Mohon tunggu...
Izzatul Jannah
Izzatul Jannah Mohon Tunggu... Seorang pembelajar yang fokus pada bahasa asing, dan kepenulisan.

Saya Izza, seseorang yang memiliki hobi belajar bahasa asing, membaca dan menulis topik self-improvement dan journaling. Serta, aktif mengasah kemampuan menulis melalui lomba atau sayembara kepenulisan di berbagai macam topik dan platform.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menabung Emas, Wariskan Harapan: Cerita Keluarga Indonesia Bersama Pegadaian

30 September 2025   15:24 Diperbarui: 30 September 2025   15:24 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi : Chatgpt.com (dokpri)

Benda Kuning yang Berpendar

Usia ku 6 tahun, dan aku selalu mendengar kalimat sederhana namun mengakar kuat dalam keluarga kami. Mama mengeluarkan kantong plastik hitam yang sudah usang dari dalam kotak kayu. Ada kalung, cincin tua, anting-anting, gelang kecil, dan nama anggota keluarga terukir di sana.

"Ingat, ini semua akan membantu kita saat susah nanti," ujarnya lembut dengan tatapan berbinar.

Aku diam, hanya mendengarkan alur cerita Mama setelahnya. Singkat kata, aku tidak tertarik. Bagiku, yang ada di dalam plastik hitam itu hanyalah benda berwarna kuning yang berpendar, tidak lebih dan tidak kurang. Namun, bagi Mama, benda-benda itu adalah harapan, rasa aman, dan penopang hidup untuk generasi berikutnya.

Beberapa tahun kemudian, saat aku beranjak remaja, barulah aku benar-benar menyadari: benda kuning yang berpendar itu disebut emas. Dan ketika kesadaran itu datang, Mama sudah tidak lagi membersamai.

Usia ku 14 tahun, dan aku merindukan Mama. Aku menuju kamarnya yang terletak di dekat dapur, lalu berbaring di atas tempat tidurnya. Mataku tertuju lama pada lemari tua yang kini hanya tersisa satu pintu dan tiga roda. Dari dalam lemari itu, aku mengambil barang yang sudah Mama simpan lama.

Aku memutuskan untuk mengulang apa yang Mama lakukan di masa kecilku. Tapi kali ini bukan kotak kayu yang kubuka, melainkan sebuah tas kain yang Bapak gantikan karena kotak kayu itu sudah rapuh. Saat kuperhatikan, jumlah emas di dalamnya ternyata bertambah dua kali lipat dari terakhir kali kulihat.

Ada beberapa lembar surat yang terlipat-lipat. Aku pun membuka salah satunya. Kalimat pertama yang kubaca adalah: "Pegadaian."

Pertama Kali Mengenal Pegadaian

Aku akhirnya bertanya kepada Bapak, "Apa itu Pegadaian?"

Bapak pun menjawab sabar, menjelaskan sedikit demi sedikit. Beberapa hari kemudian, ia mengajakku ke kantor Pegadaian.

Disambut senyum hangat oleh security, kami pun masuk. Bapak memintaku duduk sementara ia berbincang dengan salah satu karyawan. Sesudahnya, Bapak memanggilku, lalu menunjuk deretan kilau emas yang berbaris elok di etalase. Ada kalung, anting, gelang, cincin semuanya memiliki keindahan bentuk yang membuatku terhipnotis.

"Kamu boleh pilih satu," katanya.

Setelah terpaku begitu lama, akhirnya kami berhasil membawa pulang satu yang paling aku suka.

"Apa Pegadaian tempat semua emas dikumpulkan?" tanyaku asal.

Bapak tersenyum, lalu menjawab, "Bukan hanya tentang emas. Pegadaian lebih dari itu. Kakak akan paham jika sudah dewasa nanti."

"Tapi kapan aku dianggap dewasa? 17 tahun? 18 tahun?" tanyaku lagi.

Bapak tertawa, lalu menepuk pundakku, "Bapak rasa hanya kamu yang tahu jawabannya nanti"

Menjalankan Warisan Orang Tua

Usia ku 26 tahun, dan aku tidak lagi ditemani Bapak ke Pegadaian. Salah satu pesan terakhir beliau kepada kami adalah:

"Menabunglah emas untuk masa depan anak-anak kalian."

Kalimat itu seperti kompas. Kami, anak-anaknya, meneruskan kebiasaan Ibu-Bapak: menabung emas sebagai warisan bijak keluarga.

Bagi kami, Pegadaian bukan sekadar tempat menggadaikan perhiasan. Pegadaian adalah rumah yang menjaga harapan dan mimpi generasi ke generasi.

Modernisasi Layanan: Tabungan Emas Digital

Beberapa tahun terakhir, aku tidak selalu mengunjungi kantor Pegadaian secara langsung. Semua berubah sejak Pegadaian menghadirkan aplikasi digital "Pegadaian Digital" yang begitu memudahkan.

Di dalamnya ada layanan Tabungan Emas, yang memungkinkan siapa pun untuk menabung emas mulai dari nominal kecil. Bayangkan, dengan uang seharga satu cup kopi di Cafe, kita sudah bisa membeli emas dan menambah saldo tabungan. Aksesnya mudah, transparan, dan aman.

Kini, aku bisa menabung emas kapan saja dan di mana saja. Rasanya luar biasa melihat tradisi menabung emas---yang dulu dilakukan Mama dengan kotak kayu dan plastik hitam---bertransformasi menjadi layanan digital yang bisa diakses hanya dengan sentuhan jari.

Aku yakin, jika Ibu dan Bapak masih ada, mereka akan tersenyum bangga melihat bagaimana Pegadaian terus berinovasi. Dari generasi ke generasi, Pegadaian membuktikan diri bukan hanya sebagai penyelamat finansial, tetapi juga penjaga nilai tradisi keluarga.

Pegadaian mengEMASkan Indonesia---bukan hanya lewat logam mulia, tapi lewat warisan bijak yang kini dapat diakses seluruh masyarakat dengan cara yang modern, mudah, dan aman.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun