"Tujuan kami bukan mencari kesalahan," ujar drh. Rudy dengan nada lembut tapi tegas. "Kami memastikan produk hewan ini aman untuk dikonsumsi masyarakat. NKV bukan sekadar nomor --- ia adalah simbol kejujuran produksi."
Kata-kata itu menggema di ruang rapat.
Pak Darto menunduk pelan, merasa tersentuh.
Ia ingat betul masa-masa awal memulai usaha, saat telur hanya dijual ke pasar tanpa label, tanpa jaminan mutu. Kini, usahanya di audit negara --- tanda naik kelas, tanda kepercayaan.
Di Kandang Produksi
Auditor memasuki kandang dengan protokol ketat. Cuci tangan, ganti sepatu, semprot disinfektan, lalu masuk.
Mereka mengamati:
- Apakah pekerja memakai APD lengkap?
- Apakah alur keluar-masuk kendaraan sudah diatur?
- Bagaimana pengelolaan limbah dan bangkai ayam?
Sebuah catatan muncul.
"Tempat pembuangan bangkai masih terlalu dekat dengan gudang pakan," ujar drh. Aza sopan.
Bu Rina mencatat cepat, "Siap, akan segera dipindahkan minimal 25 meter sesuai rekomendasi."
Audit berlanjut ke ruang sortasi telur. Di sana, telur-telur diseleksi --- yang retak dipisahkan, yang bersih dikemas. Semua pekerja memakai sarung tangan dan masker. "Bagus," kata auditor, "ini sudah sesuai prinsip higiene pangan."
Hasil dan Refleksi
Menjelang sore, rapat penutupan digelar.
Tim auditor membacakan hasil:
- Kategori layak bersyarat.
Artinya, masih ada sedikit perbaikan teknis yang harus diselesaikan dalam waktu dua minggu, namun secara umum sudah memenuhi standar NKV.
Pak Darto tersenyum lega. "Terima kasih, Bu, Pak. Ini bukan nilai, tapi pelajaran berharga," ujarnya tulus.
drh. Yuni menimpali, "Begitulah esensi NKV --- membangun budaya aman pangan, bukan sekadar lulus audit."
Penutup: Dari Kandang Menuju Kepercayaan Publik
Sore menjelang, matahari condong ke barat. Para pekerja kembali ke rutinitas, sementara plakat bertuliskan "Menuju NKV Level II" kini ditempel di dinding kantor --- bukan sekadar target, tapi janji.