Diplomasi Perdamaian Perang Ukraina ala Trump yang Sarat Konflik
Menyimak diplomasi ala Trump yang mengeroyok Zelenski bersama wakilnya dalam mendikte perjanjian perdamaian dan memeras 50% keuntungan pertambangan Ukraina di kantol lonjong (oval office) gedung putih, Washington kemarin 2/28/25.
Diplomasi dan negosiasi perdamaian bagi negara yang sedang berperang biasanya identik dengan negosiasi tenang, kompromi strategis, dan keteguhan dalam membangun perdamaian, dengan harapan bisa mendamaikan semua pihak, termasuk penduduk yang bermusuhan mati-matian. Namun, pertemuan yang dikoreografi oleh Presiden AS, Donald Trump, dan dibantu oleh wakilnya, JD Vance, untuk menjebak Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di Gedung Putih baru-baru ini justru memperlihatkan kebalikannya --- sebuah tontonan terbuka penuh intimidasi dari negara adikuasa kepada negara yang lebih kecil, memperjelas upaya untuk memaksa Zelensky menerima perdamaian ala Trump, si "master of the deal". Alih-alih menggunakan diplomasi sebagai sarana penyelesaian, pertemuan ini justru memperlihatkan pendekatan kasar yang mengabaikan prinsip-prinsip dasar diplomasi.
Ketabahan dan Perjuangan Zelensky: Pondasi Diplomasi yang Dikhianati
Keteguhan Zelensky bukan hal baru. Sejak serangan media Rusia yang membentuk opini bahwa penduduk Donetsk adalah orang Rusia atau berbahasa Rusia, Ukraina telah menghadapi berbagai upaya propaganda dan serangan militer. Rusia melancarkan serangan ke daerah Donetsk yang penduduknya tidak berbahasa Rusia, memperkuat narasi palsu untuk menciptakan dalih aneksasi. Lebih jauh, korupsi dalam pemerintahan Ukraina juga diperparah oleh suap bulanan dari Rusia, mirip dengan yang terjadi di Transnistria.
Di tengah situasi ini, Zelensky tetap berdiri teguh. Ketika invasi Rusia ke Kyiv dimulai, ia menolak tawaran Presiden Joe Biden untuk melarikan diri, dengan tegas menyatakan, "Saya butuh amunisi, bukan tumpangan." Sikap revolusionernya terlihat jelas, tidak hanya dalam cara ia membela rakyatnya tetapi juga dalam simbolisme sederhana seperti cara berpakaiannya --- mirip dengan Winston Churchill atau Yasser Arafat --- yang menandakan keteguhan hati seorang pemimpin perang.
Namun, semua ketabahan itu dinodai oleh Trump dan Vance. JD Vance bahkan mencemooh penampilan Zelensky sebagai "tidak sopan", meski ironi mencolok terlihat pada Elon Musk, sekutu Trump, yang kerap mengenakan kaos oblong dan topi kampanye MAGA. Kritik semacam ini bukan soal estetika; ini adalah serangan terselubung untuk merendahkan Zelensky di hadapan publik.
Trump, Rusia, dan Diplomasi yang Tercemar
Donald Trump dan sekutunya memiliki sejarah panjang keterkaitan dengan Rusia. Dukungan kampanye berupa propaganda, misinformasi, dan pembunuhan karakter kerap mengalir dari Kremlin. Bahkan, donor keuangan dari oligarki Rusia diduga kuat membantu Trump meraih kekuasaan. Tidak heran jika dalam pertemuan di Helsinki, Trump secara terang-terangan lebih mempercayai Vladimir Putin dari pada badan penyidikan informasinya sendiri: FBI dan CIA.
Ketergantungan ini menciptakan diplomasi yang cacat. Trump dan Vance tak berusaha membangun perdamaian; mereka hanya melayani kepentingan Putin. Ini terbukti dalam pendekatan mereka saat menjebak Zelensky --- menekannya agar menerima perdamaian yang lebih menguntungkan Rusia dan membatasi dukungan militer AS.