Kritik Agus R Sarjono dalam puisinya yang berjudul Sajak Palsu bukanlah kritik biasa, kritiknya adalah kritik yang dapat meruntuhkan satu negara jika semuanya dimulai dari kepalsuan pendidikan. Pendidikan palsu menurut Agus R Sarjono adalah pendidikan yang tidak didasari oleh cinta dan pengorbanan tapi hanya kepalsuan semata yang dimulai dari sapaan palsu dari siswa ke guru. dari mana sapaan palsu ini berasal, tentu dari realitas sosial yang lebih besar bukan hanya berasal dari sekolah.
realitas dari mana anak-anak itu berasal, asalnya dari realitas keluarga palsu dimana kebohongan dipelihara untuk menyenangkan anak-anaknya, dari mana si ayah belajar kepalsuan, dari atasan di kantor yang hanya menerima kata-kata palsu, istilah lama "yang penting Bapak senang" adalah kepalsuan nyata dari sebuah birokrasi yang dibangun dengan kepalsuan.
Guru-guru dengan nilai palsu membuat anak-anak itu menjadi "ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu, ahli pertanian palsu, insinyur palsu. Sebagian menjadi guru, ilmuwan atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi mereka menghambur ke tengah pembangunan palsu dengan ekonomi palsu sebagai panglima palsu." kita tidak menyangkal bahwa nilai-nilai palsu itu berasal dari arahan atasan yang ingin agar semunya baik-baik saja untuk mempertahankan diri dari atasan di atasnya yang juga menginginkan semunya baik-baik saja. Saling melindungi diri adalah kenyataan palsu seperti lingkaran setan yang tidak ada habisnya.
Apa yang disampaikan oleh Agus R Sarjono adalah kritik terhadap seluruh tatanan sosial yang telah dirusak oleh kepalsuan yang dimulai dari pendidikan dan meluas hingga ke setiap aspek kehidupan. Kepalsuan ini menjadi benih kehancuran yang menghancurkan bangsa dari dalam. Di satu sisi, kita diajarkan untuk menjadi orang yang berpura-pura baik-baik saja, namun di sisi lain, kita kehilangan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan tanggung jawab yang seharusnya menjadi dasar pembentukan karakter bangsa.
Puisi "Sajak Palsu" mengingatkan kita bahwa suatu bangsa yang dibangun atas dasar kepalsuan akan sulit berkembang. Pembangunan yang sejati bukanlah sekadar pembangunan fisik atau ekonomi, tetapi pembangunan moral yang harus diawali dari pendidikan yang jujur dan tulus. Sarjono menggugah kita untuk melihat bahwa kepalsuan dalam pendidikan akan melahirkan generasi yang tidak hanya gagal dalam hal kemampuan teknis, tetapi juga gagal dalam hal moralitas. Ketika kebohongan dipelihara di setiap sudut kehidupan, maka kehancuran yang lebih besar tak terelakkan.
Kepalsuan ini, yang dikritik dengan tajam oleh Sarjono, adalah racun yang menggerogoti setiap lapisan masyarakat, dan jika tidak segera diatasi, kita akan terus terperangkap dalam lingkaran setan yang tak berujung. Di sinilah letak urgensinya: pendidikan bukan hanya soal transfer pengetahuan, tetapi juga soal membangun karakter yang jujur dan bermartabat. Kita harus berani menghadapi kenyataan bahwa kepalsuan ini harus dihentikan, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata yang berani meruntuhkan tembok-tembok kebohongan yang ada di sekitar kita. Wallahu alam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI