Mohon tunggu...
Jamesallan Rarung
Jamesallan Rarung Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Kampung dan Anak Kampung

Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan Magister Manajemen Sumber Daya Manusia

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Quo vadis: Dokter dan Ijazah Dokter

13 Agustus 2015   03:37 Diperbarui: 13 Agustus 2015   03:37 5667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Negara kita saat ini akan mulai memasuki era pasar bebas, awalnya akan dimulai pada tingkat ASEAN seiring berakhirnya tahun 2015 ini. Salah satu profesi yang sangat mempengaruhi tingkat kemakmuran dan kesejahteraan bangsa kita adalah profesi dokter. Yang menjadi pertanyaan, apakah kualitas dokter lulusan dalam negeri kita, sebagian besar sudah memiliki kualitas yang terjamin dan kompetitif? Sehingga akan menjadi "tuan" di negeri sendiri dan tidak takut akan "invasi" dokter dari negeri seberang?

Pada saat ini jumlah fakultas kedokteran (FK) di Indonesia sudah mencapai angka 73 (sumber: Dikti, 2014). Sayangnya, pertambahan jumlah FK ini tidak diikuti dengan jaminan kualitas. Dari 73 jumlah FK tersebut, 71 sudah terakreditasi. Hasilnya, 16 Akreditasi-A, 30 Akreditasi-B dan 25 Akreditasi-C (sumber: Ban-pt Maret 2015).

Kenapa bisa ada banyak FK sedangkan mutunya tidak menjadi jaminan? Benarkah lahirnya FK ini dilandasi oleh karena kebutuhan masyarakat Indonesia akan adanya dokter? Banyak anggapan miring di sini, berkaitan dengan anggapan bahwa seringkali FK ini menjadi "lumbung padi" Universitas, bahkan menjadi "sapi perahan". Pendapat sinis tersebut muncul oleh karena besarnya biaya pendidikan FK setiap semester. Coba adakah orang tua dan mahasiswa yang mengatakan bahwa biaya tersebut kecil?

Nah, selain biaya semester dan biaya kebutuhan kuliah yang tinggi. Lama pendidikan di FK juga menjadi kesulitan tersendiri. Sekarang setelah melalui itu semua, dapatkah calon dokter tersebut langsung bekerja? Hmm, tidak segampang itu.

Ilustrasi - dokter (Shutterstock)

Pemerintah telah membuat aturan bahwa untuk mendapatkan sertifikat kompetensi, maka calon dokter tersebut harus mengikuti Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI), walaupun mereka telah diwisuda di Universitas mereka. Ujian ini pertama kali dilaksanakan bulan April 2007. Adapun untuk mendapatkan kualitas yang setara, soal ujian ini disamaratakan (dari Sabang sampai Merauke) dan standar soalnya mengacu pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI). Hal ini yang membuat UKDI berbeda dengan Ujian Nasional (UN), dimana banyak yang mengeluh dan meminta bahwa seharusnya UN tidak bisa disamaratakan untuk setiap wilayah Indonesia, karena adanya perbedaan sosiodemografi dan sumber daya manusia. Akan tetapi, UKDI ini standar soal ujiannya haruslah sama, oleh karena profesi dokter sangatlah berhubungan dengan kesehatan manusia, bahkan melalui tangan-tangan para dokter inilah, hidup seseorang sering bergantung.

Pada awalnya, pelaksanaan UKDI ini memiliki keharusan kelulusan dengan nilai batas 40-an. Namun makin hari makin meningkat sampai kurang lebih 66. Kemudian pada tahun 2013, dimulai pola baru pada UKDI dengan memiliki 2 model ujian, yaitu ujian teori pilihan berganda (Computerized Based Test, CBT), dan ujian praktek (Objective Structured Clinical Examination, OSCE). Keduanya harus lulus jika ingin menjadi dokter yang berijazah.

Nah, siapa saja penyelenggara UKDI? Inilah yang menjadi polemik sampai saat ini. Sampai berakibat munculnya demonstrasi para dokter yang tidak mendapatkan ijazah dari Universitasnya.

Adapun dasar hukum yang ada malah makin membuat kebingungan. Undang-Undang Praktek Kedokteran (UU Pradok) tahun 2004 hanya menyebutkan tentang ujian kompetensi sebagai syarat, tidak menyebutkan siapa penyelenggaranya. Sehingga akhirnya dibuatlah kesepakatan antara pihak-pihak yang terkait, yaitu antara Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI, organisasi profesi dokter), Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia atau AIPKI (AIPKI bisa disebut juga sebagai persatuan FK se-Indonesia), perwakilan FK se-Indonesia, dan Dirjen Dikti. Nota kesepakatan ini tertulis berakhir di tahun 2013, atau bersamaan dengan tahun UU Pendidikan Kedokteran (UU Dikdok) terbit. Nah, disinilah masalah makin ruwet, UU Dikdok menyebutkan bahwa penyelenggara UKDI ialah FK bekerja sama dengan AIPKI dan berkoordinasi dengan IDI. Lalu disebutkan pula bahwa ketentuan tentang pelaksanaannya akan diatur oleh Peraturan Menteri (Permendikbud), akan tetapi sampai tahun 2013 berakhir Permendikbud ini tidak keluar. Lalu bagaimana dengan nasib ujian tahun 2014? IDI kemudian meminta UKDI ditunda hingga Permendikbud keluar. Tapi mau menunggu sampai kapan? FK dan AIPKI tidak bisa menunggu karena kasihan sekali para calon dokter (yang telah menyelesaikan pendidikannya dan tinggal ujian) harus menganggur menunggu ketidakpastian. Demikian juga, para calon dokter ini akan tetap tercatat sebagai mahasiswa sehingga harus membayar uang semesteran. Selain itu, masalah pengangguran ini akan menghambat datangnya mahasiswa baru. Tapi IDI tidak mau tahu, pokoknya harus menunggu.

Di kondisi ketidakpastian inilah, AIPKI tetap menyelenggarakan ujian tanpa melibatkan IDI. Memang semenjak awal pelaksanaan ujian AIPKI-lah sebagai penyelenggara utama. Merekalah yang membuat standarisasi, membuat soalnya, dan menentukan standar kelulusan. Maka, dilangsungkanlah UKDI pada bulan Februari 2014, tapi PB IDI tidak mau menerima. IDI pun melayangkan edaran bahwa UKDI yang diselenggarakan AIPKI adalah ilegal, dengan alasan tidak sesuai hukum. Akibatnya, Kolegium Dokter Primer Indonesia (KDPI), lembaga di bawah IDI, tidak mau mengeluarkan sertifikat kompetensi (serkom) bagi lulusan UKDI Februari 2014 tersebut. Padahal biasanya setelah lulus UKDI langsung dapat serkom. Serkom adalah sertifikat bagi dokter agar bisa praktek. Menariknya, KDPI di bawah IDI mengadakan ujian tersendiri di bulan Mei. Lulusan UKDI Februari 2014 itupun diwajibkan harus mengikuti ujian kembali buatan KDPI ini, jika ingin mendapatkan sertifikat kompetensi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun