Mohon tunggu...
Ivone Dwiratna
Ivone Dwiratna Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang hamba TUHAN

Believe, Belajar, Bertindak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sisi Lain Debt Collector (1): Kerasnya Hidup, Bukan Kerasnya Hati

11 April 2016   09:00 Diperbarui: 25 April 2016   03:02 1506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kebiasaannya untuk mengirim lamaran pekerjaan ke 3 tempat setiap hari masih ia lanjutkan. Berikutnya, T dapat panggilan dari 2 tempat. Bank dan finance. Tapi ia lebih memilih untuk bekerja di finance. Di finance ini, ia bertahan hingga 1 tahun menjadi petugas lapangan. Debt Collector.. T menyebut dirinya saat itu adalah tukang tarik. Keras, kasar, no mercy.

Saat saya tanya pengalaman menariknya saat menjadi debt collector di finance tersebut, matanya menerawang. Ada debiturnya yang sulit untuk ditemui, ia sudah menunggak 6 bulan cicilan. Kendaraan yang dibiayai pembeliannya, sekaligus menjadi jaminan utang atas pembiayaan tersebut selalu dalam pagar yang terkunci. Seolah jalan buntu untuk menarik obyek jaminan tersebut, maka ia memutuskan untuk masuk lewat plafond rumah si debitur. Sayangnya, upayanya ketahuan dan ia diteriaki maling. Pemilik rumah membawanya ke kantor polisi dan ia sempat ditahan 1x24 jam. Untunglah T dilepaskan setelah ditahan 1x24 jam, setelah ia menjelaskan semuanya. T mengatakan pada Polisi yang menangkapnya bahwa ia bekerja untuk bisa makan, bertahan hidup. Ia hanya melaksanakan perintah perusahaan untuk membawa kembali obyek jaminan tersebut karena debitur tidak beritikad baik, karena selama menunggak 6 bulan itu, debitur menghilang begitu saja. Tidak bisa dihubungi dan tidak membayar sedikitpun. Saat ditahan itu, T malah balik bertanya pada Polisi tersebut, apakah Kepolisian akan melindungi hak-hak orang yang memberikan pinjaman/kreditur dari debitur-debitur nakal yang tidak beritikad baik? Dari diskusinya seharian dengan kepolisian yang menahannya, malah akhirnya setelah lepas tahanan dalam 1x24 jam, ganti ia yang minta perlindungan polisi untuk mengambil kendaraan yang jadi obyek jaminan tersebut dari debitur yang membawanya ke kantor Polisi tadi. Langkah-langkah pengamanan yang ia ambil mirip dengan apa yang dinyatakan dalam Perkapolri 8/2011. Langkah yang telah ia fikir dan ambil saat jadi “tukang tarik” di sekitar tahun 1993-1994 an, jauh sebelum peraturan itu ada.

Kehidupannya menjadi debt collector saat itu benar-benar keras. Apa yang ia lakukan seringkali tidak mempedulikan keselamatan dirinya. Hanya karena sekedar ingin bertahan hidup. Perjuangan yang tidak mudah. Pekerjaannya kerap mengundang dilema dalam hatinya. Perasaannya yang tidak ingin melihat kesedihan orang lain saat ia harus menarik unit, bertarung dengan keharusannya mencari uang untuk bertahan hidup. T hanya dibayar bila berhasil menarik unit. Itulah yang menyebabkannya bekerja dengan pertarungan hati. Ia harus menyimpan rapat-rapat perasaannya.

Di tahun 1994 an itu, T berhenti kerja. Saat mau menyusun skripsi, ternyata malah dapat panggilan dari sebuah perusahaan finance lain. T bersaing dengan 600-700 an orang dalam seleksi marathon itu. Dan akhirnya, dari situ, lolos 40 orang. Lalu menjalani tes kesehatan dan terakhir tes wawancara. Saat itu ia melamar untuk posisi collector. Ketika T diinterview, yang menginterviewnya menanyakan apa yang ia ketahui tentang profesi collector. T muda taunya cuma satu: TUKANG TARIK. Agak lama mereka berdiskusi mengenai itu, karena interviewer dari finance tersebut meluruskan apa sebenarnya debt collector tersebut. Debt collector bukan tukang tarik, tapi membantu debitur dengan membantu mengambil pembayaran tagihan langsung ke debitur. Tapi, T tetap bersikeras kalau ia taunya dan maunya hanya jadi TUKANG TARIK, karena hanya itu keterampilan yang ia kuasai di finance sebelumnya. Melihat semangat dan perjuangan T, interviewer tadi malah mencoret lamaran T. Ia mengubah lamaran T. Dari lamaran mengisi posisi collector, menjadi executor. Bagian yang tadinya belum pernah ada. Jadilah si T executor di finance tersebut.

Mulailah babak baru dalam kehidupan T. Saat itu, sebagai executor, gajinya hanya Rp.175.000,00. Tidak ada insentif atau fee setiap menarik unit. Tapi T bekerja dengan penuh loyalitas. Baginya tak ada jam kerja. T bisa menarik 3-4 unit mobil setiap harinya. Dimanapun unit itu berada, ia cari. Mau mobil, truk hingga dump truk bukan masalah untuknya. Cari, kejar dan serahkan pada perusahaannya. Sebagai gantinya, sang pimpinan yang bijaksana, selalu mengajaknya makan setiap hari, memperlakukannya dengan baik dan perhatian padanya. Dia dulu yang menginterview T.

Sampailah ia pada tugas mendatangi debitur di daerah Ancol. Berdua dengan temannya naik motor, ia mencari debitur yang disebut saja M. Debitur ini sudah lama menunggak, dan jika nantinya ditagih tetap tidak membayar, maka dengan terpaksa unit yang ada pada M akan ditarik. Ada 3 unit mobil dalam satu kontrak si M yang rencananya akan ditarik. Dan pada saat datang di rumah M, T melihat 3 unit mobil tersebut ada dirumahnya.


Ternyata M sudah berumur. Ia keluar dari dalam rumahnya dengan menggunakan kursi roda bermesin. M mempersilahkan jika T hendak mengambil unit-unit mobil tersebut. Waktu itu M mengeluarkan statement kalau ia merasa janggal. Kenapa finance tempat T bekerja hanya mengejar pinjaman macet yang nilainya kecil, sedang pinjaman macet yang dalam jumlah besar tidak dikejar. Mengalirlah cerita dari M, bahwa ia adalah Komisaris dari perusahaan taksi milik anaknya yang pernah mengambil kredit pengadaan 600 unit taksi di perusahaan T dan kondisinya saat itu masuk dalam kriteria macet.

T penasaran, sesampainya di kantor ia mengecek kebenaran cerita M. Lalu setelah mencocokkan nomor kontraknya, ternyata cerita M tersebut benar. Dan terkejutlah pimpinan T, karena ia dapat menemukan M yang merupakan Komisaris diperusahaan taksi yang selama ini sudah lama tidak bisa ditemukan. Dan lebih terkejut lagi, karena berkat T inilah perusahaan taksi M yang pinjaman macetnya sangat besar tersebut, malah berniat membayar pinjamannya. Saat itu perusahaan M malah mengangsur pinjamannya hingga sekitar Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) per minggu.

M orangnya sangat murah hati, bahkan ia memberikan uang dollar Amerika pada T sebagai tanda terima kasih. T yang lugu dan jujur, malah menyerahkan semua uang pemberian M ke pimpinannya. Selain karena ia sama sekali tidak mengerti tumpukan kertas apa yang ia terima, meski tidak punya uang ia tidak tertarik dengan pemberian orang. Padahal waktu itu, uang yang diberikan M setara dengan Rp.20.000.000,00. T menolak pemberian M yang sangat besar nilainya. Padahal untuk menghandle M ini dia harus bertaruh nyawa. Bertengkar dengan kelompok preman yang dulu selalu mendapatkan uang dari M untuk tidak tagih pinjaman tersebut.

Berkat kejujurannya dan kemampuannya bernegosiasi, di tahun 1998 itu T ditarik masuk di back office. Bagian Remedial Operational di Jakarta. Lalu beberapa saat setelahnya ia dimutasi di suatu daerah di Jawa Barat. Tugas berat menantinya. Ia harus menghadapi dan menyelesaikan permasalahan tingginya angka kredit macet disana saat itu. Ini bukan tugas biasa. Kantor cabang mereka disana sering diserang massa dengan molotov. Hingga akhirnya kantor tidak bisa beroperasional dengan optimal karena harus buka tutup menghadapi ancaman molotov. Di daerah ini ia harus menghadapi suatu daerah dimana ada lurahnya yg bekerja sama melindungi orang-orang yang menggelapkan unit kendaraannya yang masuk daerah tersebut. Benar-benar susah menembus masuk daerah tersebut untuk mengambil unit. Di daerah sana pun, kepolisian dan lembaga pembiayaan terus menerus menghadapi demo terhadap lembaga pembiayaan. T tidak kurang akal, ia pun membuat banyak strategi untuk mengatasi serangan ini termasuk koordinasi dengan aparat penegak hukum. Saat ia menangani cabang inilah, titik balik kehidupannya.

T orang yang sangat keras, pantang menyerah dan tidak takut mati. Hingga saat menangani kasus khusus yang sangat berbahaya ini, T juga terbawa mengikuti ritme keras dari para “player” yang terus menyembunyikan unit-unitnya. Banyak gesekan dan emosi yang terjadi. T dan kawan-kawannya mengatasi dengan kekerasan pula. Hingga perjuangannya yang bertaruh nyawa saat itu, mengantarkannya pada suatu kecelakaan maut. T koma berhari-hari. Bahkan pimpinannya telah mencarikannya tempat untuk dimakamkan. Saat itu, telah mengalami pengalaman spiritual yang luar biasa. Ia sempat merasakan telah masuk ke alam lain dan dalam perjalanannya itu, ia dikawal. Tapi T tidak tahu siapakah itu. Untunglah Allah masih sayang padanya. Allah berikan kesempatan kedua untuk T memperbaiki hidupnya. T hidup kembali, sehat dan kembali bekerja. Tapi kali ini, T telah menjadi T yang berbeda. Kecelakaan itu telah mengubahnya. Mengubah cara pikirnya, mengubah cara hidupnya. T menyesali langkah-langkahnya selama i ni yang keras. Kali ini dia melakukannya dengan berbeda. Paradigmanya berubah. Ia menjadi lebih baik. Lebih banyak menggunakan kemampuannya dalam strategi dan negosiasi. Perjuangan T di cabang ini tidak sia-sia. Hingga akhirnya semua permasalahan di cabang ini berhasil ia selesaikan. Ia juga mampu menarik 6 unit setiap harinya. Lagi-lagi T membuat prestasi dan ia dinobatkan perusahaan sebagai yang terbaik di bagian Remedial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun