Mohon tunggu...
Ivan Reifaldi
Ivan Reifaldi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wajah Ganda di Balik Indahnya Negeri Laskar Pelangi (Belitung Bukan Bangka)

19 Agustus 2018   13:18 Diperbarui: 20 November 2018   03:06 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Related image | sumber foto: ilmugeografi.com

Siapa yang tidak tahu atau tidak pernah mendengar sebutan Laskar Pelangi, tentunya jika kita membayangkan dalam kepala kita, pantai yang indah adalah Laskar Pelangi. 

Ternyata suksesnya Film yang diangkat dari Novel Laskar Pelangi ini membuat daerah yang ada di dalam novel dan film ini menjadi terkenal. Pulau Belitung (bukan Bangka) adalah pulau dimana kisah Laskar Pelangi dimulai, pulau kecil yang berada di selatan sumatera, antara Sumatera Selatan, Pulau Bangka, dan Pulau Kalimantan.

Eksotisnya pantai dan bentang alam lainnya menjadikan pulau ini sebagai salah satu destinasi wisata unggulan di Indonesia ini. Pasir pantai yang putih dan batu-batu granit besar bekas peninggalan letusan dari gunung api purba jutaan tahun lalu, membuat orang-orang begitu penasaran ingin melihatnya secara langsung. 

Apa yang dikisahkan di dalam Film dan diceritakan dalam Novel itu adalah murni indahnya alam Pulau Belitung. Penduduk yang Mayoritas suku Melayu ditambah Tionghoa, Jawa, Madura, Bugis dan lainnya, menjadikan pulau ini juga salah satu tempat yang memiliki toleransi yang harmonis antar suku bangsa. Mata pencaharian penduduknya adalah kebanyakan bertani, menambang, karyawan/buruh swasta, dan juga perlahan sektor jasa di bidang pariwisata yang mulai muncul.

Petani di pulau ini dominannya adalah bertanam lada putih. Pulau Bangka dan Pulau Belitung yang satu Provinsi merupakan salah satu penghasil lada putih terbesar di Indonesia. Namun, harga yang kadang naik kadang turun membuat orang yang bertanam lada dilatih kesabarannya.

Sehingga hal ini menjadikan warga setempat beralih ke sektor swasta dan tambang. Padahal, menjadi karyawan swasta juga sangat memprihatinkan. Mereka biasanya hanya menjadi pekerja di tingkat bawah. Pribumi yang mendiami bumi yang kaya akhirnya menjadi budak juga di negeri sendiri. Harga sembako yang relatif mahal di bandingkan di Pulau Jawa membuat mereka harus putar otak karena kadang dengan gaji bulanan sebagai karyawan swasta itu belum tentu cukup untuk kebutuhan bulanan mereka.

Seperti di dalam novel dan filmnya, pulau Belitung juga kaya dengan hasil tambang. Tidak dapat dipungkiri kaya nya pulau ini tidak lepas dari tambang, yaitu Timah. Dari sejak era kolonial belanda, Timah Belitung sudah menjadi kebutuhan dunia. Setelah merdeka barulah Timah dikelola oleh BUMN yaitu PT.Timah.

Pada era orde baru, PT.Timah mencapai puncak kejayaannya, produksi Timah pada saat itu mengalami kenaikan pesat, karyawan yang bekerja di PT.Timah kala itu bisa dikatakan orang-orang borjuis, orang-orang berebut masuk untuk mengejar karir di PT.Timah. Namun menjelang berakhirnya orde baru raksasa Timah yang menguasai pulau Belitung anjlok seketika. 

PHK bertahap yang dilakukan oleh PT.Timah kepada karyawannya, membuat mimpi-mimpi karyawannya tak lagi terbeli. Orang-orang yang mengagung-agungkan PT.Timah dan timah kala itu seketika kehidupan mereka berputar 180 derajat. Alangkah sempitnya pola pikir orang-orang pada saat itu.

Lubang-lubang bekas galian tambang kini yang tersisa. Bukan sampai disitu saja kisah timah berakhir, setelah anjloknya PT.Timah di Belitung kala itu, masyarakat yang kembali lagi mengambil alih ekspansi besar-besaran timah. Akibatnya tambang-tambang liar bermunculan dimana-mana. 

Sifat timah yang mudah dicari dan gampang di dapat dan gampang dijual membuat masyarakat menjadi pragmatis, sehingga hal pragmatis ini menjadi candu di masyarakat. Kebanyakan mulai membuka lahan untuk galian tambang, mencari hanya sekedar mencari tanpa bertanggungjawab. Setelah timah di galian habis, kemudian mengekspansi lagi lahan yang kiranya mengandung timah, dan yang mengerikan kejadian ini terus-menerus terjadi.

Terbitnya novel Laskar Pelangi dan Filmnya sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat. Nama Belitung dalam film dikenal dengan keindahan alamnya terutama pantai-pantainya, eksotis pantainya bahkan bisa melampaui Bali. Perlahan turis domestik dan mancanegara mulai berdatangan karena penasaran dengan pantai yang indah namun jarang terekspose khalayak banyak. Perlahan juga sektor kepariwisataan menjadi aspek perekonomian masyarakat.

Hampir 10 tahun film Laskar Pelangi berlalu dan sekarang di tahun 2018 ini, pariwisata termasuk dalam sektor utama penopang perekonomian masyarakat, namun hal aneh kembali muncul.

Di saat hampir semua aspek sudah mendukung pariwisata, muncul lagi permasalahan Tambang Laut (Timah) yang bakal beroperasi dan sekarang sedang dalam proses untuk jalan operasi. Kita ketahui Pantai yang menjadi andalan dalam pariwisata Belitung adalah bagian dari laut, jika seandainya muncul tambang laut hancur sudah lah pantai yang indah. 

Orang-orang enggan berkunjung ke pantai yang hitam warna lautnya. Mereka pastinya jijik untuk menikmati suasana pantai yang tercemar. Padahal kita ketahui Timah itu barang yang langsung habis jika di ekspansi terus-menerus, setelah timah di laut habis, otomatis kegiatan produksi Timah di laut berhenti dan laut tercemar. 

Masyarakat yang tinggal di pulau seperti Belitung akan lucu jika susah untuk makan ikan, jika laut sudah tercemar, ikan habis, terumbu karang rusak dan biota-biota laut banyak mati.

Jika mereka (pemerintah daerah) fokus memprioritaskan pariwisata, tidak akan menyetujui kehadiran tambang laut. Pariwisata penopang ekonomi jangka panjang dan tidak merusak alam, tambang penopang ekonomi jangka pendek dan sangat merusak alam. Belum hilang luka lama bekas peninggalan PT.Timah di darat muncul lagi Timah-Timah yang terendap di laut.  

Yang lucunya lagi sektor swasta yang menjadi pengelola tambang laut jika seandainya legal beroperasi. Semoga ini menjadi pelajaran bagi kita semua, bahwa jika semua (darat dan laut) sudah rusak, apa jadinya Belitung yang sangat kecil ini kedepannya, anak cucu kita kelak mungkin tidak akan menikmati indahnya alam di pulaunya sendiri akibat rakus dan serakahnya kaum intelektual miskin harta dan gila kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun