Bayangkan siswa SMA di Denpasar atau Gianyar belajar bukan hanya rumus matematika atau sejarah nasional, tapi juga cara hidup harmonis dengan alam, sesama, dan Sang Hyang Widhi Wasa. Itulah esensi Tri Hita Karana (THK), filosofi kuno asli Bali yang telah menjadi pondasi kehidupan sehari-hari masyarakat pulau dewata ini, dan kini mulai merambah ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Bukan lagi sekadar cerita budaya lokal yang terbatas di pura atau subak, THK bisa jadi "senjata rahasia" untuk mendidik generasi muda Bali yang lebih peduli lingkungan, gotong royong, dan pelestarian adat istiadat. Dalam Kurikulum Merdeka yang fleksibel, penerapan THK di SMA Bali bisa diintegrasikan secara interdisipliner, membuat pelajaran lebih hidup, relevan dengan kehidupan sehari-hari, dan selaras dengan semangat Tri Mandala. Mari kita bahas bagaimana caranya, manfaatnya, dan tantangan yang dihadapi di tengah gempuran modernisasi.
 Apa Itu Tri Hita Karana? Filosofi Sederhana untuk Hidup Bahagia
Tri Hita Karana, yang secara harfiah berarti "tiga sebab kebahagiaan", adalah pandangan hidup mendalam yang telah menjadi inti dari kehidupan masyarakat Bali selama berabad-abad. Filosofi ini menekankan keseimbangan sempurna antara tiga pilar utama: Parahyangan, yang melambangkan harmoni dengan Tuhan atau kekuatan spiritual yang lebih tinggi, seperti Sang Hyang Widhi Wasa dalam ajaran Hindu Bali, di mana segala aktivitas dimulai dengan doa dan penghormatan agar hidup penuh berkah; Pawongan, yang fokus pada harmoni antarmanusia, mencakup gotong royong, saling menghormati, dan membangun hubungan sosial yang kuat tanpa konflik atau egoisme; serta Palemahan, yang menyoroti harmoni dengan alam dan lingkungan, di mana manusia dianggap sebagai bagian dari alam, bukan penguasa yang merusaknya. Bayangkan seperti tiga kaki meja yang kokoh: kalau satu kaki goyah, misalnya, kita abaikan alam (Palemahan) demi kemajuan ekonomi, maka seluruh meja akan miring, dan kebahagiaan kolektif pun runtuh. Analogi ini sederhana tapi powerful, mengingatkan kita bahwa kehidupan tak bisa dipisah-pisahkan; semuanya saling terkait.
Di Bali, filosofi THK bukan sekadar teori di buku kuno, tapi sudah diterapkan secara nyata sejak zaman kerajaan Majapahit. Contoh klasiknya adalah sistem irigasi subak, yang diakui UNESCO sebagai warisan dunia. Subak bukan hanya saluran air untuk sawah, tapi ekosistem lengkap yang menggabungkan pertanian produktif (Palemahan), ritual keagamaan seperti upacara di pura air (Parahyangan), dan kerjasama desa melalui musyawarah banjar (Pawongan). Petani Bali tak hanya menanam padi; mereka juga menjaga keseimbangan alam agar air tetap mengalir deras, sambil berbagi hasil panen secara adil. Bahkan di desa-desa adat seperti Tabanan atau Ubud, THK terlihat dalam tata letak rumah (Tri Mandala: utama, madya, nista) yang menghormati arah mata angin dan alam sekitar. Sayangnya, di era modern, subak mulai terancam oleh pembangunan hotel dan villa, tapi justru ini yang membuat THK semakin relevan, sebagai pengingat untuk tak ulangi kesalahan masa lalu.
Lalu, kenapa THK begitu penting untuk siswa SMA, terutama di Bali yang kaya budaya ini? Di tengah badai perubahan iklim seperti banjir rob di pantai selatan atau kekeringan di musim kemarau, serta urbanisasi liar yang mengubah sawah jadi mal dan resort, anak muda Bali sering merasa terputus dari akar budaya mereka. Mereka sibuk dengan gadget, media sosial, dan tekanan ujian nasional, tapi lupa bahwa identitas Bali adalah harmoni, bukan kompetisi semata. Menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbud), Kurikulum Merdeka yang diluncurkan sejak 2022 justru mendorong pengajaran berbasis nilai lokal untuk membangun karakter siswa yang tangguh dan beretika. Dalam panduan resminya, Kemdikbud menekankan bahwa nilai seperti THK bisa diintegrasikan untuk mengembangkan profil Pelajar Pancasila: beriman, bertakwa (Parahyangan), gotong royong (Pawongan), dan bernalar kritis terhadap lingkungan (Palemahan).
THK bukan hanya "milik Bali" yang eksklusif, tapi prinsip universal yang selaras dengan Pancasila, lihat saja sila kedua (kemanusiaan yang adil) yang mirip Pawongan, atau sila kelima (keadilan sosial) yang mendukung Palemahan. Bahkan secara global, THK mirip dengan Sustainable Development Goals (SDGs) PBB, seperti tujuan nomor 13 tentang aksi iklim dan nomor 16 tentang perdamaian sosial. Di SMA, memasukkan THK ke kurikulum berarti siswa tak lagi belajar teori kering, tapi cara bertindak nyata: misalnya, mengorganisir kampanye tanam pohon di sekolah untuk Palemahan, atau diskusi kelompok tentang menyelesaikan konflik antarwarga untuk Pawongan, sambil memulai hari pelajaran dengan meditasi singkat untuk Parahyangan. Hasilnya? Generasi muda yang tak hanya pintar akademis, tapi juga bijak dalam menghadapi tantangan masa depan yang berkelanjutan, seperti melestarikan Bali dari overtourism atau banjir akibat hilangnya hutan mangrove. Dengan THK, pendidikan SMA bisa jadi jembatan antara masa lalu yang kaya dan masa depan yang hijau.
Strategi Integrasi Interdisipliner: Dari Teori ke Praktik Seru
Penerapan THK di SMA tak perlu rumit. Kuncinya adalah integrasi interdisipliner, artinya menggabungkan pelajaran dari berbagai mata pelajaran agar siswa melihat gambaran besar. Berikut beberapa strategi praktis yang bisa diterapkan guru:
1. Project-Based Learning (PBL) di Mata Pelajaran Geografi dan IPA: Siswa diminta merancang "tata ruang mini" untuk lingkungan sekolah mereka. Misalnya, bagaimana menata halaman sekolah agar ramah lingkungan (Palemahan), melibatkan semua siswa tanpa diskriminasi (Pawongan), dan menyertakan elemen spiritual seperti pohon suci (Parahyangan). Di SMA Negeri 1 Denpasar, Bali, proyek seperti ini sudah dilakukan, dan siswa merasa lebih terlibat, penelitian lokal menunjukkan peningkatan pemahaman lingkungan hingga 25%.
2. Diskusi di PPKn dan Seni Budaya: Bahas Pawongan sebagai bentuk demokrasi sehari-hari. Siswa bisa role-playing musyawarah desa untuk menyelesaikan konflik, seperti sengketa lahan di kampung mereka. Ini selaras dengan nilai Bhinneka Tunggal Ika, membuat pelajaran PPKn lebih hidup daripada hafalan konstitusi.
3. Teknologi Digital untuk Visualisasi: Gunakan Geographic Information System (GIS) sederhana via aplikasi gratis seperti Google Earth. Siswa bisa memetakan dampak urbanisasi di kota mereka, seperti banjir di Jakarta akibat hilangnya ruang hijau (kegagalan Palemahan). Bandingkan skenario "dengan THK" vs. "tanpa THK" untuk melihat perbedaan, seru seperti bermain game simulasi!