Lebih jauh lagi, kurikulum pragmatis tidak hanya mengajarkan pengetahuan akademik, tetapi juga keterampilan hidup. Pendidikan bukan hanya soal tahu, tetapi soal mampu dan mau. Oleh karena itu, kurikulum harus mencakup pengembangan soft skills seperti komunikasi efektif, empati, kemampuan menyelesaikan konflik, dan kepemimpinan. Dalam dunia yang semakin kompleks dan saling terhubung, keterampilan-keterampilan ini menjadi sama pentingnya dengan literasi dan numerasi. Kurikulum pragmatis mengintegrasikan pembelajaran sosial-emosional sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan.
Kurikulum yang kontekstual juga berarti bahwa isi pembelajaran harus relevan dengan lingkungan sosial dan budaya peserta didik. Pragmatisme menolak kurikulum yang bersifat universal dan ahistoris, karena setiap peserta didik hidup dalam konteks yang unik. Oleh karena itu, kurikulum harus memberi ruang bagi kearifan lokal, isu-isu komunitas, dan pengalaman hidup peserta didik. Misalnya, di daerah pesisir, kurikulum dapat mengangkat tema tentang konservasi laut, sedangkan di daerah pertanian, tema tentang ketahanan pangan dan teknologi pertanian dapat menjadi fokus. Dengan cara ini, peserta didik tidak hanya belajar tentang dunia, tetapi juga belajar dari dan untuk dunia mereka sendiri.
Kurikulum pragmatis juga bersifat fleksibel dan adaptif. Ia tidak terpaku pada silabus yang kaku, tetapi terbuka terhadap perubahan dan inovasi. Guru diberi kebebasan untuk menyesuaikan isi dan metode pembelajaran sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan dinamika kelas. Ini menuntut adanya kepercayaan terhadap profesionalisme guru dan dukungan sistemik dari lembaga pendidikan. Kurikulum tidak lagi menjadi alat kontrol, tetapi menjadi alat pemberdayaan.
Dalam konteks Indonesia, pendekatan kurikulum pragmatis sangat relevan untuk menjawab tantangan pendidikan abad ke-21. Kurikulum Merdeka yang sedang dikembangkan oleh pemerintah, misalnya, mengandung semangat pragmatis dengan memberi ruang bagi pembelajaran berbasis proyek, diferensiasi, dan penguatan karakter. Namun, implementasi kurikulum yang kontekstual dan terintegrasi masih menghadapi berbagai tantangan, seperti keterbatasan sumber daya, resistensi budaya sekolah, dan kurangnya pelatihan guru. Oleh karena itu, transformasi kurikulum harus disertai dengan reformasi sistemik yang mencakup pelatihan guru, pengembangan bahan ajar, dan perubahan paradigma evaluasi.
Pada akhirnya, kurikulum yang kontekstual dan terintegrasi adalah manifestasi dari pendidikan yang hidup dan bermakna. Ia menghubungkan peserta didik dengan dunia nyata, membekali mereka dengan keterampilan untuk menghadapi kompleksitas kehidupan, dan menumbuhkan kesadaran sosial yang mendalam. Dalam dunia yang terus berubah, kurikulum pragmatis menjadi jembatan antara pengetahuan dan tindakan, antara sekolah dan masyarakat, antara belajar dan hidup itu sendiri.
Evaluasi yang Menghargai Proses dan Kreativitas
Evaluasi dalam pendidikan pragmatis tidak hanya mengukur hasil akhir, tetapi juga proses belajar, kemampuan refleksi, dan kontribusi terhadap lingkungan sosial. Penilaian tidak lagi hanya berupa angka dan ujian tertulis, tetapi juga portofolio, presentasi, jurnal reflektif, dan proyek nyata. Evaluasi menjadi alat untuk memahami perkembangan peserta didik secara holistik, bukan sekadar alat seleksi. Ini menuntut guru untuk lebih peka, lebih sabar, dan lebih kreatif dalam menilai.Â
Pragmatisme juga menekankan pentingnya pendidikan sebagai proses demokratis. Dalam pandangan Dewey, pendidikan adalah fondasi bagi masyarakat demokratis yang sehat. Sekolah harus menjadi miniatur masyarakat, tempat peserta didik belajar hidup bersama, menghargai perbedaan, dan menyelesaikan konflik secara konstruktif. Pendidikan pragmatis menolak otoritarianisme dan mendorong partisipasi aktif semua pihak dalam proses belajar. Ini berarti peserta didik memiliki suara dalam menentukan arah pembelajaran, memilih proyek yang relevan, dan mengevaluasi hasil kerja mereka sendiri. Demokratisasi pendidikan bukan hanya soal kebebasan memilih, tetapi juga soal tanggung jawab, empati, dan keterlibatan sosial.Â
Dalam konteks Indonesia, pragmatisme memiliki relevansi yang sangat tinggi. Sistem pendidikan kita masih banyak terjebak dalam pendekatan formalistik, birokratis, dan berorientasi pada ujian. Kurikulum sering kali terlalu padat, tidak kontekstual, dan kurang memberi ruang bagi kreativitas peserta didik. Pragmatisme menawarkan alternatif yang lebih manusiawi dan membebaskan. Ia mendorong pendidikan yang berakar pada kehidupan nyata, pada budaya lokal, dan pada tantangan sosial yang dihadapi masyarakat. Misalnya, pembelajaran berbasis proyek yang melibatkan peserta didik dalam menyelesaikan masalah lingkungan, sosial, atau ekonomi di sekitar mereka. Atau pendekatan pembelajaran yang mengintegrasikan seni, teknologi, dan kewirausahaan dalam satu kesatuan yang bermakna.Namun, menerapkan pragmatisme dalam pendidikan bukan tanpa tantangan. Ia menuntut perubahan mendasar dalam cara berpikir, cara mengajar, dan cara mengelola sekolah. Guru harus dilatih untuk menjadi fasilitator, bukan hanya pengajar. Kurikulum harus dirancang ulang agar lebih fleksibel dan kontekstual. Sistem evaluasi harus diubah agar menghargai proses dan kreativitas, bukan sekadar angka. Dan yang paling penting, budaya sekolah harus dibangun atas dasar kepercayaan, dialog, dan kolaborasi. Ini bukan pekerjaan mudah, tetapi sangat mungkin dilakukan jika ada kemauan politik, dukungan masyarakat, dan komitmen dari para pendidikPada akhirnya, pragmatisme mengajak kita untuk melihat pendidikan sebagai proses hidup yang nyata, bukan sekadar persiapan untuk masa depan yang abstrak. Ia menuntut agar pendidikan menjadi relevan, bermakna, dan berkontribusi pada pembentukan manusia yang mampu berpikir, merasa, dan bertindak secara bijak. Dalam dunia yang terus berubah, pendidikan yang pragmatis mampu menjadi jangkar yang menuntun generasi muda untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga berinovasi, berkolaborasi, dan menciptakan masa depan yang lebih baik. Pragmatisme bukan hanya filsafat, tetapi cara hidup yang menghidupkan pendidikan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI