Mohon tunggu...
Izzatul Mujahidah
Izzatul Mujahidah Mohon Tunggu... Mahasiswa Pascasarjana Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

Hidup yang tidak diuji tidak layak untuk dijalani

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bahagia atau Terpaksa Bahagia: Apakah Kebahagiaan Adalah Sebuah Kewajiban?

20 Oktober 2025   13:31 Diperbarui: 20 Oktober 2025   13:42 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ditengah gempuran quotes motivasi yang berseliweran di beranda akun sosial media (stay positive, be happy, positive energy, good vibes only, dll), yang menampilkan senyuman bahagia setiap orang seolah mengajak pengikut dan juga sekitarnya untuk tertawa dan bahagia, lantas dari sini muncul pertanyaan: Apakah Kebahagiaan adalah sebuah kewajiban?. Hal seperti ini akan memunculkan tekanan psikologis yang nyaris tak terlihat, seolah-olah merasakan emosi negatif adalah sebuah kesalahan dan kebahagiaan adalah sebuah keharusan.

Manusia didorong untuk “tetap bersyukur”, “lihat sisi baiknya”, dan “jangan terlalu banyak mengeluh”. Ajakan  ini tersirat sebuah pesan “jika kamu tidak bahagia, maka ada yang salah pada dirimu”. Ajakan seperti ini meyebabkan sebagian orang justru merasa bersalah ketika merasakan emosi seperti sedih, kecewa, atau lelah dan menganggap emosi tersebut adalah bentuk dari kegagalan pribadi.

Dari sudut pandang psikologi, fenomena ini sering disebut toxic positivity. Toxic positivity adalah keyakinan bahwa seseorang harus tetap berpikir positif meskipun sedang berada dalam situasi yang sulit dan penuh tekanan, toxic positivity juga dapat diartikan sebagai kecenderungan untuk hanya melihat sisi positif, mengabaikan perasaan negatif, serta memaksakan sikap optimis bahkan ketika keadaan sebenarnya tidak baik (Kojongian & Wibowo, 2021). Menurut  Kojongian & Wibowo (2021), toxic positivity merupakan keyakinan berlebihan terhadap pentingnya berpikir positif, yang menuntut individu untuk selalu bersikap optimis dalam setiap keadaan, sekaligus mengesampingkan atau menolak perasaan negatif.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Samha dkk (2022) menunjukkan bahwa toxic positivity sangat berbahaya bagi kesehatan mental dan dapat memberikan berbagai dampak buruk bagi individu yang mengalaminya, seperti munculnya gejala depresi, rendah diri, kecemasan berlebih, kesedihan mendalam, rasa kecewa, bahkan kemarahan yang terpendam. Hal ini menegaskan bahwa berpikir positif secara berlebihan justru dapat menjadi racun emosional yang mengikis kejujuran batin seseorang.

Padahal pada dasarnya emosi merupakan reaksi psikologis dan fisiologis alami pada manusia, emosi muncul sebagai respon terhadap situasi atau pengalaman. Emosi bukanlah suatu hal yang salah ataupun harus dihindari, melainkan emosi merupakan bagian penting dari kehidupan manusia yang sehat. Emosi positif tidak boleh dijadikan patokan kehidupan yang baik, emosi negatif pula tidak harus di hilangkan, akan tetapi emosi negatif perlu diakui dan dikelola dengan sehat agar tidak berkembang menjadi gangguan psikologis yang lain.

Aristoteles memandang eudaimonia (kebahagiaan sejati) bukan sekadar perasaan senang, tetapi tujuan akhir dari hidup manusia yaitu keadaan ketika manusia mencapai kesempurnaan dirinya melalui tindakan yang baik dan hidup secara etis di tengah masyarakat. Eudaimonia Aristoteles berhadap-hadapan dengan pengalaman eksistensial manusia, menerimanya, dan mencari solusi tuntas atasnya (Febriano, 2022). Dapat diartikan bahwa eudamonia (kebahagiaan) menurut Aristoteles tetap berkaitan dengan realita kehidupan manusia, seperti pernderitaan, rasa sakit, tanggung jawab, dan pencarian makna kehidupan. Aristoteles tidak mengabaikan relita kehidupan, melainkan berusaha menerimanya dan mencarikan solusi terbaik atas masalahnya. Nietzscha juga menegaskan bahwa penderitaan adalah bagian tak terhindarkan dari proses menjadi manusia (Febriano, 2022).

Sejalan dengan pandangan tokoh filsafat diatas, psikologi juga menyoroti peran penting emosi negatif dala perkembangan dan kepribadian manusia. Menurut teori stimulus-response yang dikembangkan oleh Dollard dan Miller, kecemasan dan ketakutan adalah bentuk pengkondisian dari rasa sakit, yang berfungsi untuk memotivasi dan mereinsforse tingkah laku menghindar agar tidak mengalami rasa sakit (Alwisol, 2021). Sementara itu dalam teori kepribadian Rogers menyebutkan bahwa, pada tingkatan tertentu kecemasan serta ancaman itu dibutuhkan untuk mengembangkan diri memperoleh jiwa yang sehat (Alwisol, 2021). Dapat diartikan bahwa kedua pandangan tersebut menunjukkan bahwa kecemasan memiliki fungsi penting dalam perilaku dan perkembangan manusia. Menurut teori stimulus–response Dollard dan Miller, kecemasan dan ketakutan merupakan hasil pengkondisian dari pengalaman rasa sakit yang berperan untuk memotivasi individu agar menghindari situasi yang menimbulkan penderitaan. Sementara itu, dalam teori kepribadian Rogers, kecemasan dan ancaman justru dianggap sebagai bagian alami yang dibutuhkan untuk pertumbuhan diri, karena melalui pengalaman tersebut individu dapat belajar, menyesuaikan diri, dan mencapai kepribadian yang lebih sehat. Dengan demikian, kecemasan tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme pertahanan, tetapi juga sebagai pendorong perkembangan psikologis manusia.

Permasalahan saat ini adalah kita cenderung berbondong bondong untuk belajar bagaimana terlihat bahagia tanpa belajar bagamana benar benar hidup dengan baik. Unggahan ekspresi senyum, liburan bersama teman dan keluarga, serta afirmasi positif dari orang lain menjadi etalase kebahagiaan yang dibagikan, bukan karena kita benar-benar merasakannya, akan tetapi karena kita tahu bahwa itulah yang diharapkan terlihat oleh orang sekitar.

Akibatnya adalah merasakan kesedihan atau emosi negatif lainnya menjadi semacam kesalahan atau aib yang harus disembunyikan, bahkan pada diri sendiri dan menyebabkan manusia menjauh dari kejujuran emosionalnya.

Pada akhirnya, dari semua pencarian akan kebahagiaan, kita mungkin perlu berhenti sejenak, dan berusaha belajar serta bertanya pada diri kita sendiri, apakah tujuan hidup manusia benar-benar untuk selalu bahagia?, atau untuk menjadi manusia yang utuh?. Mungkin yang lebih layak kita perjuangkan hari ini bukanlah kebahagiaan yang tanpa cela, melainkan kebebasan untuk merasakan dan menerima setiap emosi yang hadir, termasuk emosi negatif yang sering kita hindari. Seperti kebebasan untuk tidak baik baik saja, kebebasan untuk beristirahat karna merasa lelah, kebebasan untuk menangis karna merasa sedih dan kecewa, kebebasan untuk merasa marah karna ada sesuatu yang tidak menyenangkan. Bukan alih alih mengubur perasaan itu dalam-dalam, melainkan untuk berani merasakannya, menerimanya, dan mengelolanya dengan baik sehingga kita dapat berdamai dengan diri sendiri dan merasa lebih baik.

Ungkapan “Iya Aku Sedih, dan Itu Manusiawi”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun