Mohon tunggu...
Abdur Rahim
Abdur Rahim Mohon Tunggu... -

Tumbuh diperbukitan, di pedalaman desa Kota Tuban, 28 tahun silam. Sebagai anak gembala, aku tak pernah mencicipi bangku kuliah dan sekolahku hanya Aliyah. Pendidikan terakhirku adalah mondok di Ma’had TeeBee Surabaya dengan program HBQC (Human Boarding Quantum and Competency), menekuni bidang jurnalistik dan tulis-menulis dengan berhidmad menjadi kru Majalah. Tahun 2008 menerbitkan buku filologi (Mbah Djabbar), Februari 2012 menulis Antologi Puisi “Senandung Alam” bersama Lembah Penyair, juga Antologi puisi “Aku dan Pelacur” bersama sanggar Gladakan. Selain itu saya juga menulis biografi (Kiai Abil Fadhol) dengan judul Buku “Syaikh Abil Fadhol: Sang Mutiara langit”. Satu-satunya prestasi yang paling kubanggakan sampai saat ini hanyalah, aku menjadi pemenang diantara jutaan sperma, maka lahirlah aku, Izzuddin Abdurrahim

Selanjutnya

Tutup

Politik

Cerita Tentang "Kiai" Ahok

19 November 2014   22:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:23 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sakitnya tuh dimana? yang mampu menjawab hanya Cita cita ta. Tapi Jika saya ditanya, apakah kamu mendukung Ahok naik level menjadi DKI satu?. Akan saya jawab, iya –walaupun saya muslim. Dukungan saya bukan berarti menyalahi ataupun menafikan Qur’an yang ayat-ayatnya bersliweran—digunakan FPI— tentang larangan non muslim jadi wali itu. Namun sebatas mengagumi moralitas yang dimilikinya.Perilaku yang Islami; Kejujuran, keadilan, Kerja keras, amanah dan semangatnya lah yang yang mendorongku untuk berbuat demikian. Pun pula – (mungkin) yang membawa anda memilihnya ke posisi dia saat ini.

Sebagai muslim mestinya harus malu, hanya mampu menolak dengan pekikan Allahu Akbar di jalan-jalan semata, tanpa kerja nyata. Tanpa memberi teladan yang baik tentang moralitas berpolitik, moralitas memimpin masyarakat, moralitas berkeadilan, dan moralitas kejujuran. Berapa banyak kepala daerah atau pimpinan lembaga tertentu yang notabene muslim terjerat lis merah KPK karena korupnya, masuk bui karena cabulnya. Itu yang masuk tv. Yang dibalik kursi, masih seabrek.  Sungguh sama sekali tidak mencerminkan agamanya. Sungguh ironi.

Fenomena ini bukan mimpi. Ini nyata. Kita harus bangun dan sadar, Ahok adalah cerminan Tuhan sebagai tamparan yang menggembirakan. Tamparan yang membuat kita segera terjaga dari kelalaian. Bagaimana seorang Nasrani mampu meraih posisi dan terpilih menjadi pemimpin di negara yang mayoritas Muslim.

Inilah resiko di negara demokrasi yang mengakui satu orang satu suara. Dimana jika mayoritas suara dholim menang akan memperoleh pemimpin yang dholim pula. Tugas kita sebagai muslim ---di negara seperti ini---, terutama para ulama, dan pemangku jabatan agama ialah bagaimana menelorkan generasi muslim yang Islami. Menelorkan pemimpin-pemimpin yang berkwalitas, berwatak jujur dan adil, agar mampu bersaing dengan mereka-mereka yang dholim. Dengan begitu akan secara otomatis memperoleh pemimpin Muslim. Bukan hanya menyitir ayat untuk bantal guling, bukan hanya sebagai dalih penolakan-penolakan. Itu memalukan, sungguh memalukan!

Jam dinding mungkin masih bisa di putar, namun waktu akan terus berpacu. Ahok sudah memimpin Jakarta. Jika kita terus-terusan menolak, itu maemalukan! Malu pada diri, agama, dan isin sama Allah. Sebab kebegokan kita dalam menjalankan agama yang Cuma di mulut semata, tanpa prestasi-prestasi islami.

Kita harus banyak belajar pada Brawijaya yang memberikan Tanah dan kekuasaan kepada Mbah Ampel dan saudaranya. Padahal, dia adalah non muslim. Kita harus belajar keteduhan dan kesejukan Nabi.

Ingat sejelek-jeleknya Ahok, saya yakin tidak akan melarang rakyatnya untuk Sholat, Zakat, dan amalan islam yang lain. Pun pula melegalkan kejahatan-kejahatan. Tugas kita adalah memantau dan mengontrol. Mari berbenah sebab bukan tidak mungkin RI satu nantinya non muslim.

Sebuah kisah sebagai renungan dan pembelajaran. Ada seorang khawarij yang datang menemui Ali bin Abi Thalib seraya berkata, “Wahai khalifah Ali, mengapa pemerintahanmu banyak di kritik oleh orang tidak sebagaimana pemerintahannya Abu Bakar dan Umar?!” Sahabat Ali Menjawab, “Karena pada zaman Abu Bakar dan Umar yang menjadi rakyat adalah aku dan orang-orang yang semisalku, sedangkan rakyatku adalah kamu dan orang-orang yang semisalmu!!” (Syarh Riyadhus Shalihin).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun