untuk wisata. Tingginya liputan berisiko didaerah tersebut dapat menurunkan tujuan wisata dan menurunkan pendapatan negara. Kalimantan juga memiliki liputan berisiko yang rendah akibat proses transisinya untuk memiliki ibukota negara yang sebelumnya ditempatkan di Jakarta. Beberapa decade akhir, Kalimantan hanya memiliki permasalahan terkait infrastuktur untuk mendukung proses pembangunan ibu kota negara (IKN). Berbeda dari pulau lainnya, Kalimantan masih memiliki pendatang yang minim dari pulau lain sehingga konflik konflik yang terjadi masih tergolong ringan. Maluku dan Maluku utara termasuk kedalam liputan berisiko sedang karena letaknya yang cukup terpencil dan kepulauan. Daerah ini rentan terhadap konflik masyarakat akibat kompleksitas dari intervensi antar masyarakat. Ditambah penjagaan keselamatan jurnalis yang masih rendah akibat sulitnya akses transportasi di daerah kepulauan. Hal yang cukup menarik adalah liputan berisiko justru tinggi pada daerah padat penduduk. Beberapa liputan seperti kekuasaan kelompok tertentu, criminal, dan demonstrasi sering terjadi di Jawa dan Sumatera karena letaknya yang dekat dengan pusat perekonomian. Meski daerah ini memiliki akses untuk keselamatan para jurnalis, peran beberapa oknum yang ingin mencelakakan jurnalis cukup kuat pada daerah kelompok 3. Papua juga termasuk kedalam kelompok 3 akibat seringnya terjadi konflik militer, kekuasaan kelompok tertentu, dan aksi teroris. Hal ini terjadi karena masih aktifnya organisasi bersenjata seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang memberikan konflik berkepanjangan kepada Republik Indonesia.
- Pentingnya Pemetaan Keselamatan Jurnalis berdasar Survei
Dari hasil pengelompokan risiko jurnalis berdasarkan jenis kekerasan dan liputan berisiko, daerah yang aman untuk menjadi jurnalis dan meliput berita adalah Bali dan Nusa Tenggara. Bali dan Nusa Tenggara sudah diprioritaskan oleh pemerintah untuk menjadi sumber pemasukan utama dari aspek pariwisata. Dari hal ini, maka beberapa liputan dan kekerasan yang terjadi kepada jurnalis dapat dikurangi. Sedangkan daerah yang tidak aman untuk menjadi jurnalis di Indonesia masih memiliki variansi yang besar. Daerah padat penduduk seperti Sumatera, Jawa, dan Papua memiliki jenis kekerasan yang sedang, namun memiliki risiko peliputan yang tinggi akibat kekompleksitasan dari permasalahan yang ada. Sedangkan Maluku dan Maluku Utara memiliki jenis kekerasan kepada jurnalis yang tinggi, namun risiko peliputannya tergolong sedang. Letaknya yang terpencil dan kepulauan menyulitkan usaha penjagaan keselamatan jurnalis didaerah ini. Artikel ini menunjukan bahwa beberapa pihak pemberi keselamatan dari pemerintah, polisi, dan tentara perlu menjaga keprofesian jurnalis untuk memastikan jalannya proses transparansi informasi. Daerah-daerah seperti Maluku dan Maluku Utara perlu dikaji terkait aspek keselamatan jurnalis secara tinggi akibat letaknya yang terpencil. Daerah padat penduduk seperti Sumatera, Jawa, dan Papua perlu ditingkatkan penjagaan keselamatan jurnalis secara urban oleh polisi karena kemungkinan keterlibatan oknum yang tidak bertanggung jawab.
Referensi
- Scrucca, L., Fraley, C., Murphy, T. B., & Raftery, A. E. (2023). Model-based clustering, classification, and density estimation using mclust in R. Chapman and Hall/CRC
- Yayasan Tifa. (2025). Indeks Keselamatan Jurnalis 2024: Ancaman dan Risiko Keselamatan Jurnalis pada Masa Transisi. Yayasan Tifa