Tulisan ini lahir dari sebuah perenungan di tengah majelis takziyah online, atas wafatnya seorang sahabat, Arif Budimanta Sebayang, pada 6 September 2025 lalu. Dalam keheningan virtual, satu per satu kenangan dan kesaksian tentang almarhum mengalir dari para sahabat dan keluarga. Dan hampir seluruhnya bermuara pada satu hal yang sama: kebaikannya.
Hal ini mendorong sebuah perenungan. Pernahkah kita berhenti sejenak di tengah keramaian takziah atau saat membaca kabar duka? Saat seseorang berpulang, seolah ada sebuah kesepakatan tak tertulis di antara kita yang masih hidup. Mendadak, segala percakapan tentang almarhum atau almarhumah berpusat pada satu titik: kebaikan mereka. Cerita tentang kedermawanan, kesabaran, senyum hangat, atau jasa-jasa yang pernah mereka torehkan mengalir deras, seakan menenggelamkan kenangan lain yang mungkin pernah ada.
Mengapa fenomena ini terjadi secara universal? Mengapa tirai kematian seolah menjadi penyaring yang hanya meloloskan memori-memori indah? Jawabannya mungkin tersembunyi dalam makna mendalam dari firman Allah SWT dalam Surah Al-A'raf ayat 34.
"Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun."
(QS. Al-A'raf: 34)
Ajal: Garis Batas yang Absolut
Ayat di atas menegaskan sebuah kebenaran mutlak: ajal adalah ketetapan yang tak bisa ditawar. Ia adalah garis finis yang pasti bagi setiap individu dan bahkan setiap peradaban (ummah). Tidak ada lobi, negosiasi, atau kekuatan apa pun yang dapat menundanya barang sedetik, atau memajukannya walau sekejap.
Ketika ajal datang, ia menjadi pemutus yang sempurna. Ia menghentikan segala potensi. Seseorang tidak bisa lagi menambah amal baiknya, memperbaiki kesalahannya, meminta maaf, atau menunaikan janji yang tertunda. Buku catatan hidupnya telah ditutup, pena takdir telah diangkat, dan lembaran telah kering. Kisahnya telah selesai.
Inilah titik krusialnya. Saat seseorang masih hidup, ia adalah sebuah "proyek yang sedang berjalan". Kita berinteraksi dengannya dalam dinamika yang kompleks. Ada tawa, ada konflik, ada setuju dan tidak setuju. Kita menilai tindakan mereka hari ini karena kita tahu besok mereka masih bisa berubah. Kritik kita, nasihat kita, bahkan kekecewaan kita, semua dilandasi oleh harapan bahwa masih ada "waktu" untuk perbaikan.
Namun, ketika ajal menjemput, statusnya berubah. Ia bukan lagi "proyek berjalan", melainkan sebuah "karya yang telah tuntas".
Dari Penilaian Menuju Penghormatan
Kematian mengubah cara kita memandang seseorang secara fundamental. Ia tidak lagi menjadi subjek aktif dalam panggung kehidupan kita, melainkan telah beralih menjadi sebuah memori, sebuah warisan, sebuah pelajaran. Pada titik inilah, akal dan nurani kita secara kolektif melakukan sebuah pergeseran: