BAGIAN PERTAMA DARI DUA TULISAN
Zulkifly Pagessa (Direktur Donggala Heritage)
"Besok hari Rebo 5 Desember 1900 pertoendjoekan besar jang pertama didalem satoe roemah di Tanah Abang, Kebondjae (Menage) moelai poekoel toedjoe malem, harga tempat : klas satoe f 2, klas doewa f 1, klas tiga f 0,50."
(Iklan Surat Kabar Bintang Betawi edisi 4 Desesmber 1900)
Pada tanggal 5 Desember 1900, film pertama hadir di Hindia Belanda yang ditandai dengan sebuah iklan di surat kabar Bintang Betawi yang terbit sehari sebelumnya. Iklan tersebut menampilkan pengumuman bahwa Nederlandsch Bioscoop Maatschappij akan memutar film di salah satu rumah di Tanah Abang Kebondjae, Batavia pada pukul tujuh setiap malamnya. Film yang dimainkan ketika itu adalah film dokumenter tanpa suara perjalanan Raja dan Ratu Belanda di Den Haag. Masyarakat yang ingin menonton diharuskan membeli tiket seharga f 2 untuk kelas satu, f 1 untuk kelas dua dan f 0,5 untuk kelas tiga.
Pada tahun 2017, Dr. Dafna Ruppin menemukan fakta berbeda yang ditulisnya dalam sebuah jurnal bertajuk The Emergence of a Modern Audience for Cinema in Colonial Java. Dafna Ruppin menemukan fakta sejarah bahwa film pertama di Hindia Belanda diputar pada tanggal 11 Oktober 1896, mengacu pada iklan surat kabar Java-Bode edisi 9 Oktober 1896. Pemutaran film pertama di Jawa itu dilakukan oleh Louis Talbot, seorang fotografer berkebangsaan Perancis yang tinggal di Batavia. Pemutaran film yang bertempat di Batavia Schouwburg, (kini Gedung Kesenian Jakarta) itu, hanya berselang 10 bulan dari peluncuran film pertama menggunakan proyektor oleh Louis Lumiere dan Auguste Lumiere yang berjudul "Sortie del'usine Lumira de Lyon" (Karyawan Meninggalkan Pabrik Lumiere) pada tanggal 28 Desember 1895.
Sejak saat itu, film dan bioskop telah menjadi bagian dari tradisi urban colonial masyarakat di wilayah Hindia Belanda. Bioskop mulai beroperasi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung Jogjakarta, Surabaya, Medan, Makassar, juga di Kota Donggala. Buku berjudul Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa yang ditulis oleh Misbach Yusa Biran, menjadi rujukan penting sejarah film dan bioskop di Indonesia. Buku yang terbit tahun 2009 ini muat catatan penting keberadaan bioskop di masa Hindia Belanda yang pada tahun 1936 telah beroperasi 227 bioskop. Dari daftar bioskop yang disusun bersama oleh Gabungan Importir Film, Departemen Film Perusahaan Dagang Kian Gwan dan Tuan Weskin yang dimuat dalam bulletin Film Review Nomor 22 - Maret 1936 tersebut, di Kota Donggala telah beroperasi bioskop bernama Apollo Theater. Namun, kemungkinan besar bioskop Apollo Theater tersebut sudah beroperasi sejak tahun 1934.
Kota Donggala yang kala itu menjadi ibukota Midden Celebes, juga adalah hinterland dari Pelabuhan Donggala yang ramai oleh kapal-kapal dari berbagai belahan dunia yang membuang sauhnya. Pertumbuhan ekonomi yang pesat akibat perniagaan samudera di Selat Makassar dan Pelabuhan Donggala telah menumbuhkan proses akulturasi ditengah masyarakat Kota Donggala akibat interaksi sosial asosiatif dari kontak budaya yang terjadi. Film dan bioskop yang menjadi salah satu keajaiban teknologi modern di awal abad ke-20 juga menjadi bagian penting dari proses akulturasi dan persebaran informasi yang memberi dampak terhadap perubahan wajah kota dan prilaku urban masyarakatnya. Demikian pula halnya di Kota Donggala, film dan bioskop punya sumbangsih besar terhadap perubahan perilaku sosial masyarakat dan wajah kota pelabuhan ini.