Mohon tunggu...
I Wayan Sugihartha
I Wayan Sugihartha Mohon Tunggu... Guru

Pendidik bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berfokus pada pengembangan inovasi pembelajaran berbasis inkuiri, teknologi, dan etnosains. Praktik pembelajaran diarahkan pada integrasi konsep-konsep sains dengan konteks kehidupan sehari-hari serta kearifan lokal, sehingga tercipta proses belajar yang bermakna, relevan, dan kontekstual bagi peserta didik. Fokus utama mencakup penguatan keterampilan berpikir kritis, literasi sains, serta pembentukan sikap peduli lingkungan sebagai kompetensi esensial dalam pendidikan abad ke-21

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tri Hita Karana : Falsafah Kebahagiaan dan Harmoni dalam Kearifan Lokal Nusantara

20 September 2025   20:10 Diperbarui: 20 September 2025   20:10 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mencari Makna dalam Keseimbangan: Problematika dan Tantangan Aktual dalam Menghidupi Tri Hita Karana

Indonesia sebagai negara kepulauan yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, dianugerahi kekayaan budaya dan spiritualitas yang luar biasa. Keberagaman ini tidak hanya tercermin dalam bahasa, adat istiadat, dan seni, tetapi juga dalam sistem nilai yang membentuk cara pandang masyarakat terhadap kehidupan. Setiap suku bangsa di Nusantara memiliki pandangan filosofis yang khas tentang hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam. Nilai-nilai tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkelindan dan membentuk jalinan kebijaksanaan lokal yang menjadi fondasi etika sosial dan spiritual masyarakat Indonesia.

Namun, di tengah arus modernisasi, globalisasi, dan tekanan ekonomi, terjadi ketimpangan antara nilai-nilai luhur tersebut dan praktik kehidupan sehari-hari. Banyak masyarakat yang mengalami disorientasi spiritual, keterasingan sosial, dan kerusakan ekologis. Di sinilah letak problematika utama: bagaimana mempertahankan dan menghidupi nilai-nilai keseimbangan dalam realitas yang semakin kompleks dan terfragmentasi? Kesenjangan antara idealisme budaya dan praktik kontemporer menjadi tantangan besar dalam pencarian makna hidup yang utuh.

Salah satu konsep filosofis yang lahir dari kearifan lokal Bali dan telah menjadi warisan budaya yang mendalam adalah Tri Hita Karana (THK). Secara etimologis, “Tri” berarti tiga, “Hita” berarti kebahagiaan atau kesejahteraan, dan “Karana” berarti penyebab. Maka, Tri Hita Karana dapat dimaknai sebagai “tiga penyebab kebahagiaan.” Konsep ini bukan sekadar teori atau ajaran spiritual, melainkan falsafah hidup yang dijalankan secara nyata dalam kehidupan masyarakat Bali. THK mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat dicapai hanya melalui pencapaian materi, melainkan melalui keseimbangan relasional yang menyeluruh: antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan), manusia dengan sesama (Pawongan), dan manusia dengan alam semesta (Palemahan).

Namun, tantangan muncul ketika nilai-nilai THK dihadapkan pada gaya hidup modern yang cenderung materialistik dan individualistik. Parahyangan, misalnya, menekankan pentingnya hubungan spiritual yang tulus antara manusia dan Sang Pencipta. Dalam masyarakat Bali, hubungan ini diwujudkan melalui ritual keagamaan, persembahyangan di pura, dan pelaksanaan yadnya sebagai bentuk pengabdian. Tetapi dalam konteks urban dan digital saat ini, spiritualitas sering kali terpinggirkan oleh rutinitas dan konsumsi. Banyak individu merasa kehilangan arah, mengalami kekeringan batin, dan menjadikan agama sebagai formalitas belaka. Padahal, dalam berbagai tradisi Nusantara Islam, Kristen, Buddha, Konghucu nilai spiritualitas adalah inti dari kehidupan yang bermakna.

Pawongan, sebagai dimensi sosial, mengajarkan bahwa manusia tidak hidup sendiri, melainkan sebagai bagian dari komunitas yang saling bergantung. Dalam masyarakat Bali, sistem banjar dan subak menjadi ruang kolektif di mana nilai gotong royong, toleransi, dan musyawarah dijalankan. Namun, dalam masyarakat modern, relasi sosial semakin renggang. Individualisme, kompetisi, dan segregasi sosial memperlemah solidaritas. Banyak komunitas kehilangan ruang interaksi yang bermakna, dan konflik sosial meningkat akibat kurangnya empati dan komunikasi. Padahal, nilai-nilai seperti Dalihan Na Tolu (Batak), “Adat basandi syarak” (Minangkabau), “tepa salira” (Jawa), dan “Siri na Pacce” (Bugis) adalah warisan etika sosial yang dapat menjembatani perbedaan dan membangun kohesi sosial.

Palemahan, sebagai dimensi ekologis, menghadapi tantangan yang paling nyata. Alam yang seharusnya dihormati dan dijaga kini menjadi korban eksploitasi. Deforestasi, pencemaran, dan krisis iklim menunjukkan bahwa manusia telah melampaui batas keseimbangan ekologis. Dalam praktik masyarakat Bali, upacara Tumpek Uduh dan Tumpek Kandang adalah bentuk penghormatan kepada tumbuhan dan hewan. Sistem subak sebagai pengelolaan air berbasis komunitas adalah contoh nyata pelestarian lingkungan berbasis THK. Namun, sistem ini mulai terancam oleh alih fungsi lahan, pembangunan yang tidak berkelanjutan, dan minimnya kesadaran ekologis. Dalam budaya Dayak, hutan dianggap sebagai ibu yang memberi kehidupan, dan dalam tradisi Papua, tanah adalah warisan leluhur. Tetapi nilai-nilai ini sering kali terpinggirkan oleh kepentingan ekonomi jangka pendek.

Tri Hita Karana bukan hanya menjadi pedoman hidup masyarakat Bali, tetapi juga memiliki relevansi universal dalam membangun kehidupan yang harmonis dan berkelanjutan. Dalam era yang ditandai oleh krisis lingkungan, konflik sosial, dan kekeringan spiritual, THK menawarkan paradigma alternatif yang mengintegrasikan nilai spiritual, sosial, dan ekologis secara utuh. Namun, agar THK tidak hanya menjadi simbol budaya, diperlukan upaya serius untuk menjembatani gap antara nilai dan praktik. Pendidikan karakter berbasis budaya lokal, penguatan komunitas adat, dan integrasi nilai THK dalam kebijakan publik adalah langkah strategis untuk merevitalisasi makna keseimbangan dalam kehidupan modern.

Kebahagiaan dalam THK bukanlah kenikmatan sesaat, melainkan proses berkelanjutan yang lahir dari kesadaran akan keterhubungan semua aspek kehidupan. Harmoni bukanlah kondisi pasif, tetapi hasil dari usaha aktif menjaga keseimbangan. Dalam kehidupan sehari-hari, harmoni dapat diwujudkan melalui tindakan sederhana: menyapa tetangga, berdoa dengan tulus, mengurangi sampah plastik, menanam pohon, dan menghormati perbedaan. Namun, agar tindakan-tindakan ini menjadi bagian dari budaya hidup, diperlukan perubahan paradigma: dari yang eksploitatif menjadi partisipatif, dari yang individualistik menjadi kolektif, dari yang materialistik menjadi spiritual.

Tri Hita Karana mengajarkan bahwa manusia adalah bagian dari jaringan kehidupan yang saling terkait. Dengan menjaga hubungan yang baik dengan Tuhan, sesama, dan alam, kita tidak hanya membangun kehidupan yang bahagia, tetapi juga mewariskan dunia yang lebih baik bagi generasi mendatang. Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh tantangan, THK bukan sekadar warisan budaya, tetapi jalan hidup yang mengajarkan kita untuk menjadi manusia seutuhnya yang berpikir, merasa, dan bertindak dalam harmoni dengan semesta.

Parahyangan: Menyatu dengan Sang Pencipta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun