(Kisah sederhana tentang keikhlasan dan makna memberi)
Pagi itu kabut tebal menggantung di kebun teh Tangkil. Rumah-rumah panggung di lereng bukit masih diselimuti embun. Dari bawah rumah kami, suara itik sudah ribut, saling bersahutan seperti paduan suara yang tak sabar ingin keluar kandang.
"Ris... ayo bangun, Nak. Itiknya sudah minta keluar," panggil Bapak dari dekat tungku.
Asap dari bara kayu berputar di udara. Bapak duduk di kursi kecil, mengenakan sarung dan jaket pudar. Wajahnya hangat diterpa cahaya api yang berpendar di antara abu.
Aku turun perlahan, menggeliat kecil. Udara pagi terasa menggigit, tapi suara itik di bawah rumah seolah memanggil. Begitu kunci kandang kuputar, wek-wek-wek! Itik-itik itu berhamburan keluar, berlari menuju sungai kecil di ujung sawah---tempat biasa mereka mandi sebelum mencari makan.
"Itik-itik itu rajin ya, Pak. Tak pernah terlambat," kataku sambil mengusap lengan yang menggigil.
Bapak tersenyum. "Mereka tahu waktunya bekerja, Nak. Hidup memang harus begitu. Siapa yang malas bergerak, akan ketinggalan oleh rezekinya sendiri."
Aku menatap wajah Bapak. Garis-garis tua di dahinya seperti jejak kerja keras yang tak pernah berhenti.
Telur di Jerami
Ketika kandang sudah kosong, aku melihat bola-bola putih bergelimpangan di jerami. "Pak! Banyak telurnya hari ini!" seruku.