Mohon tunggu...
Abdul Jalil
Abdul Jalil Mohon Tunggu... Jurnalis - suka tantangan dan hiburan

hidup itu saling melengkapi,,,semuanya,tanpa terkecuali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cerita Bayi Malang nan Miskin

14 Februari 2020   23:27 Diperbarui: 14 Februari 2020   23:36 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi bayi (kompas.com)

Oek...oek...oek... suara tangisan bayi terdengar nyaring di telinga. Entah bayi siapa yang pagi-pagi buta sudah menangis sebegitu kerasnya. Yang jadi pertanyaan besarku, itu bayi siapa? Soalnya, saat ini di kampung memang tidak ada wanita yang akan melahirkan. Ada dua ibu-ibu bernama Ijah dan Siti yang sedang hamil. Tapi, keduanya hamil muda.

Dari rasa pensaran, aku kemudian menyelidiki sumber suara itu. Setelah berjalan sekitar 100 meter dari rumah, ternyata suara itu berasal dari rumah Mbah Selamet.

"Memangnya Mbah Selamet punya istri lagi? Yang sudah hamil dan mau melahirkan? Kan Mbah Selamet sakit setruk. Lagian sudah sepuh gitu, masak punya istri lagi," batinku yang terus bertanya-tanya.

Di rumah Mbah Selamet, beberapa tetangga sudah berkumpul. Mereka bercakap-cakap diiringi suara tangisan bayi yang semakin membuat telinga sakit. "kasihan itu bayi, pasti kesakitan, atau kelaparan. Nangisnya sampai kayak gitu."

Aku yang sudah tidak sabar ingin melihat fakta sesungguhnya dari suara tangisan bayi itu langsung masuk ke dalam rumah kakek-kakek yang tinggal di rumah gubuk itu. Di dalam rumah, sesosok bayi kurus kering dengan kepala sebesar bola sepak tergelatak di kasur tipis. Suara tangisannya benar-benar nyaring, hingga suara di sekelilingnya tidak terdengar. Ibu bayi itu sedang mencoba menenangkan bayi malang itu dengan sebotol susu. Namun, tangisannya tidak mau berhenti.

Tetangga juga ikut menenangkan bayi itu. Hasilnya tetap sama, bayi yang baru ku ketahui bernama Aziel itu enggan menghentikan tangisnya. Justru semakin banyak orang yang berkerumun, suaranya semakin kencang.

Aku hanya melihatnya dari kejauhan, karena takut kalau bayi itu tambah gerah dan membuatnya semakin tersiksa. Sekilas Aziel ini tampak seperti bayi pada umumnya. Ya mungil, bersih, rambutnya tipis. Tapi, kalau dilihat lebih seksama akan terlihat ada yang janggal. Ada bagian di perut bayi itu yang dilapisi kain kasa.

Ternyata kain kasa yang menutupi bagian perut Aziel itu adalah saluran pembuangan buatan. Lubang itu sengaja dibuat karena bayi itu lahir tanpa anus. Tanpa lubang untuk mengeluarkan kotoran. Ngeri sekaligus kasihan!!

Usut punya usut, ternyata bayi malang itu adalah cucu Mbah Selamet. Ibu bayi itu adalah anak kandung pria renta yang hidup sendirian tersebut. Sejak menikah dengan seorang pemuda, Zaenab memang langsung diboyong oleh suaminya merantau di luar Jawa. Sudah belasan tahun Zaenab bersama suaminya merantau dan tidak pernah mengirim kabar kepada bapaknya.

Kedatangan Zaenab bersama bayi malang itu ke kampung halaman tentu menjadi tanda tanya bagi sebagian besar tetangga. Bahkan sebagian orang pun sudah beranggapan bahwa Zaenab sudah mati tertimbun longsor atau menjadi korban kerusuhan.

"Anakmu kenapa Nab?," tanya para tetangga penasaran.

"Anakku sejak lahir tidak punya anus. Aku baru tahu beberapa hari setelah ia lahir," ujar Zaenab.

"Lalu kenapa kamu ke sini? Mana suamimu?," cecar tetangga.

Zaenab hanya terlihat menunduk dan terus menerus meneteskan air mata. Wanita yang hanya tamat sekolah dasar itu sesenggukan sambil mengusap air mata yang sulit untuk dibendung.

Si Aziel, bayi mungil itu sebetulnya sempat menjalani operasi pembuatan anus sementara. Kata dokter yang merawat, tim medis belum berani membuatkan anus karena kondisi basi yang belum cukup umur dan kondisinya juga belum siap. Akhirnya, tim medis dari rumah sakit pemerintah itu membuatkan anus di bagian perut samping.

Tetapi, nasib buruk sepertinya memang masih menyertai bayi tak berdosa itu. Tim medis salah membuat lubang anus sementara dan memotong entah bagian apa. Zaenab juga tidak tahu persis. Hingga akhirnya apapun yang dimakan dan diminum bayi itu langsung keluar lewat lubang anus buatan.

Tim medis yang menangani Aziel melakukan kesalahan. Tapi, Zaenab tidak bisa berbuat banyak untuk menuntutnya. Terlebih, ia hanya pasien dari asuransi yang dibiayai oleh pemerintah. Perempuan itu hanya bisa pasrah dan tak mau menambah urusan semakin ruwet. Toh semuanya sudah terjadi. Kalau mau menuntut rumah sakit, juga pasti sia-sia karena mereka jauh lebih punya banyak alasan untuk mengelak bertanggung jawab.

Sebenarnya Zaenab telah meminta tanggung jawab pihak rumah sakit, tetapi ya itu mereka punya segudang alasan untuk mengelak. Apalagi untuk pasien gratisan seperti Zaenab. Tapi, sebenarnya kan bukan gratis ya, karena yang membayar premi setiap bulannya kan dari keuangan negara, APBN. Sumber APBN kan dari pajak rakyat. Jadi ingat kalimat "Dari rakyat untuk rakyat".

Ya, namanya juga orang kecil. Jadi hanya bisa pasrah dan bersabar. Zaenab kemudian diminta oleh petugas rumah sakit supaya beralih untuk menjadi pasien asuransi mandiri. Dalihnya, supaya cepat ditangani.

Sekali lagi! Karena orang kecil yang hanya tamat sekolah dasar. Zaenab pun manut saja. Akhirnya keluarga miskin itu beralih dari asuransi yang ditanggung pemerintah menjadi asuransi mandiri. Suaminya sempat maju mundur untuk mendaftar jadi peserta mandiri. Karena pekerjaannya sebagai buruh serabutan yang penghasilannya tidak tentu. Harus menyisakan sejumlah uang yang nominalnya sudah pasti untuk membayar iuran asuransi.

Demi anak, ia pun memberanikan diri untuk beralih kepesertaan. Tujuannya hanya ingin Aziel segera ditangani dan sembuh. Dan menjadi anak normal pada umumnya.

Bayi malang itu kemudian dibawa ke rumah sakit rujukan yang memiliki tenaga medis dan peralatan lebih lengkap. Memang dilayani, tetapi antrenya hingga tiga bulan lamanya. Karena minimnya dokter bedah dan alat kesehatan, itu kata petugas rumah sakit.

"Sebenarnya, apa sih yang tidak kurang di negeri ini. Semuanya kok kurang, minim, dana dikit. Ada aja alasan untuk menghambat pemenuhan hak kepada masyarakat," kataku kesal mendengar cerita dari Zaenab.

"Itu bayi keburu mati kalau tidak segera ditangani. Apa pemerintah enggak mikir bagaimana menderitanya si bayi yang kesakitan karena salah operasi dan tidak punya anus. Memang sialan pemerintah negeri ini," kata tetangga yang juga kesal.

Hari berganti hari, pekan berganti pekan, belum ada kabar kapan Aziel mendapat giliran operasi. Zaenab dan suaminya pun hampir saja putus asa. Tapi, sinar mata Aziel menjadi daya perekat supaya kedua orang tuanya tetap bersabar.

Dengan kondisi seperti itu, pengeluaran keluarga miskin itu pun semakin membengkak. Karena selain harus memenuhi kebutuhan hidup harian, juga harus membeli kain kasa, diapers, hingga susu formula sebagai asupan sang bayi. Penghasilan suami Zaenab sebagai buruh serabutan pun tidak bisa memenuhinya.

Hingga akhirnya suami Zaenab memutuskan untuk bekerja di Malaysia, sebagai buruh kasar ilegal di proyek bangunan. Ia bersama belasan orang masuk ke negeri Jiran melalui jalur laut. Naik kepal kayu dan kelapa yang akan dijual di Malaysia.  

Saat di perjalanan menuju Malaysia, terjadi badai yang sangat besar hingga membuat kapal tersebut terbalik dan karam. Seluruh penumpang dan awak kapal itu mati ditelan lautan. Jasadnya pun tidak ditemukan hingga sekarang.

Zaenab baru tahu suaminya mati dalam perjalanan ilegal itu tiga hari setelah kejadian. Itu pun diketahui dari siaran televisi yang memampang nama-nama korban kapal tenggelam. Wanita yang berusia tiga puluh tahun itu hanya bisa menangis sesunggukan dan berkali-kali pingsan.

Ia kemudian memutuskan untuk pulang ke kampung halaman di Jawa. Karena di perantauan sudah tidak ada keluarga lagi. Zaenab dan bayinya, Aziel, pulang kampung dengan perasaan luka di tanah rantau.

Setelah belasan tahun meninggalkan kampung halaman, akhirnya Zaenab akan kembali ke tanah lahir dan berjumpa dengan orang tuanya. Sebenarnya, ada beban yang harus ditanggung karena selama ini tidak pernah pulang dan memberi kabar orang-orang rumah.

Dalam hatinya terbersit ketakutan yang mendalam kalau keluarga tidak menerimanya. Namun, prasangka-prasangka buruk itu segera dihapus. Karena ada sosok bayi yang perlu segera mendapatkan pertolongan.

"Saya pulang karena suami sudah mati, jadi korban kapal karam. Saya pulang karena butuh bantuan untuk mengobati anak saya," kata Zaenab dengan mata sembab.

Di luar dugaan Zaenab, justru warga kampung berempati. Warga melalui gawainya segera membuka donasi melalui media sosial. Aksi warga ini pun mendapatkan respon positif dari warganet dari berbagai penjuru dunia. Donasi pun terkumpul.

Warga membawa si bayi Aziel ke rumah sakit tanpa asuransi pemerintah. Semua biaya operasi ditanggung menggunakan donasi dari manusia berhati malaikat dari seluruh penjuru bumi.

Dalam lamunanku, aku berpikir negara ini memang sepenuhnya belum ramah terhadap orang miskin. Rakyat miskin justru diamputasi hak-haknya sebagai warga negara. Salah satunya hak untuk mendapatkan jaminan kesehatan. Coba, kalau bayi Aziel adalah anak orang kaya atau pejabat. Pasti sakitnya akan tertangani dengan baik.

"Memang, hidup di Indonesia itu tidak boleh miskin."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun