Secuil kisah dari pelosok negri
Aku tinggal di sebuah pelosok kampung yang asri dan rindang. Berada di Sibagasi , sebuah kampung kecil di Padang lawas Utara yang letaknya jauh dari ibukota . Ayahku ialah seorang petani karet sedangkan ibuku seorang guru honorer di Sekolah Dasar .Rumahku hanya terdiri dari bangunan semipermanen dari batubata dan setengah rumah panggung.
Bapakku pernah bilang “ Tuntutlah ilmu setinggi mungkin , karena kau kelak akan bersaing di masa yang akan datang, “. Tapi apakah hal itu bisa terwujud sedangkan aku berasal dari keluarga yang pas-pasan bahkan bisa makan dalam sehari pun aku sudah sangat bersyukur. Sedangkan untuk melanjutkan studi ke perkuliahan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Namun niatku mulai muncul saat aku belajar di sebuah pondok modern bernama Ponpes Al-Hasanah yang berlokasi di di Ibukota Medan Sumatra Utara. Sewaktu itu aku diantar oleh Tulang[1] Ahmad yang tinggal di Kota Binjai . “Bonar, selayaknya kau itu mondok saja. Kau itu ada basic agama , disana kau bakal bisa kembangkan potensi !” ucap beliau padaku saat kumpulan keluarga .
Memang kalu dipikir pikir ,ucapan dari adik bapakku ini ada benarnya juga. Karena aku sadar bahwa saat di Sekolah dasar ialah anak yang suka dalam bidang keagamaan seperti azan, baca Al-Quran maupun sholawatan.
Akhirnya, aku memutuskan untuk belajar dipondok yang disarankan oleh Tulang-ku itu, dan diantar dengan naik bis antar kota sampai ke Medan. Orangtuaku tidak ikut karena mereka sedang sibuk bekerja. Sampai di pondok itu aku disuguhi sebuah plat panjang bertuliskan “kesini apa yang kau cari?’’. Aku tertegun setelah membacanya.Seakan menantang nyali seorang penuntut ilmu disana.
Kegiatan dipondok ini sangat bervariasi tapi yang wajib terfokus pada dua hal. Yaitu Bahasa dan Kitab kuning. Setiap hari jumat ada kegiatan Muhadoroh yaitu pelatihan pidato dengan 3 bahasa ; Indonesia, Inggris dan Arab . Ditahun pertama atau setingkat kelas 1 SMP ,aku hanya belajar pembukaan pidato saja. Dan yang aku sukai adalah bahasa arab.
Pengalaman bermulai saat kelas dua dimana saat itu aku berpidato bahasa indonesia. Dan tiba-tiba seniorku memilihku untuk bergabung ke ORISKA yaitu orator islam kontemporer Al-Hasanah. Suatu kebanggaan yang luar biasa bagiku. ORISKA merupakan wadahnya orang-orang yang handal dalam berpidato dan banyak menyemai prestasi di dalam maupun di luar pondok.
Disitu aku mulai berlatih pidato dua bahasa .tapi karena aku lebih nyaman dengan bahasa arab akhirnya aku pilih bahasa arab . Latihan dimulai dengan olah vokal . Akhi[2] Wahyu selaku pembimbingku mengajar dengan tegas. Suatu hari dibelakang pondok; aku , Rahmat dan Arif sesama anak ORISKA berlatih vokal dimana kami harus berteriak sekuat-kuat mungkin agar bersuara lantang , agak sedikit aneh memang . Meneriaki sawah yang berisi padi dan burung pipit tanpa ada yang menyahut.
Selain itu kami juga berlatih gestur. Kali ini Akhi wahyu mencontohkan gestur yang benar saat pidato. Posisi tangan, kaki dan badan ada porsinya masing-masing.
’’Wibawa seseorang terlihat dari sikap badannya bukan bentuk badannya. Apalagi kamu bar biar badanmu kecil tapi dengan gestur akan terlihat gagah, betul tak?”. kata Akhi Wahyu .