"Biofertilizer eceng gondok dapat menjadi gerakan nasional untuk pertanian hijau dan berketahanan"
Indonesia merupakan negara agraris yang sangat bergantung pada sektor pertanian untuk menopang ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi.Â
Namun, bencana banjir yang kerap melanda berbagai wilayah di Indonesia, terutama saat musim hujan tiba, menimbulkan dampak signifikan terhadap keberlanjutan lahan pertanian.Â
Banjir tidak hanya menggenangi area tanam, tetapi juga mengikis unsur hara dalam tanah, mengganggu struktur tanah, serta meninggalkan residu limbah yang berpotensi merusak kesuburan jangka panjang.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan pendekatan inovatif yang tidak hanya bersifat kuratif tetapi juga berkelanjutan.Â
Salah satu solusi ramah lingkungan yang kini mulai dikembangkan adalah penggunaan biofertilizer atau pupuk hayati dari eceng gondok (Eichhornia crassipes).Â
Tanaman air ini yang selama bertahun-tahun dikenal sebagai gulma pengganggu di perairan, ternyata menyimpan potensi besar sebagai bahan dasar pupuk organik yang mampu memperbaiki kualitas tanah pasca-banjir.
Eceng Gondok: Dari Gulma Menjadi Solusi Pertanian
Eceng gondok tumbuh subur di danau, sungai, dan waduk. Kecepatan pertumbuhannya sangat tinggi sehingga kerap menutupi permukaan air dan menghambat ekosistem perairan.Â
Namun di balik dampak negatif tersebut, tanaman ini mengandung berbagai senyawa yang bermanfaat untuk kesuburan tanah seperti nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), serta unsur mikro lainnya.Â
Melalui proses fermentasi atau kompos, eceng gondok dapat diolah menjadi biofertilizer yang tidak kalah efektif dibandingkan pupuk kimia.
Pemanfaatan eceng gondok sebagai biofertilizer memberikan dua manfaat sekaligus.Â
Pertama, membantu pengelolaan limbah gulma perairan yang seringkali menjadi masalah lingkungan.Â