Mohon tunggu...
I Wayan Sugihartha
I Wayan Sugihartha Mohon Tunggu... Guru

Pendidik bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berfokus pada pengembangan inovasi pembelajaran berbasis inkuiri, teknologi, dan etnosains. Praktik pembelajaran diarahkan pada integrasi konsep-konsep sains dengan konteks kehidupan sehari-hari serta kearifan lokal, sehingga tercipta proses belajar yang bermakna, relevan, dan kontekstual bagi peserta didik. Fokus utama mencakup penguatan keterampilan berpikir kritis, literasi sains, serta pembentukan sikap peduli lingkungan sebagai kompetensi esensial dalam pendidikan abad ke-21

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tri Hita Karana : Falsafah Kebahagiaan dan Harmoni dalam Kearifan Lokal Nusantara

20 September 2025   20:10 Diperbarui: 20 September 2025   20:10 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam jantung falsafah Tri Hita Karana, Parahyangan hadir sebagai pengingat bahwa manusia bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari jaringan spiritual yang menghubungkan kehidupan dengan sumber asalnya. Ia mengajarkan bahwa kesejahteraan batin tidak lahir dari dominasi atas dunia, melainkan dari kesadaran akan keterhubungan yang mendalam dengan kekuatan transenden. Dalam tradisi Hindu Bali, Parahyangan diwujudkan melalui ritual harian, pemujaan di pura, dan pelaksanaan yadnya sebagai bentuk persembahan suci. Namun, esensi Parahyangan melampaui batas agama dan budaya. Ia hidup dalam denyut spiritual masyarakat Nusantara yang beragam.

Dalam Islam, hubungan dengan Tuhan bukan sekadar kewajiban , tetapi juga jalan pembebasan jiwa. Salat lima waktu menjadi ritme spiritual yang menghubungkan manusia dengan keabadian, meneguhkan bahwa hidup bukan hanya tentang dunia, tetapi juga tentang akhirat. Dalam tradisi Kristen, kasih Tuhan menjadi pusat kehidupan. Doa, pengakuan dosa, dan pelayanan kepada sesama adalah bentuk nyata dari penyatuan dengan kehendak ilahi. Dalam ajaran Buddha, pencapaian kebahagiaan sejati tidak terletak pada eksternalitas, melainkan pada pembebasan dari penderitaan melalui pencerahan batin. Meditasi dan sila menjadi sarana untuk menyatu dengan hukum alam yang lebih tinggi. Sementara dalam Konghucu, Parahyangan tercermin dalam prinsip kesopanan dan cinta kasihyang mengarahkan manusia untuk hidup selaras dengan kehendak Tian, sang langit yang bijak. 

Parahyangan bukan sekadar hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan, tetapi juga proses kontemplatif yang membentuk cara pandang terhadap kehidupan. Ia mengajarkan bahwa spiritualitas bukan hanya berada di tempat ibadah, tetapi juga dalam tindakan sehari-hari: dalam kejujuran, dalam kesabaran, dalam rasa syukur atas hal-hal kecil. Ketika manusia menyadari bahwa hidupnya adalah bagian dari tatanan kosmik yang lebih luas, maka lahirlah kerendahan hati, pengakuan akan keterbatasan, dan dorongan untuk hidup dengan penuh makna.

Dalam konteks masyarakat Bali, Parahyangan tidak berdiri sendiri. Ia terjalin erat dengan Pawongan dan Palemahan, membentuk harmoni yang utuh. Sembahyang bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kesejahteraan komunitas dan kelestarian alam. Upacara keagamaan bukan sekadar ritual, tetapi juga ruang sosial dan ekologis. Dengan demikian, Parahyangan menjadi titik awal dari kebahagiaan yang menyeluruh kebahagiaan yang tidak egoistik, tetapi kolektif dan berkelanjutan. Di tengah dunia yang semakin terfragmentasi oleh teknologi dan materialisme, Parahyangan mengajak kita untuk kembali ke pusat spiritualitas. Ia bukan nostalgia masa lalu, melainkan kompas moral untuk masa depan. Dengan menyatu pada Sang Pencipta, manusia menemukan arah, menemukan kedamaian, dan menemukan dirinya sendiri.

Pawongan: Menjalin Keharmonisan Sosial

Dalam falsafah Tri Hita Karana, Pawongan hadir sebagai pengingat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup terpisah dari lingkungannya. Ia bukan sekadar ajakan untuk berinteraksi, tetapi sebuah prinsip hidup yang menempatkan relasi antarmanusia sebagai fondasi kebahagiaan dan keseimbangan. Pawongan mengajarkan bahwa keharmonisan sosial bukan hasil dari keseragaman, melainkan dari kemampuan untuk saling memahami, menghargai perbedaan, dan membangun rasa memiliki terhadap komunitas.

Di Bali, nilai Pawongan terwujud dalam struktur sosial yang sangat khas, seperti banjar dan subak. Banjar bukan hanya unit administratif, tetapi juga ruang hidup bersama di mana keputusan diambil secara kolektif, konflik diselesaikan melalui musyawarah, dan solidaritas dibangun melalui kerja sama. Subak, meskipun dikenal sebagai sistem irigasi, juga merupakan wadah sosial yang mengatur hak dan kewajiban petani secara adil. Dalam kedua sistem ini, prinsip Pawongan dijalankan secara konkret: tidak ada yang ditinggalkan, tidak ada yang mendominasi, semua saling bergantung.

Namun, semangat Pawongan tidak hanya hidup di Bali. Di berbagai wilayah Nusantara, kita menemukan ekspresi lokal yang mencerminkan nilai-nilai serupa. Dalam masyarakat Batak Toba, Dalihan Na Tolu bukan sekadar struktur kekerabatan, tetapi juga sistem etika yang mengatur bagaimana seseorang harus bersikap terhadap orang lain berdasarkan posisi sosialnya. Ia menanamkan rasa hormat, tanggung jawab, dan keseimbangan dalam relasi sosial. Di Minangkabau, falsafah “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” menegaskan bahwa hubungan sosial harus berakar pada nilai spiritual dan hukum Tuhan, sehingga setiap tindakan sosial memiliki dimensi moral yang mendalam.

Dalam budaya Jawa, konsep “tepa salira” mengajarkan pentingnya empati dan kemampuan menempatkan diri dalam posisi orang lain. Sementara “rukun” menjadi cita-cita sosial yang diwujudkan melalui sikap sabar, rendah hati, dan menghindari konflik. Kedua nilai ini membentuk masyarakat yang tidak hanya damai secara lahiriah, tetapi juga tenteram secara batiniah. Di masyarakat Bugis, nilai “siri” (harga diri) dan “pacce” (kepedulian) menjadi landasan etika sosial yang menuntut kejujuran, keberanian, dan solidaritas.

Pawongan juga memiliki dimensi transformatif. Ia mendorong manusia untuk keluar dari egoisme dan membuka diri terhadap kepentingan bersama. Dalam dunia yang semakin individualistik, di mana relasi sosial sering kali digantikan oleh interaksi digital yang dangkal, Pawongan mengajak kita untuk kembali membangun koneksi yang bermakna. Ia mengingatkan bahwa kebahagiaan tidak lahir dari pencapaian pribadi semata, tetapi dari rasa keterhubungan dan kontribusi terhadap kesejahteraan orang lain.

Lebih dari itu, Pawongan adalah etika hidup bersama yang menuntut keadilan sosial. Ia menolak ketimpangan, diskriminasi, dan eksklusi. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi Pawongan, setiap individu memiliki tempat, suara, dan martabat. Gotong royong bukan hanya kerja fisik, tetapi juga simbol dari semangat kolektif untuk saling menopang. Musyawarah bukan hanya metode pengambilan keputusan, tetapi juga cermin dari penghargaan terhadap kebijaksanaan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun