Mohon tunggu...
Ivone Dwiratna
Ivone Dwiratna Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang hamba TUHAN

Believe, Belajar, Bertindak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

100 Hari Menuju Sakaratul Maut

18 Desember 2014   08:19 Diperbarui: 6 April 2019   23:30 28966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

100  HARI MENUJU SAKARATUL MAUT

Kisah Nyata Firasat dan Pertanda Menjelang Tercabutnya Ruh dari Raga

Oleh: Ivone Dwiratna M

 

P R A K A T A

 

Kematian adalah takdir. Setiap orang memiliki “time limit” dan itu semua adalah Rahasia Illahi. Tak ada satupun yang tahu kapan kematian itu akan datang menjemput. Demikian pula dengan saya. Tak terlalu berfikir mengenai kematian. Yang saya fikir adalah bagaimana menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi dengan sakitnya Papa untuk sekian lama dan disambung dengan memberatnya penyakit Papa hingga akhirnya meninggal pada 12 September 2014 lalu, ada banyak hal yang saya pelajari sehubungan dengan kematian.

Menyaksikan sendiri bagaimana Papa mengalami sakit. Dari hari ke hari menyaksikan proses menjelang meninggalnya. Melihat bagaimana satu persatu nikmat Allah diambil dari orangtua yang sangat dicintai adalah sangat menyakitkan. Dari hati yang penuh harap menjadi kehilangan harapan, saat tiba-tiba melihat Malaikat Pencabut Nyawa telah diturunkan untuk menjalankan tugas Allah untuk menunaikan takdir Papa.

Dari situlah titik balik perjuangan untuk Papa. Dari berusaha menyelamatkan nyawanya, menjadi berusaha menyelamatkan jiwanya.. mempersiapkan surganya.. Satu harapan saya, jika tak mampu menyelamatkan raganya, maka tugas saya dan semua disekelilingnya adalah untuk menyelamatkan jiwanya. Mengajaknya berdoa, memohon pengampunan atas semua kesalahan, mendoakannya, mempersiapkan batin Papa dan kami sekeluarga dalam menghadapi satu hal yang pasti, kematian.

Segenap firasat dan pertanda yang muncul seperti dalam tulisan-tulisan yang pernah kita baca sebagai tanda-tanda sakaratul maut, ternyata bukan hanya sekedar tulisan semata. Untuk itu saya ingin membagikan pengalaman ini kepada pembaca, agar kita jangan lupa untuk mempersiapkan kematian. Karena ternyata saat tercabutnya ruh dari raga pada waktu akhir hidup kita adalah berbanding lurus dengan segala karma baik dan buruk semasa hidup.

Atas segala bantuannya, semoga Allah Bapa Yang Maha Kuasa membalas semua kebaikan Bapak dan Ibu semua. Kami sekeluarga mohon agar segala kesalahan Papa dapat dimaafkan dan mohon doa agar Papa diberi kelapangan jalan menghadap pada Allah Bapa di kehidupan kekal...

Untuk mengenang Papa, maka tulisan ini dibuat untuk peringatan 100 hari meninggalnya Papa. Semoga pengalaman yang dipaparkan dalam tulisan ini dapat memberikan pencerahan hidup bagi yang sedang dalam kesulitan, berbeban berat, menghadapi sakit penyakit, semoga dengan kisah ini dapat memberikan harapan.  Bahwa Allah tak pernah meninggalkan kita. Terkadang Ia mengambil seluruh daya yang kita punya, agar takdirnya dapat berjalan sebagaimana rencanaNya. Apapun itu, itulah yang terbaik. Ikhlaslah menjalaninya....

Bilamana ada kesalahan dalam penulisan, saya mohon maaf sebelum dan sesudahnya.

 


Penulis

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Papa, sosok yang sangat berarti dalam hidupku. Beliau sudah almarhum. Tepat 12 September 2014 yang lalu. Sepanjang hidupnya, ia orang yang keras, cerdas, supel, daya analisis bagus, pantang menyerah dan pemikir positif. Almarhum Papa sangat suka makan-makanan yang enak. Klop dengan Mama yang jago masak. Makanan kesukaannya chinese food, udang, kepiting, telur, soto, rawon, ikan goreng atau bakar plus sambalnya. Tapi, yang lebih parah adalah ketidakmampuannya untuk tidak merokok, minum kopi dan stop durian.

Bisa diduga, karena tidak berolahraga akhirnya Papa kena stroke. Mama, benar-benar berjuang untuk menyembuhkan Papa. Hingga akhirnya strokenya yang pertamapun bisa terlewati dengan baik. Papa pulih seperti sediakala. Hanya saja akibat kecelakaan yang pernah Papa alami saat aku masih SMA, akhirnya Papa mengalami pengerutan otak juga. Dan pengerutan otak ini juga turut serta menambah kisruhnya kesehatan Papa.

Waktu berlalu, Mama selalu teliti dan cerewet terhadap apa yang dikonsumsi Papa. Dan seperti biasa, Papa tidak pernah mau menuruti aturan pantangannya hingga akhirnya setelah stroke pertama itu lalu berlanjut pada stroke kedua, ketiga dan keempat. Tapi Mama tidak pernah putus asa untuk mengobati Papa. Dan hebatnya, Papa tidak pernah mau tunduk pada penyakitnya. Ia selalu berjuang untuk mengalahkan penyakitnya dengan berfikir positif. Cukup lama Papa lewati strokenya yang keempat. Sekitar 4 tahunan Papa masih cukup sehat, bisa beraktifitas normal. Baru pada sekitar Oktober 2012, Papa stroke lagi yang kelima.

Dari stroke yang kelima itulah semakin bergulir satu demi satu kejadian. Saat Allah mengambil satu persatu nikmat yang Ia telah berikan pada Papa. Lalu banyak firasat dan pertanda yang berdatangan pada Mama, kakakku, aku dan anak-anakku. Semua itu merupakan rangkaian kisah yang memberikan banyak pelajaran kepada kami. Terutama padaku. Dari situ aku memahami banyak hal yang selama ini tak pernah kupikirkan. Kematian dan proses menuju kematian. Pelajaran yang tidak mudah. Ada sedih, air mata, kekecewaan, harapan, doa, ketakutan dan banyak perasaan lain yang bercampur aduk. Dan jawabannya sederhana, ada di dalam kepasrahan pada Allah. Seberapa besar kita berusaha dan berjuang, takdir tak dapat diubah….

BAB I

STROKE YANG KELIMA

Saat itu hari Minggu. Aku dan keluargaku menempati rumahku yang baru direnovasi. Waktu itu aku tidur di kamar depan. Sebelum tidur, aku sudah meletakkan kacamataku di sudut yang aman. Jauh dari jangkauanku dan jangkauan orang lain, termasuk anak-anakku. Aku ingat betul. Aku tidak memakainya sambil tidur atau meletakkannya sembarangan. Subuh itu, tiba-tiba saja aku terbangun seketika. Aneh. Aku bangun antara sadar dan tidak. Tidak ada yang membangunkanku. Tapi aku mendadak bangun dan duduk. Aku melihat ada bayangan hitam lari keluar dari ruanganku. Cepat aku langsung berdiri dan berjalan untuk mengambil kacamataku. Dan aku kaget... Kacamataku tiba-tiba saja rusak framenya. Sangat aneh. Padahal tidak ada yang mengutak-atik. Aku pastikan itu karena posisinya yang memang aman dan aku adalah yang tidur paling akhir.  Meski tanpa kacamata, aku langsung bergerak cepat memeriksa kemana bayangan hitam itu pergi. Ternyata tidak ada satu orangpun yang bangun. Waktu itu pukul 03.30 WIB.

Karena kacamataku tidak bisa kupakai lagi, maka pagi-pagi sekali aku diantar Papa kerumah Papa untuk ambil kacamata lamaku yang masih ada di sana. Terpaksa aku pakai yang lama. Lumayan, daripada tidak memakai kacamata. Setelahnya, aku balik ke rumah dan persiapan untuk ke Gereja. Tapi, karena anak-anak hari itu rewel sekali dan sampai jam misa dimulai kami belum bisa berangkat, maka kami tidak jadi ke Gereja. Yah.. berhubung mereka sudah rapi, anak-anak tetap memaksa untuk keluar. Akhirnya kami keluar juga. Sampai di Buduran, anakku batuk dan bajunya basah kuyup. Sehingga aku putuskan untuk kembali.

Setelah ganti pakaian dan minum obat, aku minta anak-anak untuk di rumah saja. Batuknya cukup berat. Tapi, anak-anak terus saja memaksa. Entah, sepertinya acara hari itu gagal terus dan aku enggan sekali keluar rumah. Jadi, kalau anak-anak tetap memaksa keluar lagi, aku malas sekali. Solusinya, mereka kami ajak ke Mall yang tidak jauh dari rumah saja.

Baru berangkat beberapa menit dari rumah, hapeku berdering. Mama telepon dengan panik. Katanya Papa jatuh. Aku langsung pulang. Tapi Mama tidak sabar, karena Mama melihat Papa itu dalam kondisi stroke, maka harus secepat mungkin diberikan pertolongan. Untuk itu, Mama langsung minta tolong Mas Wahyudi Setiarosha, tetangga sebelah rumahku, yang berbaik hati mengangkat dan mengantarkan papaku ke rumah sakit. Papa stroke untuk kelima kalinya. Dan kini membuat Papaku lumpuh tak berdaya. Meski hanya lumpuh separoh dan tidak bisa bicara, harusnya Papa bisa segera sembuh kalau ia menurut. Tapi Papa menolak untuk dibawa berobat, menolak difisioterapi dan menolak juga diakupunktur. Benar-benar keras kepala. Kondisi tubuhnya yang sekarang membuatnya marah dan frustasi. 4 kali stroke, Papa selalu berjuang untuk sembuh. Tapi kali ini, Papa nampak kesal dan marah dengan kondisinya. Aku paham. Papa orang yang sangat mandiri. Tidak suka merepotkan orang lain. Jadi, kalau sekarang ia tak berdaya, itu sangat menyiksanya.

Aku tahu, tidak dapat bergerak, tidak dapat berbicara, adalah sangat menyakitkan. Sangat menyiksa untuknya. Oleh karenanya, aku mencoba mengobati hatinya dan terus mengasah ketajaman fikirannya. Setiap hari aku bercerita apa saja pada Papa. Mulai dari berita TV atau media cetak hari itu, cuaca, tanggal, kondisi jalan, menceritakan pekerjaan, kegundahanku, menanyakan kondisi dan perasaannya, menunjukkan foto-foto atau apapun lainnya untuk menghiburnya. Puji Tuhan, selama sakit itu, emosi Papa masih normal. Papa bisa marah, sedih, senang, bosan, malu, menanyakan sesuatu dengan isyarat, termasuk memperingatkan kami bilamana anak-anakku dalam keadaan bahaya. Papa masih mengenali orang dan saat dijenguk kawannya, Papa masih bisa menunjukkan ekspresi senang dan berterimakasih atas perhatian orang dengan ekspresi dan tatapan matanya. Yang kutahu, Papa masih selalu berusaha mandiri, tidak merepotkan orang lain dengan segala keterbatasannya.

 BAB 2

UJIAN KEHIDUPAN

Hampir dua tahun kami bersamanya setelah strokenya yang kelima. Memang Papa sedikit emosian. Bila ada yang tidak berkenan dihatinya, maka Papa akan marah. Reaksi marahnya bermacam-macam. Termasuk pula membuat perawat yang biasa memandikannya harus pandai mengambil hatinya. Sampai akhir bulan April 2014 lalu, Papa sakit. Kami terkejut karena perawat yang biasa memandikannya dan menggantikan popoknya baru laporan kalau Papa tidak bisa buang air kecil. Dan yang membuat kesal, ia baru melaporkannya setelah dua hari Papa tidak bisa buang air kecil. Alasannya karena dikira urine Papa sudah tercampur pada feses dan sudah mengering.

Kami melihat bahwa ini kondisi bahaya, segera Papa kami bawa ke Rumah Sakit. Meski ini bukan kali pertama Papa harus kami opnamekan ke rumah sakit, tapi entahlah kali ini, harapan kami seperti mulai hilang. Sakitnya berat. Albumin Papa juga drop sekali. Akhirnya Papa harus masuk dalam ruangan ICU selama 2 minggu. Karena kondisinya yang berat, kamipun memohon bantuan Romo gereja kami di untuk memberikan sakramen Krisma kepada Papa. Puji Tuhan, Romo berkenan memberikan Sakramen Krisma untuk Papa. 

Baru sebentar keluar dari ruang ICU dan pindah ke ruangan biasa, Papa tiba-tiba kejang-kejang. Padahal saat itu aku sedang pembekalan menjelang ujian negara untuk bidang kesehatan yang kutekuni. Ya, aku memang sangat tertarik dalam bidang kesehatan, sehingga aku putuskan untuk mendalami bidang tersebut. Dan saat itu adalah hari-hari terakhir menjelang ujian negara. Saat pembekalan ujian. Belum selesai pembekalan, aku langsung pulang begitu ditelepon Mama. Tapi, sampai di tempat parkir rumah sakit, aku seperti kehilangan seluruh tenagaku. Bahkan aku tidak punya kekuatan untuk turun dari mobil. Perlu waktu lebih dari 15 menit untuk menstabilkan kondisiku. Lemas sekali. Aku coba tidurkan untuk sesaat di dalam mobil, lalu mampir kantin untuk minum isotonik. Lumayan, setelahnya ada sedikit tenaga tersisa.

Karena kejang-kejang, Papa masuk ICU lagi. Airmataku tak bisa kutahan saat menemui Papa di ICU. Benar-benar tertumpah tanpa henti. Aku mendoakannya dan memberikan semangat untuk Papa. Papa tidak berdaya, tapi aku tahu Papa mendengarku. Dan aku melihatnya sungguh berjuang untuk hidup. Papa masih berjuang, dan tak ada lagi yang bisa kami lakukan selain mensupportnya sungguh-sungguh. Dengan usaha terbaik kami, sebaik mungkin. Puji Tuhan, seminggu setelahnya Papa boleh balik ruangan lagi.

 

BAB 3

PERJALANAN MASUK DALAM TUBUH

Sampai pada suatu hari, kondisi Papa nampak lemas sekali. Bahkan untuk menolehpun sepertinya tak ada tenaga. Aku sangat sedih. Anehnya, badankupun langsung ikut lemas. Mama menyuruhku pulang. Aku lunglai tak ada daya untuk melakukan apapun. Begitu pulang ke rumah, aku langsung menggeletak di tempat tidur juga akhirnya. Semakin lemah. Diantara sadar dan tidak, aku seperti berada di satu tempat yang aku tidak tahu apa. Ada yang memanggilku. Aku hanya seperti dipanggil. Tapi aku tidak dapat melihat siapa yang memanggilku. Dia mengajakku masuk ke dalam satu tempat. Kuamati sekeliling tempatku. Nampak seperti jaringan tubuh. Aku berjalan terus. Aku bingung, kuamati sekitarku. Ya Allah, aku masuk dalam tubuh! Ia yang tak terlihat itu menunjukkanku ada bagian yang luka berlubang. Dan disekeliling lubang itu ada cincin kuning, seperti nanah. Luka infeksi. Ya Allah... hanya Engkaulah Sang Maha besar. Dia membawaku masuk dalam tubuh. Dan kuyakini itu adalah tubuh Papa. Lalu hal ini diceritakan Mama ke dokter yang merawat Papa, sehingga dicoba diresepkan obat-obatan untuk mengatasi infeksinya. Puji Tuhan, tubuh Papa merespon baik obat yg diberikan dokter. Tapi saat aku masuk dalam tubuh itu, aku sangat lemah dan kehilangan tenagaku tanpa aku tahu mengapa.

Puji Tuhan anak-anakku menyayangiku. Saat aku lemah dan kehilangan daya, Kakak Hans membuatkanku teh manis hangat. Christo menyuapiku dan Kakak Albert siap sedia mengambilkan apa saja yang kuperlukan. Aku sedemikian lemasnya dan anak-anak berinisiatif untuk meladeniku. Meski apa yang mereka lakukan sederhana dan sebisa mereka, tapi aku bersyukur dan berterima kasih atas segala daya upaya mereka. Ya Allah, bahagianya aku diperhatikan oleh anak-anakku.

Meskipun kami tahu bahwa pengobatan dan obat-obatan yang terus diberikan untuk Papa hanya bersifat sementara untuk memperpanjang hidupnya saja dan kami juga tahu bahwa sakitnya sudah fase “terminal”. Akan tetapi apapun kami usahakan untuk kesembuhan Papa. Papa masih berjuang untuk hidup meski sakitnya seperti tidak ada harapan, karenanya kamipun terlecut untuk selalu mendukungnya berjuang untuk sembuh. Berapa kali Papa keluar masuk ICU, balik lagi masuk ruangan, terus masuk lagi ICU, masuk ruangan lagi... terus begitu hingga lebih dari 2 bulan Papa opname di Rumah Sakit. Itu belum ditambah fase beberapa kali keluar masuk opname di rumah sakit lagi setelahnya. Kami tidak tega melihat Papa, kamipun sudah amat lelah menghadapi kondisi seperti ini. Tapi, kami berserah kepada Allah. Ya Allah, kuatkanlah kami….

 

BAB 4

BERTEMU MALAIKAT PENCABUT NYAWA

Diantara waktu itu, pernah terjadi di akhir bulan Mei 2014, saat aku betul-betul lelah sepulang dari Rumah Sakit, aku tertidur. Nyenyak sekali tidurku. Sekitar pukul 19.00 WIB aku merasa di satu tempat, tiba-tiba lampu mendadak mati. Gelap gulita. Lalu ada sinar terang dari langit menyorot ke bumi. Dan tiba-tiba dalam sinar itu, aku melihat ada yang turun dari langit. Seseorang berjubah hitam. Seperti Ku Klux Klan. Wajahnya gelap tidak kelihatan. Berjalan seolah terbang setelahnya. Ditangannya ada tongkat. Tingginya tidak lazim. Aku langsung terbangun setelahnya. Dalam fikiranku menduga-duga siapakah yang kulihat itu. Lalu aku browsing, kucoba beberapa keyword hingga akhirnya aku menemukan bahwa yang kulihat itu adalah Izroil, Malaikat Maut.

Selama ini aku belum pernah melihatnya. Aku tidak punya gambaran mengenainya. Jadi, setelah kulihat bahwa apa yang kulihat dalam mimpiku ada Izroil, aku agak shock. Deeeggggg! Hilang hatiku begitu mengetahuinya. Lemah lunglai rasanya melihat sebagian takdir Papa. Aku tahu setiap orang punya akhir hidup. Tapi aku tidak sanggup untuk kehilangan Papa. Dari situ aku tertarik untuk menelusuri tanda-tanda kematian dan akibatnya aku jadi semakin takut saat Papa drop atau menurun kondisinya. Mengamati kondisinya dari hari ke hari membuatku cemas.

Cukup aneh rasanya setelah melihat Sang Malaikat Pencabut Nyawa. Aku jadi seperti edan sendiri. Browsing terus saat ada waktu luang. Mencari tahu mengenai kematian, bagaimana proses tercabutnya ruh dari raga, lama waktunya, tahapan-tahapan dan apa saja pertandanya. Kuingat-ingat, adakah dari satu bacaan hasil googling itu yang memberikanku petunjuk tanggal kematian Papa? Fikiran yang cukup gila, tapi aku tak mampu menahan fikiranku untuk terus bergerak memikirkannya.

Kusampaikan pada Mama beberapa tanggal. Antara tanggal Papa mulai kejang-kejang sebagai awal penghitungan 100 hari, ataukah seratus hari itu dihitung dari tanggal pertemuanku dengan Izroil? Salah satu tanggal yang kuperkirakan adalah tanggal 12 September 2014. Tanggal ini kuhitung dari perkiraan tanggal pertemuanku dengan Izroil. Dan ternyata Papa memang meninggal di tanggal 12 September 2014.

Berarti hitungan 100 hari pertanda kematian itu bukan hanya sekedar tulisan biasa. Luar biasa. Allah memang Maha Besar. RancanganNya memang luar biasa.

 

BAB 5

KRISTAL “TIME LIMIT” KEHIDUPAN MANUSIA

Akibat dari melihat Izroil itu, aku dan Mama jadi agak cemas. Tapi, yang menjadikanku bingung, aku juga dapat mimpi yang aneh. Sepertinya di langit yang begitu luas, nampak seperti kunang-kunang yang amat banyak. Tapi, ternyata itu bukan kunang-kunang. Akan tetapi kristal-kristal berbentuk memanjang yang tergantung rapi di langit. Kristal itu bisa bergantungan dengan rapi dan anehnya, tidak ada satu cantolan pun yang ada. Tapi kristal itu bisa bergantungan dengan rapi. Jumlahnya amat banyak. Seperti melihat kunang-kunang atau bintang bertaburan di angkasa luas tak berbatas. Aku tidak melihat orangnya, hanya sepertinya ada yang menunjukanku dan memberitahuku bahwa itu adalah umur masing-masing orang di bumi ini. Mereka menyebutnya “Waktu Kehidupan”. Lalu orang itu mengambilkanku satu kristal. Katanya itu waktu kehidupan Papaku. Bentuk kristalnya panjang. Tembus pandang. Didalamnya ada cairan. Dan cairan itu masih separoh kristal itu. Lalu setelahnya aku seperti tersadar dan kembali di dunia nyata.

Beberapa waktu kemudian, anakku yang pertama, Hans. Menceritakan mimpinya. Dia mimpi Engkong lagi pilih-pilih kendaraan (Anak-anakku memanggil Papaku dengan sebutan Engkong dan Mamaku dengan sebutan Uti). Engkong memilih jeep besar. Tapi sepertinya jeep itu masih harus diperbaiki spionnya, sehingga belum bisa dipakai Engkong. Firasat-firasat itu meyakinkanku bahwa sebenarnya Papa sedang dalam “perjalanan”, sedang mempersiapkan diri untuk menuju pada kehidupan abadi. Ada rasa takut kehilangan Papa. Perasaan itu begitu menyeruak. Rasanya berdosa masih belum bisa membahagiakannya, masih selalu merepotkannya dan kini Papa sakit berat seperti itupun tak bisa melakukan banyak hal yang semaksimal mungkin untuknya.

Ketika Papa sudah hampir 2 bulan dirawat di rumah sakit. Saat obat-obatan, darah dan upaya medis hanya bisa menyambung hidupnya untuk beberapa waktu saja, lalu dokter sampaikan bahwa kondisi Papa sudah fase terminal. Sudah hopeless... Rasanya ada yang hancur dalam hati kami. Sungguh baru terasa bahwa kami sangat menyayanginya. Kami semua tahu bahwa kondisi Papa yang seperti itu memang sudah tahap akhir. Kami tahu artinya. Tapi kami punya keyakinan, meski hidupnya hanya tinggal 1% saja, tapi kehidupan Papa tetap harus diperjuangkan. Karena itu nyawa. Ada rasa berdosa yang sangat mendalam jika kami tak berjuang untuk itu. Kami hanya mau menyerah jika atas kehendak Tuhan, memang nyawa itu telah ditakdirkan tercabut dari raganya.

 

BAB 6

CEMLOROTE BINTANG IKU SAJERONING PETENG, NDUK.....

Saat itu, aku, anak-anak dan Mama di rumah sakit menjaga Papa. Hati kami sedang tidak karuan melihat kondisi Papa dan setelah dokter-dokter yang menghandle Papa beberapa hari lalu menjelaskan kondisi Papa yang sudah hopeless. Waktu itu aku sangat lelah. Sudah hampir jam sebelas malam, dan kami mau pulang ke rumah untuk istirahat. Gara-gara Papa sakit seperti itu di rumah sakit, Mama terkena gangguan di jantungnya. Mengingat kondisi Mama yang seperti itu, tidak kuijinkan Mama untuk menginap di rumah sakit untuk menjaga Papa. Sayangnya, Albert anak keduaku suka berkelana. Jadi kami harus mencari Albert di seluruh sudut rumah sakit. Haduuuuh, benar-benar melelahkan mencarinya di seluruh sudut rumah sakit. Nah, selama aku mencari Albert, Hans aku suruh menunggu di lobby dengan bawaan yang cukup banyak. Tapi, karena butuh waktu agak lama untuk mencari Albert, Hans takut ditinggal. Dia pergi ke mobil dan membawa seluruh barang-barang yang kutitipkan padanya. Ya ampun, bawaan sedemikian banyak itu diangkatnya sendiri dengan sekali jalan. Lalu akhirnya kami pulang. Masih baru 2-3 menit kami masuk dalam rumah, mendadak Mama berteriak-teriak. Ternyata Hans kesakitan dadanya. Nyeri yang amat sangat. Sempat aku berfikir Hans hanya mencari perhatian. Jadi, aku tinggal mandi dulu, baru kubawa ke UGD.

Ternyata tidak, Hans memang benar-benar kesakitan. Dokter mendiagnosanya mengalami cedera di otot dada. Mungkin karena membawa bawaan yang sangat banyak tadi. Ya Allah... hati ini semakin sedih melihat Hans sakit. Saat itu sudah pukul 12 malam. Aku begitu lelah dan sedih melihat anakku ikut sakit juga. Setelah mendapat obat, lalu kami pulang. Saking lelah dan sedihnya, aku tak mampu berfikir jernih. Hingga aku keliru membuka pintu depan, padahal yang kubawa kunci pintu samping. Dan disaat itu, aku terkejut karena ada suara dalam hatiku. Suara lelaki sepuh dalam bahasa Jawa halus itu terdengar begitu nyata dalam hatiku “Cemlorote bintang iku sajeroning peteng, Nduk...” Kurang lebih artinya adalah terangnya cahaya bintang itu hanya nampak dalam kegelapan, Nak...

Seketika setelah mendengarkan pitutur itu, tiba-tiba hatiku menjadi lebih tenang. Lebih adem. Dalam sekali arti pitutur itu. Siapakah yang berbicara padaku? Hingga sedemikian pedulinya membesarkan hatiku yang sangat sedih.

Sampai saat ini, pitutur tersebut masih selalu teringat dan kuingat. Sebenarnya pernah dua kali suara itu memberitahuku sesuatu. Yang pertama, saat ayah sahabatku divonis dokter sakit kanker paru-paru. Suara itu melarang ayah sahabatku untuk dioperasi. Aku hanya bisa menyampaikan saja. Karena semua keputusan adalah pada keluarga sahabatku. Lalu kali ke dua, suara itu menyuruhku menyiapkan seperangkat baju Papa dan membuangnya di satu tempat, yang dalam penglihatanku kulihat seperti jembatan suramadu. Petunjuk itu seperti mimpi. Tapi disitu ada visi dan suara. Namun aku tak pernah melihat siapa yang berbicara. Entah, untuk apa seperangkat baju Papa itu harus dilarung.

Sejak bulan Mei 2014, setelah visiku melihat kedatangan Izroil, aku dan keluargaku menjadi lebih memikirkan persiapan untuk akhir kehidupan Papa. Seperti orang edan saja. Aku dan Mama sudah membelikan baju putih lengan panjang dengan dasi hitam kupu-kupu untuk Papa. Membelikannya satu setel jas dan celana panjang hitam, juga pakaian dalam, kaos kaki serta sepatu untuk Papa. Yang lebih nyleneh lagi, kami sangat kepikiran pada surga Papa. Setiap hari kami sediakan waktu khusus untuk berdoa bersama Papa. Doa apa saja, sebisa kami. Bapa Kami, Salam Maria dan Kemuliaan. Doa utama yang kami panjatkan dalam keseharian bersama linangan air mata. Selebihnya hanya doa-doa saat khusus saja yang kami unjukkan pada Allah. Kami hanya bisa menyerahkan Papa ke dalam tangan Allah Bapa yang Maha Kuasa, agar kehendakNya sajalah yang terjadi pada Papa. Bahkan yang paling ekstrim, kami telah memikirkan tanah makamnya. Akan kami makamkan dimana nantinya, termasuk langkah-langkah apa yang harus kami lakukan bilamana memang benar Papa berpulang. Tapi aku jadi lebih mencermati kondisi Papa. Melihat pertanda-pertanda pada diri Papa, dicocokkan dengan pertanda-pertanda kematian yang aku baca di internet. Dan ternyata pertanda itu meski hanya garis besar, tapi setelah kuamati, memang benar adanya.

Akhirnya kami bawa pulang Papa. Sedih dan cemas rasa di hati kami saat itu. Tapi kami sudah benar-benar pasrah pada Allah. Kamar Papa kami sulap jadi rumah sakit kecil untuk Papa. Ada tiang infus, kateter, suster yang menjaga 24 jam dan perawat senior rumah sakit yang memeriksa Papa 2 kali sehari, mengecek infus dan memasukkan obat-obat injeksi sesuai petunjuk dokter. Baru seminggu di rumah, ternyata kondisi Papa drop. Terpaksa Papa kami opnamekan lagi. Denyut nadinya hanya 60 denyutan per menit, lalu tekanan darahnya drop. Papa seperti kejang-kejang di perutnya. Kulihat perut Papa berdenyut-denyut.

 

BAB 7

CHRISTO MELIHAT BUKU KEHIDUPAN

Malam sebelum opname, Christo, anakku yang paling kecil bercerita padaku. Ia melihat ada orang berjubah hitam dengan tongkat ditangannya. Orang itu berdiri disamping Papa. Dan anakku melihat orang itu menghisap habis darah Papa. Bukan dihisap seperti vampire atau bagaimana. Tapi ia melakukannya dengan cara dihirup tanpa perlu melakukan kontak tubuh dengan Papa. 

Memang sebelum Papa dipulangkan dari rumah sakit, hampir selama 2 bulan itu Papa diberikan Albumin kurang lebih 1-3 flash, darah kurang lebih 4 kantong, berikut infus cairan Livamin 2-3 botol. Semua “penyambung nyawanya” itu hampir setiap seminggu sekali diberikan pada Papa. Karena setiap 5-7 hari setelah pemberian, kadar albumin Papa drop lagi. Demikian terus berulang hingga tanpa terasa sudah hampir 18 flash Albumin yang telah diberikan untuk Papa. Padahal harganya satu flash bisa mencapai dua juta rupiah. Belum darahnya yang setengah juta sendiri dan Livamin yang harganya sampai dua ratusan ribu per botolnya. Berikut obat-obatan injeksi dan oral yang harus Papa konsumsi. Jika tidak kami berikan, kadar albumin dalam tubuhnya berikut HB nya drop. Apalagi Papa terus diare tidak berhenti, kemampuan tubuhnya untuk meretensi cairan dalam tubuhnya menurun, nafasnya sesak, lemah dan lemas. Kami sungguh tidak tega jika tidak memberikan obat-obatan dan cairan itu..

Saat opname itu, kami berikan lagi penyambung nyawanya. Albumin, darah dan Livamin. Tapi, kali ini kadar albuminnya bukannya bertambah. Kadar albuminnya tetap dan tidak berubah. Sehingga akhirnya kami putuskan cukup satu flash saja pemberian albuminnya, sambil menunggu reaksi tubuhnya.

Setelah membaik, kami memulangkannya kembali ke rumah. Syukurlah, kami coba beberapa waktu tanpa diberikan albumin, darah dan livamin, ternyata kondisi Papa masih cukup stabil. Sementara itu, firasat tak henti-hentinya mendatangi. Christo, anakku yang terkecil. Di usianya yang masih belum lima tahun, dia menceritakan bahwa ia melihat sebuah buku besar. Setinggi rumah kami. Menurutnya, buku yang ia lihat adalah buku kehidupan Engkong. “Hantu hitam” demikian Christo menyebut sosok itu, sebelum menemui Engkong, dia melihat buku itu terlebih dahulu. Christo melihatnya, lalu ada yang tahu. Tapi tidak terlihat dalam visinya. Hanya ada suara yang menghardiknya untuk kembali. Christo bercerita kalau setelah itu “ia kembali”. Ketika kutanya apakah dia tahu isi buku besar itu mengenai apa, sayangnya Christo bilang tidak bisa baca....wkwkwkwkw... Aku lupa kalau dia masih belum bisa baca...

BAB 8

CHRISTO BERTEMU MALAIKAT PENCABUT NYAWA

Banyak firasat yang hadir melalui Christo. Bahkan ia sudah 3 kali bertemu dengan Izroil. Christo selalu berbisik-bisik menceritakan padaku mengenai kehadiran Izroil. Juga sosok-sosok yang lain. Sampai suatu saat, saat kali ketiga ia melihat Izroil datang lagi, ia begitu ketakutan. Yang aku heran, kami berada di kamar. Sedangkan Papa di kamar depan. Tapi Christo menutup mukanya dengan kedua tangannya sambil ketakutan. Ternyata Christo dapat melihat menembus tembok. Ia melihat Izroil lagi. Lagi-lagi ia melihat sosok berjubah hitam itu sedang menghirup zat-zat yang ada pada Papa. Christo ceritakan semua itu dengan bisik-bisik. Setelahnya, Christo menikmati lagi tayangan televisi favoritnya. Tapi, aku terkejut mendengar kata-kata yang meluncur dari bibir mungilnya dengan nada suara tenang dan datar. Sambil terus tidak berkedip melihat TV, dia bilang “Mama, yang jubah hitam tadi datang lagi. Dia muncul di TV. Dia bilang Christo gak boleh lagi cerita orang kalau dia datang lagi...”

Astaga.. aku speechless..

Christo memang seperti jadi mediator di antara kami dengan Papa. Dia banyak memberikan firasat. Termasuk saat kami terlalu sibuk bekerja. Tiba-tiba saja Christo dengan suara datar dan tenang, masih sambil melihat televisi juga, berkata padaku “Jangan pergi-pergi.. Engkong minta ditunggui dan didoakan”. Ya Allah, saat itu menelusup rasa bersalah pada Papa. Sebenarnya sejak akhir April 2014 itu, kami curahkan hampir seluruh waktu kami untuk Papa. Terutama Mama. Tapi, akibatnya Mama jadi ada gangguan pada jantungnya. Semua karena kelelahan dan rasa sedih melihat Papa sakit. Sejak itu, Mama tidak kuijinkan menginap di rumah sakit. Jam 21.00 WIB biasanya sudah kuajak pulang agar bisa beristirahat dan suster pribadi Papa menjaga sendirian di rumah sakit. Dan ketika Papa sudah pulang, sudah kami rawat sendiri dengan bantuan suster pribadi, kami selalu menungguinya. Hanya saja saat terakhir itu kami benar-benar sedang sibuk bekerja, karena kami ingin mendapatkan pengobatan terbaik untuk Papa.

Seperti biasa, setiap hari aku selalu menyapa Papa dan mengajaknya bicara serta mendoakannya. Tapi entah beberapa minggu sebelum Papa berpulang pada Bapa di Surga, aku tidak berani mendekat. Mendekatpun tak bisa lama-lama. Ada sesuatu yang aneh dalam perasaanku. Dan anehnya, Mama juga merasakan perasaan yang sama.

BAB 9

KE AWAN BERSAMA BIDADARI

Suatu saat aku tidur dan dalam tidurku aku bermimpi berada di atas awan. Ada seorang wanita yang berbaju putih, bertubuh langsing, dengan tinggi yang tidak wajar yang meskipun tidak berbicara, tiba-tiba ia menyuruhku mengikutinya. Aku mengikutinya berjalan. Yang aneh, ia bisa membelah awan, membukanya dengan kedua tangannya dan menyibaknya hingga terlihatlah jalan untuk dilewati. Hingga akhirnya aku tergoda juga untuk mencoba menyentuh awan. Awan itu begitu lembut, putih. Lunak tapi berbentuk. Gemas sekali menyentuhnya.. aku tak mampu menggambarkan seperti apa awan itu. Kucoba melakukan seperti yang dilakukan wanita itu. Tapi tidak bisa. Awan yang kucoba buka, ternyata malah tercuil. Tapi ternyata awan yang kucuil itu bisa disatukan kembali. Dalam mimpi tersebut, wanita itu mengajakku masuk dalam sebuah ruangan di dalam awan. Aku melihat sebuah ruangan berwarna putih. Didalamnya terdapat perabot serba putih, bergaya Eropa klasik. Megah dan indah. Sepertinya dia berkata bahwa itu ruangan yang disediakan untuk Papaku. Setelahnya, aku baru tersadar, wanita itu adalah bidadari....

Papa berada dalam kondisi yang tidak baik. Nafasnya berat dan sesak. Kami opnamekan lagi Papa di salah satu rumah sakit swasta. Nafasnya yang seperti itu membuat kami tidak tega. Mulai ada gejala kesulitan menelan. Dan kami tahu Papa sangat menderita. Perlahan-lahan nikmat Allah kepada Papa diambil lagi satu. Papa tidak bisa lagi menelan bubur tepung berasnya yang sudah sangat halus. Seharusnya Papa disonde. Tapi kami berjuang agar Papa tidak disonde. Papa sudah menderita dan disonde itu menyakitkan. Akhirnya sebagai solusi, Papa tidak disonde. Hanya saja susu khusus untuk sonde itu disuapkan perlahan-lahan. Cukup lama dan perlu ketelatenan untuk memberikannya, meski hanya segelas untuk setiap kali makan.

Di rumah sakit ini, firasat semakin keras bergulir. Saat aku tidur di rumah, aku bermimpi melihat Papa tidur di tempat ia opname saat itu. Lalu ada kulihat anak kecil perempuan berbaju putih yang duduk di bawah lantai, memunggungiku. Sibuk sendiri. Entah apa yang ia lakukan.. Kulihat Papa tidur dan ada asap putih yang keluar dari jari-jari kaki Papa. Setelah itu, aku terbangun. Lalu tidur lagi.. Dan saat tertidur kembali itu, aku alami mimpi lagi yang aneh. Aku melihat rumah sakit itu begitu sepi dan pertigaan lorong didekat lift gelap gulita. Rasanya begitu mengerikan. Entah, apa arti mimpiku itu.

 

BAB 10

PAPA PAMIT MAMA

Beberapa hari setelah mimpiku itu, gantian Mama yang mendapat firasat. Mendadak Mama menangis dan marah dalam tidurnya. Ternyata Mama mimpi Papa pamitan mau pergi. Dia bilang ingin ikut anak kecil perempuan yang “elok” itu. Demikian Papa menyebutnya. Anak kecil itu bersama seorang wanita (Entahlah mengapa hatiku berkata dia bidadari yang kulihat dalam mimpiku). Lalu Mama marah-marah dan menangis dalam tidurnya. Mama dengan kesal menyuruh Papa pergi.

Setelahnya, Mama dan aku memutuskan bahwa kami harus ikhlas. Kondisinya sudah berat dan benar-benar sudah terasa dekat “saatnya”. Aku mendesak Mama untuk mengatakan kepada Papa jika Papa mau pergi, kami ikhlas. Mama tak pernah tega untuk mengatakannya. Selama 41 tahun mendampingi Papa dengan setia, hidup Mama sudah didedikasikan untuk Papa dan kami. Ia adalah Mama yang penuh cinta dan semua kehebatan seorang Mama ada padanya. Ia selalu berusaha yang terbaik untuk kami. Dan karenanya Mama tidak sanggup untuk mengatakannya pada Papa. Mama hanya sanggup mengatakan bahwa Mama mengampuni semua kesalahan Papa; bahwa Mama, anak-anak, serta seluruh cucunya sangat menyayangi Papa. Bahwa aku dan kakakku akan mengasihi, menjaga dan merawat Mama. Sehingga tak ada yang perlu Papa khawatirkan lagi.

Hanya itu batas kesanggupan Mama untuk mengatakannya pada Papa.

Mungkin saja aku dianggap kurang ajar. Mungkin aku dianggap tidak sopan. Tapi, aku tidak tega melihat Papa yang terus berjuang meski kami semua tahu bahwa kondisi tubuhnya tak kuat lagi. Kuberanikan diri dengan suara yang terbata-bata.. saat suster Papa tak ada disitu.. saat aku biasa mengajaknya berdoa.. Kuselipkan kata bahwa kami semua menyayanginya. Semua saudara, anak, istri, cucu, kawan-kawannya begitu perhatian kepadanya selama ini. Aku pun membuka satu rahasia yang selama ini sudah hampir dua tahun selalu kami simpan, aku jujur katakan bahwa sahabatnya yang juga tetanggaku sudah meninggal dunia hampir 2 tahun lalu. Itu kenapa sahabatnya tak pernah datang menjenguk.. Lalu aku ceritakan bahwa Papa adalah idola anak-anakku. Papa suka menggendong Christo untuk melihat air mancur diseberang jalan. Melindungi Albert saat diganggu Kakak Hans. Mengajak Hans kemana-mana dengan sepeda motornya. Menyayangi, mengasihi dan memperhatikan anak-anakku. Aku berterima kasih atas semua daya upayanya pada kami. Aku katakan bahwa kami sangat bersyukur karena Papa dan Mama telah menjadikan kami sampai seperti ini. Kukatakan betapa kami menyayanginya dan berusaha keras untuk memberikan yang terbaik saat Papa sakit. Aku yakinkan Papa bahwa Mama dan anak-anak dapat kujaga dengan baik. Tak ada yang perlu Papa khawatirkan. Kalau Papa sudah tidak kuat, Papa pergi saja tidak mengapa. Kami ikhlas demi kebaikan Papa.

Aku mengatakannya dengan terbata-bata dan airmata yang mengalir deras.. Setelahnya Papa seperti berfikir. Ia lebih banyak terpejam, tidur. Daripada melek dan berinteraksi dengan kami. Lagi-lagi ada rasa bersalah yang menelusup dalam hatiku. Apa Papa sedih atau bagaimana dengan kata-kataku itu. Hampir dua minggu Papa opname disana. Aku masih ingat saat itu. Ada satu berita di Jumat pagi dan siangnya yang membuatku tak pernah melupakan hari itu. Hingga akhirnya aku tak kuasa lagi berjuang dan tak bisa lagi mencegah airmata Mama. Aku bergetar. Diriku penuh kemarahan. Disaat Papaku sedang bertaruh nyawa...! Kusebut nama Allah, kuserahkan semua dalam tanganNya. Hari itu adalah hari dimana aku membiarkan Allah bekerja. Meletakkan seluruh harapan, luka, amarah dan seluruh daya upaya dalam kepasrahan Illahi. Tapi menyakiti hati, menyedihkan dan membuat kedua orang tua terluka itu benar-benar menyakitkan. Aku tahu, Allahku adil. Ia yang mengubah hitam menjadi putih. Ia yang meletakkan segala hal sebagaimana mestinya. Aku percaya itu. Dan aku harus tetap teguh dalam iman kepada Allah Bapa. Lalu di Jumat sore itu, dengan segala pertimbangan dan dengan ijin Mama, Papa kami bawa pulang.

Papa tak lagi bisa makan. Sehingga kegiatan kami hanya berkelana dari apotik yang satu ke apotik lain. Mencari obat dan susu khusus Papa. Susu papa tidak mudah ditemukan. Tapi tidak ada pilihan, karena perut Papa tidak tahan dengan merek lain. Tidak mengapa, asal Papa masih bisa mengkonsumsinya, kami tidak menyerah untuk terus mencari susu khusus Papa. Sementara rumah sakit kecil di ruangan Papa berjalan lagi, kamipun melakukan aktifitas sebagaimana biasa. Ketika itu, suster Lasmi, suster Papa pamit pulang untuk dua hari. Dan kamipun memanggil suster yang pernah menjaga Papa. Biasanya Papa senang dijaga suster ini. Tapi ternyata Papa tak begitu bersemangat melihatnya. Malah nampak kehilangan suster Lasmi.


 BAB 11

SAKARATUL MAUT

Saat itu Hans sedang dalam minggu ujian. Aku berkonsentrasi mengajari kakak. Seperti biasa aku persiapkan anak-anakku sekolah dan mengantarkan mereka ke sekolah. Saat masih di depan rumah, tiba-tiba Christo berbicara padaku “Ma, Christo khawatir Engkong bisa meninggal...”. Aku tidak begitu pedulikan kata-katanya. Tapi tetap kuperhatikan dengan menanyakan alasannya mengatakan demikian. Kata Christo, dia melihat banyak “nyamuk” yang menarik-narik sesuatu dari tubuh bawah Engkong,  ke arah tubuh atas. Dan Christo katakan bahwa darah Engkong banyak. Yang ditarik itu sudah sampai ditenggorokan Engkong katanya.

Hmmm... agak terkejut juga dengan cerita penglihatan Christo. Karena dari apa yang pernah aku baca saat Googling, begitulah cara Izroil mencabut nyawa. Ada banyak malaikat-malaikat kecil yang membantunya menarik nyawa orang yang akan meninggal, dari bagian bawah tubuh hingga sampai ke bagian atas tubuh. Dari yang kubaca, saat paling menyakitkan itu adalah saat nyawa telah berada di tenggorokan. Di saat itu orang yang akan dicabut nyawanya akan merasa sangat kesepian dan benar-benar sendiri. Rasa sakitnya amat tak terperikan. Meski dicabut nyawanya secara lembut, tapi rasa sakitnya bagai 300 kali hujaman belati...! Ya Allah... Aku kepikiran dengan ucapan Christo. Memang saat kami membawa Papa pulang itu kondisi Papa tidak bagus. Dan saat Christo bercerita itu, memang nafas Papa begitu berat. Seperti sudah sampai di tenggorokan. Selama ini, kalau Papa sesak, langsung aku persiapkan meramu obat nebulizernya. Biasanya diuap 2-3 kali saja Papa sudah lebih baik kondisinya.

Hari itu kami beraktifitas seperti biasa. Kesibukan kami mempersiapkan banyak hal sangat menyita waktu dan perhatian. Waktu itu jam 14.00 WIB setelah bekerja, aku ajak anak-anakku pulang. Badanku lelah dan sedang tidak enak badan. Jadi, begitu sampai rumah aku langsung rebahan sebentar. Belum 15 menit sejak kami pulang ke rumah, tiba-tiba aku mendengar teriakan dan jeritan. Astaga! Dheggggg! Hatiku langsung runtuh dan jantungku berdetak sangat kencang. Papa!

“Mama...!!!! Engkong...!!!!” teriak Hans sekeras-kerasnya. Kudengar teriakan, jeritan dari suster dan Hans anakku yang pertama. Suster sedang mengguncang-guncang Papa. Muka Papa tiba-tiba tertarik semua kesatu arah. Bibirnya menguncup. Kulihat keningnya berdenyut-denyut. Ada cairan busa putih keluar dari mulut Papa. Matanya juga sudah tidak ada eye contact dengan sekelilingnya. Kulihat Papa sangat berusaha keras untuk menarik nafas. Nafasnya sudah dileher. Urat-urat dilehernya sedemikian tegangnya. Berusaha menarik nafas.

Aku panik. Aku tahu ini saatnya. Hatiku seperti kosong. Ada satu ruang dalam hatiku yang-tiba-tiba melompong. Yang kuingat selama ini hanya satu. Jika tak dapat menyelamatkan nyawanya, aku harus menyelamatkan surganya. Kuelus-elus rambut Papa dengan lembut. Kuatur nada suaraku agar terdengar tenang. Untuk itu aku bertarung keras dengan gemuruh hati dan airmata yang kutahan. Dengan bergetar, aku bilang pada Papa.. “Papa..tenang ya Pa. Papa tidak sendiri. Papa punya Allah. Papa punya Mama, Ivone, Mbak Jeanie dan cucu-cucu Papa yang sangat menyayangi. Sekarang Papa ta bimbing berdoa ya...”

Lalu meluncur keras-keras dari mulutku, doa Bapa Kami, Salam Maria dan Kemuliaan. Doa-doa itu terus aku dengungkan sambil kuelus-elus rambutnya dengan penuh rasa sayang. Tidak lupa aku berikan hapeku ke Hans. Kuminta dia untuk menelepon Mama supaya mendatangkan ambulance dan Mama segera pulang. Suster Papa kuminta untuk menyiapkan apa saja yang diperlukan untuk dibawa ke rumah sakit.

Aneh. Airmataku tiba-tiba kering. Padahal biasanya setiap aku berdoa untuk Papa, saat disampingnya aku selalu menangis. Setiap hari aku selalu curhat pada Papa. Menceritakan tentang kesedihanku, kegalauanku. Selama ini selalu aku ulang-ulang segala kebaikan Papa yang telah ia lakukan untuk kami. Segala kehebatannya di mata kami, semua kiprahnya selama ini. Aku tekankan bahwa kami sangat berterimakasih untuk semua jerih payah dan perjuangannya. Bahwa dia hebat dan sangat berarti untuk kami. Bahwa kami takkan pernah meninggalkannya. Sampai titik terakhir garis hidup Papa, kami akan selalu ada. Mencintainya dengan ketulusan tanpa pamrih.

Bagaimana airmataku biasanya luruh tak mau berhenti, meminta maaf karena tak mampu melakukan dan memberikan yang terbaik untuk Papa. Meminta maaf atas segala keterbatasanku dan Mama dalam merawatnya. Sungguh, andai aku bisa melakukan yang lebih dari ini. Sakit rasa hatiku saat tak mampu berikan yang terbaik untuknya. Selama ini nyawa Papa kami utamakan. Apa saja kami lakukan untuk Papa. Meski kadang harus berbenturan. Dan aku harus menerima kenyataan pahit dari perjuanganku sebagai seorang anak untuk menyelamatkan nyawanya. Sungguh, ini ironis. Hati ini kadang menangis, tapi bagaimana lagi. Kami harus tegar dan kuat. Kami yakin bahwa nyawa itu harus dipertahankan sebisa mungkin. Dengan usaha terbaik yang kami bisa. Kalau kami tak melakukannya, kami sama saja dengan membunuh Papa yang tidak berdaya. Hanya Allah yang berhak mencabut nyawanya.

Melihat kondisi Papa yang sudah seperti itu. Aku tahu. Papa sedang sakaratul maut. Tak ada jalan lain kecuali membimbingnya menghadapi dalam doa. Teringat akan hasil browsingku di Google mengenai tanda-tanda sakaratul maut. Aku melihat Papa sedang mengalami salah satu tanda itu. Denyutan di keningnya. Itu salah satu tandanya.

Kakak Hans begitu pandai. Ia menyiapkan segalanya. Mulai dari mengabari Mamaku agar memanggil ambulance dan segera pulang, membuka pintu, menyiapkan jalan untuk lewatnya tandu atau tempat tidur ambulans yang akan masuk. Ia sibuk mempersiapkan itu semua. Puji Tuhan anakku sangat mengerti dan pandai. Lalu ketika hanya aku, Albert dan Christo saja yang ada disamping Papa, doaku itu rupanya membuat anak-anak semakin hanyut dalam perasaan takut kehilangan Engkongnya. Tiba-tiba Albert mendekati Engkong. Ia menangis keraaaaaas sekali. Sambil berteriak memanggil-manggil Engkongnya.... dan Christo juga ikut menangis keras. Saat mereka menjerit-jerit memanggil Engkongnya dan memohon agar jangan meninggalkan mereka, tiba-tiba kulihat satu gerakan pada Papa. Dan tiba-tiba nafasnya jadi lebih ringan dan mulai kembali seperti sebelumnya. Mulai ada eye contact. Papa bisa mengenali sekelilingnya lagi. Ya Allah... hatiku sedikit lega. Tapi masih cemas. Rupanya tangisan anak-anakku membuatnya belum ikhlas untuk pergi. Ia berjuang untuk kembali demi anak-anakku yang Papa cintai.

Meskipun Papa sudah sedikit membaik. Tapi tetap kami bawa ke rumah sakit dengan ambulans. Di tengah jalan, Papa muntah-muntah. Muntahannya hitam. Cukup mencemaskan. Sesampainya di rumah sakit, Papa diperiksa di UGD. Semua nampak baik. Sebenarnya tidak begitu baik, tapi itu kondisi yang terbaik selama beberapa jam ini.

Sayangnya, ruangan ICU di rumah sakit ini penuh. Demikian pula dengan rumah sakit satunya. Akhirnya kami putuskan Papa untuk dirawat di ruangan biasa saja sambil menunggu ruangan ICU ada yang kosong. Meskipun kami cemas, tapi kondisi Papa sedikit lebih membaik. Akhirnya tengah malamnya kami pulang. Suster Papa yang jaga.

Dirumah, pikiran kami sudah tidak karuan. Tetap saja tanpa ruangan ICU tidak akan bisa pantau kondisi Papa dengan lebih total. Nafasnya masih seperti itu, padahal sudah dinebulizer. Besoknya, Mama kuantar ke rumah sakit untuk menjaga Papa. Sedang aku sendiri, baru menemui Papa setelah menjemput Christo anakku. Tadinya aku tidak begitu mengerti cerita susterku. Dia cerita bahwa salah satu handphone nya tiba-tiba rusak. Sama sekali tidak bisa digunakan. Hang.. Padahal sudah coba diutak-utik, direstart, bahkan sudah dicoba ganti kartu. Sehingga saat Papa kondisinya cukup berat, ia tidak bisa mengabari kami. Ternyata saat kami tinggal pulang, Papa juga sempat sesak nafas berat. Mirip kondisi seperti sakaratul maut kemarin, tapi hanya sebentar. Untunglah hanya sebentar saja dan Papa tidak apa-apa.

Seperti biasa, kubimbing Papa berdoa. Enam puluh dua tahun Allah berikan kegembiraan, kebahagiaan dan kesehatan. Hanya dua tahun Papa sakit seberat ini, hendaknya jangan membuat Papa marah dan membenci Allah. Selama waktu itu, begitu sibuknya Papa. Kini Allah ingin Papa bicara hanya padaNya. Dalam hening. Kuminta Papa untuk ikhlas.

“Papa.. Papa harus ikhlas. Kita hanya milik Allah. Tidak ada satupun dari tubuh ini yang kita punya. Bahkan rasa sakit ini... Rasa sakit ini pun milik Allah. Ivone tahu.. Ivone mengerti. Rasa sakit yang Papa rasakan amat sangat. Diluar batas kemampuan manusia untuk menahan. Papa, Allah tahu penderitaan Papa. Mudah-mudahan dengan keikhlasan Papa jalani ini semua, Allah berkenan mengampuni seluruh dosa Papa.... Jangan ada lagi yang Papa fikirkan. Ivone sanggup dan mampu menjaga Mama. Menjaga anak-anak. Mbakku beserta anak-anak dan suaminya dan seluruh saudara Papa juga sangat menyayangi Papa. Walaupun mereka tidak ada disini, mereka selalu perhatian sama Papa. Menanyakan kabar Papa, kirim team doa untuk datang mendoakan Papa, bolak balik datang kesini untuk tengok Papa. Disyukuri ya Pa.. Banyak orang sakit tidak mampu berobat, tidak ada keluarga yang mendampingi dan memperhatikannya. Tapi Papa? Papa masih dirawat, diobatkan, dijaga dan diperhatikan. Papa sekarang masih dirawat di rumah sakit, di samping Papa ada Mama, Ivone, cucu-cucu Papa.. Itu karena kita semua sayang Papa. Disyukuri ya Pa. Sampai dalam kondisi Papa tidak berdayapun, Papa masih dikelilingi orang-orang yang menyayangi Papa....”

Terus kubimbing Papa berdoa dan bersyukur. Seberat apapun kondisinya. Meski airmata ini tak pernah bisa kutahan, terus mengucur deras. Tapi aku tahu Papa tahu bahwa kami menyayanginya. Meski ia tak mampu bicara, sorot matanya mengucapkan terima kasih atas cinta kami. Apapun kami lakukan untukmu, Pa...


BAB 12

INIKAH SAATNYA...?

Saat itu, Mama dan aku cukup khawatir dengan kondisi Papa. Lalu kami berembuk dan ingin mencoba mencari ruang ICU lagi di rumah sakit lain, karena Papa tidak juga mendapatkan ruang ICU di rumah sakit yang sekarang. Ruang ICU nya masih penuh. Kemudian, kami teringat pak Fauzi. Perawat senior rumah sakit y ang setiap hari datang untuk mengecek kondisi Papa, mengurusi infus dan memberikan obat-obatan injeksi. Syukurlah, sepertinya ada tempat di ruang ICU nanti. Sudah ada pasien ICU di rumah sakit itu yang sudah boleh pindah ke ruangan. Untuk itu kami harus segera memindahkannya kesana.

Sebenarnya kami tidak tega membawa Papa kesana kemari apalagi dengan kondisi seperti itu. Tapi Papa memerlukan pantauan yang lebih intensif. Langsung Mama dan suster menyiapkan kepindahan Papa. Waktu itu sudah sore. Hampir jam 15.00 WIB. Akupun pulang dulu sambil membawa ketiga anakku. Hans waktu itu sedang ujian. Setelah anak-anak selesai kuurus dan kubawakan buku Hans untuk belajar, kami kesana. Aku datang sebelum maghrib.

Sambil menunggu ruang ICU ada yang kosong, sementara Papa kami masukkan ruangan dulu. Puji Tuhan, Papa dapat ruangan yang baru selesai dibangun. Jadi, design ruangan dan barang-barangnya pun masih baru. Tapi aku kaget dengan kondisinya. Kenapa Papa tidur terus. Kenapa Papa nampak berbeda. Kadang-kadang Papa juga begitu. Tapi kali ini, perasaanku sangat tidak enak. Tidurnya Papa agak berbeda bagiku. Dengan kondisi nafasnya yang berat. Aku melihat otot-otot lehernya menegang. Seperti berat sekali untuk mengambil nafas. Nafasnya sudah di tenggorokan.

Kucoba untuk memanggil-manggilnya. Tapi Papa diam saja. Lalu aku membimbingnya untuk berdoa lagi. Aku tahu, Ia mendengarku. Segera aku mendoakannya lagi. Kubisikkan kata-kata semangat di telinganya. Hati ini tidak karuan melihat kondisi Papa. Anak-anak berisik sekali. Aku tidak bisa khusyuk berdoa.

Tiba-tiba aku punya ide untuk memperdengarkan lagu-lagu rohani untuk Papa. Kucoba untuk download lagu-lagu rohani. Aku berharap lagu-lagu itu dapat menggugah kesadarannya kembali. Ada 4 lagu yang berhasil kudownload di samping Papa. Begitu kuperdengarkan di telinga Papa, aku melihat ada reaksi di otot-otot lehernya. Sepertinya ia ingin menanggapi dan menunjukkan reaksinya. Aku tahu Papa berjuang keras untuk itu. Disaat itu pula aku menangis dengan begitu sedihnya. Aku hanya bisa berkata... “Papa, Papa ngga apa-apa kalau Papa mau pergi sekarang.... Ivone minta maaf Pa... maafin Ivone, maafin anak-anak Ivone... Maafin Ivone belum bisa menyenangkan hati Papa. Maafin Ivone yang nggak bisa mengusahakan yang terbaik untuk Papa...” tangisanku begitu pedih.. Mama mengelus-elus rambutku. Ia membesarkan hatiku... “Biarkan Von.. Jangan berati jalannya dengan airmata. Bantu Papa dengan doa...”

Saat itu pula aku berkomunikasi dengan keluarga Papa. Aku mohon maaf bila selama ini Papa ada kesalahan terhadap mereka. Juga mohon doa untuk Papa. Kusampaikan kondisinya sudah sedemikian berat. Mohon diikhlaskan. Demikian pula Mama. Sudah meminta maaf barangkali ada kesalahan Papa selama ini ke saudara-saudaranya.

Tak lama setelahnya, dokter datang visite. Setelah melihat tanda-tanda vital Papa yang menurun, perawat mencoba menggoyang-goyangkan badan Papa. Mencubitnya keras-keras berkali-kali dan mencoba memanggil-manggilnya. Tapi Papa tidak ada reaksi. Kembali kelopak mata Papa dibuka, disenteri, dan tidak ada reaksi. Maka dokter sampaikan kalau Papa mulai masuk dalam fase dimana Papa sudah koma. Airmata ini mengalir sedemikian derasnya.  Aku tahu... saatnya semakin dekat...

 

 BAB 13

ENERGI SANGAT BESAR DISEKITAR PAPA

Saat menemani Papa di rumah sakit, aku jadikan foto Papa saat itu sebagai profile picture di akun BBM ku. Kutulis status bahwa Papa telah memasuki masa tidur panjangnya.. persiapan masuk ICU. Tidak berapa lama, beberapa sahabat mempertanyakan statusku, menanyakan kondisi Papa, memberiku semangat dan mengirimkan doa-doa untuk Papa. Sempat kubalas BBM mereka dan sambil berkomunikasi dengan mereka, aku putarkan lagu-lagu rohani untuk Papa. Tapi menjelang Papa masuk ruang ICU, hape androidku itu tiba-tiba hang. Semua tombol dan touch screennya tidak mau respon. Karena baterainya inject, aku tidak bisa mematikannya. Terpaksa satu-satunya solusi hanya menunggu batere habis supaya bisa direstart.

Akhirnya Papa dipindahkan di ruang ICU di lantai 4. Sebelum dipindahkan, aku masih bisikkan pada Papa, kalau Papa tidak sendiri. Kami akan bergantian menjaganya walau tidak boleh di dalam nantinya. Aku bisikkan agar Papa berdoa dalam hatinya. Aku katakan aku tahu Papa bisa mendengarkanku. Allah Bapa mengasihi Papa. Ia akan menjaga dan mengirimkan Roh Kudus dalam hati Papa. Kumohon agar Papa tenang dan terus menyebut nama Allah Bapa. Dan setelahnya, Papa tidak boleh ditunggui di dalam ruang ICU. Kami menungguinya di luar.

Berhubung kami hanya bisa menunggu di lantai dan ketiga anakku ikut, apalagi Hans besok masih ada ujian, maka kami disuruh Mama untuk pulang. Di perjalanan pulang, perasaanku sangat sedih. Sambil menyetir, airmataku terus mengalir. Tak berhenti kupanjatkan doa untuk Papa. Entahlah, aku kepikiran sekali. Sebenarnya aku ingin menemani Papa di rumah sakit dan bisa berdoa dekat Papa. Tapi aku tidak tega dengan ketiga anakku. Sesampainya di rumah, hapeku masih belum juga mau digunakan. Tak ada satupun tombol, termasuk layar sentuhnya yang mau respon. Akhirnya kugeletakkan saja di kamar. Kesal, sedih, cemas, takut..semua bercampur menjadi satu. Aku sungguh merasa tak berdaya…

Malam itu, perasaanku bercampur aduk tidak karuan. Sudah tidak konsen lagi untuk memikirkan hal-hal lain. Dalam fikiranku hanya Papa, Papa dan Papa. Aku mohon Tuhan.. Jangan biarkan Papa sendiri. Dampingilah Ia selalu.. Ampunilah dosa-dosanya... Ringankanlah bebannya, angkatlah segala rasa sakitnya... Jika ini memang sudah akhir hidup Papa, aku mohon agar jangan Engkau sakiti Papa. Cabutlah ruhnya perlahan-lahan...sehalus dan selembut mungkin... Jangan biarkan Papa kesakitan saat itu semua terjadi. Aku mohon Tuhan.. Hanya Engkaulah pemilik segala kehidupan..

 

BAB 14

SELAMAT JALAN PAPA...

Keesokan paginya, aku kesiangan. Cepat aku siapkan bekal untuk anak-anak dan seragam sekolahnya. Hari itu, Jumat. Tanggal 12 September 2014. Satu per satu anak kubangunkan dan kusuruh mandi. Hans dan Christo belum mau bangun. Albert rajin. Dia sudah mandi duluan. Kebetulan kamar Papa dekat dengan kamar mandi. Lalu selesai mandi, saat Albert berpakaian, ia cerita kalau kelihatan Engkong berdiri di kamarnya dan mengajaknya bicara.

“Ma, tadi ada Engkong disitu..” kata Albert sambil mengancingkan baju Pramukanya. “Oya?” aku hanya menanggapi sekedarnya sambil menyiapkan bekal anak-anak.

“Iya Ma, beneran. Engkong ngajak ngomong Albert.”

“Engkong ngomong apa, sayang?”

“Engkong bilang kalau mau pergi jauh... Albert jaga diri baik-baik...”

Degg... jantungku langsung berdenyut lebih kencang. Kulihat saat itu pukul 06.10 WIB

Setelah itu kakak Hans kubangunkan lagi. Akhirnya bangun juga. Tiba-tiba Hans bercerita kalau mimpi bertemu Engkongnya.

“Ma, kakak mimpi didatangi Engkong. Engkong pamitan mau pergi jauh. Terus, Engkong bilang Hans supaya jaga keluarga dan jaga diri baik-baik...”

Kulihat jam sudah jam 06.15 WIB saat Kakak bercerita. Perasaanku semakin tidak enak. Firasat yang sama. Papa berpamitan ke anak-anak. Adakah ini pertanda Papa akan “pergi”?

Lalu kusiapkan Christo dan kupasang perlengkapan Pramuka Hans dan Albert. Saat itu jam menunjukkan pukul 06.25 WIB. Tiba-tiba hapeku yang lain dan tidak hang berdering. Segera kuangkat. Ternyata Suster Lasmi. Dia menyuruhku segera ke rumah sakit. Aku katakan kalau aku memang mau ke rumah sakit, tapi setelah mengantar anak-anak sekolah. Setelah telepon ditutup, aku menyiapkan tas anak-anak. Sudah hampir berangkat. Sekitar pukul 06.35 WIB, Mama menelepon. Menanyakan apa aku sudah berangkat, anak-anak bagaimana, bagaimana bekalnya dan beberapa pertanyaan sederhana. Kuceritakan penglihatan anak-anak. Mama mendengarkannya dengan seksama.Tapi, begitu telepon sudah mau ditutup. Tiba-tiba Mama berkata... “Papa sudah meninggal, Von..”

Seketika semua seperti hening. Begitu sepi dan sunyi rasanya sekelilingku. Tiba-tiba aku menjadi ringan, perasaanku menjadi sedemikian datar dan kosongnya... “Jam berapa Papa meninggal, Ma?”

“Papa meninggal tadi jam 06.20 WIB. Barusan.. Jadi, Mama tadi dipanggil suster untuk ambil obat segera di apotik. Baru jalan, sampai depan lift, Mama dipanggil. Katanya tidak usah. Papa memburuk. Rumah sakit sudah berupaya. Sampai berikan suntikan juga di jantungnya, tapi Papa tidak bisa diselamatkan lagi. Waktu itu, mesin masih menunjukkan ada denyut jantung. Tapi Papa sudah seperti tidak bernafas lagi. Sementara di layar monitor angka-angkanya semakin menurun. Mama terus disamping Papa. Mama bilang ke Papa, Papa pergi saja kalau memang sudah mau pergi. Aku tidak apa-apa. Anak-anak jaga aku.. Terus Mama doakan. Setelahnya, denyut jantung di layar monitor flat.... Papa sudah tidak ada..”

Ugh... ternyata penglihatan anak-anak benar. Sebelum pergi, Papa sudah berpamitan ke anak-anakku. Sedemikian cintanya Papa pada anak-anakku. Bahkan disaat meregang nyawa.. saat akan meninggalkan dunia ini, masih berpamitan pada mereka. Puji Tuhan, disaat Papa meninggal, ada Mama disampingnya. Masih bisa memberikan kata-kata terakhir dan mendoakannya. Itu yang membuatku lega dan ikhlas.

Setelah Mama telepon, aku beritahu anak-anak. Pecahlah tangis mereka. Engkong yang mereka kasihi kini telah tiada. Segera aku kabari sekolah anak-anak dan keluargaku yang lain. Suaraku bergetar dan airmataku baru bisa mengalir saat aku menyampaikan berita sedih itu.

Aku teringat untuk membawa setelan jas, sepatu dan hem putih Papa. Kubawa semua ke rumah sakit. Anak-anak langsung kubawa juga, masih dengan seragam Pramukanya. Begitu sampai, aku diajak masuk ruangan ICU. Kulihat Papa masih ditempat tidurnya. Terbujur kaku. Kain penutupnya dibuka... Papa begitu damainya.. Kucium keningnya untuk terakhir kali. Dingin sekali. Sungguh, tak ada air mata yang tertumpah saat itu. Hatiku pun menjadi beku dan dingin. Baru setelah kami keluar dari ruangan, airmata ini kembali mengalir.

Sahabat dan keluarga mulai berdatangan begitu mendengar kabar, tapi kami belum mendapatkan tempat persemayaman, karena satu-satunya tempat persemayaman di rumah sakit yang ada di Sidoarjo, masih ada yang sewa. Akhirnya kami putuskan untuk sehari saja titipkan sementara jenazah Papa di lemari pendingin di Adijasa. Tempat persemayaman yang ada di Surabaya. Lalu hari Sabtu pagi dibawa kembali ke Sidoarjo untuk disemayamkan.

Aku blank. Tidak bisa menyetir. Aku tidak bisa berpikir. Kasihan anak-anakku. Untung suster Papa dan keluargaku yang lain mau membantu menjaga anak-anakku. Demikian pula Mama. Kami berdua seperti kehilangan arah. Lelah, bingung, sedih. Sungguh sangat bersyukur keluarga dan sahabat-sahabatku penuh perhatian.

Sabtunya, jenazah Papa disemayamkan. Lalu langsung upacara tutup peti. Romo datang dan memimpin acara doa untuk Papa. Kami semua keluarga besar masuk dalam ruangan dan berdoa di sekitar peti Papa. Saat doa itu, seperti ada energi besar di belakangku. Aku seperti digoyang-goyangkan. Mama sampai mengira aku mau pingsan. Dan ternyata bukan cuma aku yang diguncang-guncang. Mama juga. Aku tahu itu bukan Papa. Sepertinya memang sudah ada didalam ruangan itu sebelumnya dan hendak menunjukkkan keberadaannya. Dalam ruang persemayaman itu ada kamar mandi dan ruang yang hangat untuk duduk. Tapi berikutnya, setelah kejadian itu, aku tidak berani didalam sana. Lebih baik duduk diluar.

Warga lingkungan Gereja di lingkungan tempat tinggal lama dan baru kami, amat sangat membantu. Betapa kami blank dan tidak mampu berfikir. Mereka selalu hadir membantu dan mendampingi kami. Demikian pula dengan Romo-romo di Gereja kami, selalu membantu kami. Semoga Allah Bapa membalas segala kebaikan mereka.

Tamu yang datang banyak. Saudara-saudara, sahabat-sahabat, rekanan, sejawat berdatangan. Terus mengalir tanpa henti. Kami bersyukur, untuk malam terakhir ada yang menyumbang soto untuk disajikan. Sumbangan soto tersebut diorder 150 mangkok ke perusahaan jasa penyelenggara acara kematian. Sore hari, petugas yang melayani order soto sudah siap, dari jasa katering rekanan penyelenggara acara. Tapi, menurut mereka, hanya diperintahkan untuk menyiapkan 130 mangkok. Hmmm... ya sudahlah. Ini toh sumbangan, kami tidak terlalu mempermasalahkannya. Hanya saja, tidak elok rasanya mengambil keuntungan secara tidak jujur. Apalagi dari orang yang sedang kesusahan.

Tamu yang hadir mengalir terus tanpa behenti. Mama dan aku bergantian menemui tamu-tamu dan menerima ucapan bela sungkawa. Sempat kami khawatir kalau soto yang disediakan ternyata tidak mencukupi. Apalagi dengan tamu sebanyak itu. Banyak diantaranya yang juga minta tambah. Kami senang bila mereka menyukainya dan ada rasa puas bila tamu-tamu yang datang dapat kami jamu dengan baik. Sampai malam, ternyata soto masih banyak. Sehingga Mama pun memanggil security dan kawan-kawannya di tempat persemayaman untuk ikut menikmati soto yang enak itu. Dan akhirnya, pukul 24.00 WIB, pihak katering sudah mau pulang. Kami diminta untuk memindahkan soto yang masih ada ke panci-panci kami sendiri. Dan ternyata, masih tersisa 2 panci besar yang masing-masing setinggi 30 cm, berikut satu panci setinggi 20 cm jerohan dan hati. Astaga... rasanya itu bukan 130 porsi. Bahkan saat itu kuundang security didaerahku juga untuk ikut makan soto. Sisanya, kami pakai untuk lauk besok pagi. Lumayan sudah tidak kepikiran sarapan untuk besok. Tapi anehnya, ternyata soto itu baru habis di hari Rabu. Padahal ada banyak orang yang makan soto juga di rumah. Aneh. Benar-benar tidak masuk di nalar. Tuhan memang Maha Tahu. Maha Berkuasa. Ia mengasihi dan menyayangi kami. Kalau begini, aku teringat kisah Yesus memberi makan lebih dari 5.000 orang hanya dari 5 roti dan 2 ikan hingga kenyang. Bahkan masih sisa 12 bakul penuh. Luar biasa...

Pada akhirnya semua memang harus kembali padaNya. Dan terkadang proses untuk kembali itu tidak mudah. Dan jika Tuhan sudah gariskan takdir kita cukup sampai disini, maka tak ada satupun yang bisa melawannya. Meskipun sudah diupayakan sedemikian rupa. Akan tetapi, apapun itu kondisinya, hal terindah untuk kami adalah kami sudah fight untuk memperjuangkan sisa usia Papa. Melakukan yang terbaik yang kami bisa. Meskipun dengan segala kekurangan.

Kini Papa sudah kembali ke Allah Bapa. Hanya doa-doa yang bisa kami panjatkan... agar Allah berkenan mengampuni dosa-dosanya, menerimanya dalam kehidupan kekal bersama Allah Bapa. Mohon agar Allah menerima segala keikhlasannya, ketabahannya selama sakit, semoga Allah mau menerima amal dan ibadah Papa selama ini..

Selamat jalan Papa tersayang....

 

AKU INI HAMBA TUHAN, TERJADILAH DALAM HIDUPKU SETURUT KEHENDAKMU.....



Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun