Mohon tunggu...
Jalan Raga
Jalan Raga Mohon Tunggu... Petani - Human Being

Sejauh apapun pergi, pada rumah kita kan kembali.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cinta Membakar Habis Kebencianku

13 April 2017   02:07 Diperbarui: 13 April 2017   10:00 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Jika tak kau dapati kedamaian dalam dirimu, maka takkan kau dapati kedamaian dimanapun". (Nakhoda Raga)

Beberapa hari yang lalu terjadi sebuah peristiwa yang menguras emosi, peristiwa yang tak pernah diharapkan oleh siapapun . Peristiwa tersebut adalah penyanderaan seorang ibu muda di sebuah angkutan umum dibilangan Jakarta. Dalam video hasil rekaman masyarakat yang kemudian diunggah ke media sosial, nampak si penyandera memegang sebilah pisau yang ditujukan ke leher korban, nampak juga korban dengan tampang kelelahan, kebingungan yang bercampur ketakutan tersebut sedang menggendong anak laki-lakinya yang berusia sekitar 3 tahunan.

Aksi tersebut tentu mengundang keresahan bagi yang melihat, keresahan bercampur emosi membuncah. Hal itu jelas terlihat saat polisi berhasil mengamankan korban dengan terlebih dahulu melumpuhkan pelaku dengan melepas tembakan tepat ke arah bahu sebelah kanan si pelaku. Teriakan emosional seperti “bakar”, “matiin”, “mampus lu” menjadi ekspresi kemarahan serta kegeraman yang keluar dari orang-orang yang menyaksikan kejadian dramatis tersebut.

Beruntung pihak kepolisian cepat tanggap, karena jika tidak, maka “pengadilan jalanan” bisa terjadi seperti yang sudah-sudah, pelaku tewas karena dihakimi masa yang berada pada titik didih kegeraman.

Jujur, sayapun geram. Siapapun yang melihat kejadian itu pasti memiliki ekspresi yang sama. Itulah hakikat potensi kemanusiaan kita, semua sama. yaitu cenderung pada kebaikan, kebenaran dan keindahan atau hanief. Kita semua tidak suka melihat hal buruk dan salah, kita tidak suka dengan kekerasan atas alasan apapun, kita tidak suka melihat penindasan serta ketidakadilan yang terjadi.

Kejadian tersebut tentu meninggalkan trauma bagi korban dan pihak keluarga yang bekasnya akan selalu teringat sepanjang hidupnya, bahkan jika korban ataupun pihak keluarga tidak mampu mengendalikan diri, ungkapan seperti “saya tidak akan pernah rela, pelaku harus mendapatkan balasan setimpal atas perbuatannya, kalau bisa dihukum mati”, akan menjadi luapan emosi yang benihnya akan terus tumbuh jika tidak diinsyafi.

Benih penyakit hati ini akan tumbuh subur menjadi kebencian, kedengkian, dendam bahkan penjara jiwa yang membuat si penderita tidak akan pernah menemukan kedamaian dan ketentraman seumur hidupnya.

Hal inilah yang menjadi problem mendasar setiap kita, bagaimana seharusnya menyikapi segala kejadian dalam perjalanan hidup ini dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Bagaimana kita tetap mampu berpikir jernih dan memerdekakan hati dari segala belenggu penyakit yang hanya akan membuat derita berkepanjangan.

“ah anda enak bicara seperti itu karena anda gak ngalamin, coba kalau kejadian itu menimpa anda atau keluarga anda sendiri?”, ungkapan seperti ini tentu akan kita terima dari sahabat yang geram, dan bagi saya ungkapan ini wajar. Tinggal bagaimana menyikapinya dengan senyum, tenang, adil dan bijak.

Sahabat, saya ingin mengajak anda mengingat kembali hal terbaik dan terindah yang pernah anda alami. Coba bayangkan satu hal, satu tempat atau satu kejadian yang membuat anda begitu bahagia. Sempatkan 1 menit saja berhenti dari membaca tulisan ini, biarkan rekam ingatan bahagia itu hadir dan nyata di alam pikiran anda.

Apa yang anda rasakan?. Tentu anda tersenyum bahagia mengingat kembali kejadian tersebut bukan. Sekarang mari ubah cara pandang kita tentang berbagai hal buruk yang pernah atau tengah kita alami, bagaimana jika sebetulnya tidak ada satupun kejadian buruk yang kita alami. Semua pada dasarnya adalah kejadian baik, indah dan membahagiakan namun dengan bentuk yang sedikit berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun