Impor garam di Indonesia notabene saat ini hanya dikuasai oleh 6 importir yaitu PT Garam (BUMN), PT Garindo, PT Budiono, PT Susanti Megah, PT Sumatraco & PT Cheetam. Petambak garam juga menjual garamnya ke 6 importir garam tersebut.
Harga yang ditetapkan oleh Pemerintah sebesar Rp 750,-/kg untuk garam kualitas baik & Rp 550 untuk kualitas kedua tidak pernah bisa dinikmati oleh petambak garam kita. Para petambak rata-rata hanya bisa menjual garamnya ke 6 importir tersebut Rp 300,- s/d Rp 600,-/kg kualitas baik & Rp 200,- s/d 250,-/kg untuk kualitas kedua, dengan alasan spek garam petambak masih dibawah spek garam impor.
Aneh. Pemerintah seharusnya mempunyai posisi yang jelas disini yaitu berpihak kepada petambak garam Indonesia yang berjumlah +/- 400.000 petambak dibanding segelintir orang importir. Melindungi harga yang telah ditetapkan oleh Pemerintah sendiri saja tidak mampu, apalagi mengatur 6 importir garam yang mempunyai modal besar, jaringan luas di elite birokrasi & politik Indonesia.
Konsumen garam rumah tangga Indonesia tidak akan pernah berteriak jika harga beli garam petambak dinaikkan misalnya menjadi Rp 1.000,-/kg, karena konsumsi garam per rumah tangga di Indonesia rata-rata dalam 1 tahun hanya 3 kg saja. Dengan asumsi harga jual garam di toko-toko klontong +/- Rp 3.000,-/kg berarti dalam setahun rumah tangga di Indonesia hanya mengeluarkan uang sebesar Rp 9.000,- untuk garam konsumsi atau Rp 750,-/bulan/keluarga. Kecil sekali pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi garam.
Kasus garam di Indonesia sangat ironis sekali. Indonesia merupakan negara kepulauan, 2/3 wilayahnya adalah laut & garis pantainya nomor 4 terpanjang di dunia, tapi masih mengimpor garam & masih belum mampu memproduksi garam kandungan NaCl yang tinggi.