Dengan menerapkan prinsip Ramadan Hijau, kita tidak hanya meningkatkan kualitas ibadah, tetapi juga ikut serta dalam menjaga kelestarian bumi.
Bulan Ramadan merupakan waktu yang penuh berkah bagi umat Islam di seluruh dunia.Â
Selain menahan lapar dan dahaga, Ramadan juga menjadi momentum untuk meningkatkan kepedulian sosial, memperdalam ibadah, dan memperbaiki kebiasaan hidup.Â
Namun, di balik semangat spiritual ini, ada satu aspek yang sering terlupakan: dampak lingkungan dari pola konsumsi yang berubah selama Ramadan.
Ironisnya, bulan yang mengajarkan kesederhanaan justru sering diwarnai oleh pemborosan makanan, peningkatan konsumsi energi, serta melonjaknya penggunaan plastik sekali pakai.Â
Fenomena ini mendorong munculnya konsep Ramadan Hijau, yaitu upaya menjadikan bulan suci ini lebih ramah lingkungan dengan menerapkan gaya hidup yang berkelanjutan.Â
Dengan langkah-langkah kecil namun bermakna, kita dapat menjaga keseimbangan antara ibadah dan tanggung jawab terhadap lingkungan.
Mengapa Ramadan Hijau Penting?
Selama bulan Ramadan, pola konsumsi masyarakat cenderung meningkat.Â
Berbagai riset menunjukkan bahwa sampah makanan melonjak hingga 25-50% dibanding bulan biasa.Â
Masjid-masjid yang menyelenggarakan buka puasa bersama sering kali menghasilkan tumpukan sampah plastik dan makanan sisa dalam jumlah besar.Â
Begitu pula dengan rumah tangga yang kerap menyediakan hidangan berlebihan karena godaan lapar saat berpuasa.
Selain itu, penggunaan listrik dan air juga meningkat signifikan.Â
Aktivitas ibadah yang lebih padat di malam hari, seperti shalat tarawih dan tadarus Al-Qur'an, menyebabkan konsumsi listrik lebih tinggi.Â
Pendingin udara di masjid dan rumah-rumah dihidupkan lebih lama, sementara penggunaan air untuk wudhu juga meningkat.