Mohon tunggu...
ivana ratisca
ivana ratisca Mohon Tunggu... siswa

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dampak Kekerasan Polisi Terhadap Persepsi Publik Tentang Kinerja Kepolisian Republik Indonesia

18 Oktober 2025   17:18 Diperbarui: 18 Oktober 2025   17:18 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belakangan ini terlihat adanya peningkatan dalam kasus kekerasan polisi. Hal tersebut terlihat jelas disaat maraknya aksi demonstrasi terhadap kinerja DPR. Tewasnya mahasiswa bernama Affan Kurniawan akibat tindakan represif aparat Brimob Polri menjadi sorotan. Kejadian tersebut menimbulkan kekecewaan masyarakat yang memengaruhi cara publik memandang kinerja kepolisian. Pada dasarnya, polisi diharapkan mampu melindungi dan menjaga ketertiban masyarakat dengan menjalankan tugasnya secara profesional dan sesuai dengan aturan. Namun, kasus yang terjadi di lapangan menunjukkan masih banyak aparat yang bertindak dengan tidak bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini menimbulkan kesenjangan antara harapan masyarakat terhadap polisi sebagai pelindung dengan realita bahwa sebagian masyarakat justru melihat polisi sebagai sosok yang antagonistik. Kekerasan aparat tidak hanya merugikan korban secara langsung, tetapi juga dapat memicu krisis kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Jika hal ini dibiarkan, maka hal ini berpotensi menimbulkan perpecahan dalam masyarakat dan memperlemah legitimasi kepolisian di mata publik. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengkaji isu-isu terkait kekerasan polisi dan dampaknya terhadap persepsi masyarakat mengenai kinerja Kepolisian Republik Indonesia.

Fenomena Kekerasan Polisi

Banyaknya tindakan kekerasan polisi yang berujung pada luka-luka dan bahkan kematian menunjukkan adanya pola penggunaan kekuatan yang berlebihan.Padahal, aparat keamanan seharusnya hanya menggunakan kekuatan sebagai langkah terakhir. Menurut Atnike Nova Sigiro, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, mengatakan dalam catatan media Kontras, tercatat 35 pembunuhan di luar hukum yang menewaskan 37 orang, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, kasus kekerasan polisi menaik dari tahun ke tahun. Hal tersbut bisa terjadi dikarenakan adanya konflik norma antara Perkap No. 1 Tahun 2009 dan prinsip-prinsip hak asasi manusia internasional. Konflik ini menunjukkan bahwa peraturan yang ada belum sepenuhnya mengakomodasi standar internasional, yang dapat menimbulkan dilema bagi petugas kepolisian dalam menjalankan tugasnya. Misalnya, penggunaan kekuatan yang berlebihan saat mengamankan kerumunan atau demonstrasi seringkali berujung pada pelanggaran hak asasi manusia (Siti Nursyafifin dkk. (2024).

 Salah satu permasalahan lainnya adalah kurangnya hukuman terhadap aparat kepolisian yang melanggar peraturan. Penelitian Ganung Alif Mahatva Pratama (2023), menunjukkan kelemahan dalam implementasi Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951 terkait penyalahgunaan senjata api, baik oleh masyarakat sipil maupun pejabat negara. Temuan penelitian menunjukkan bahwa vonis yang terlalu ringan terhadap pelaku seringkali tidak memberikan efek jera, sehingga kasus penyalahgunaan senjata api terus berulang. Dalam konteks kepolisian, hal ini menjadi perhatian serius, karena tanpa sanksi yang tegas dan proporsional, kewenangan aparat untuk menggunakan senjata api dapat disalahartikan sebagai impunitas. Kurangnya konsistensi pelatihan berbasis hak asasi manusia, kurangnya pemantauan, dan kurangnya pemberian sanksi atas pelanggaran, adalah beberapa contoh masalah yang membuat penyalahgunaan kekuasaan dalam kinerja kepolisian terus meningkat. Banyaknya kekurangan dalam kinerja kepolisian mendukung adanya kekecewaan masyarakat terhadap polisi.

Harapan Masyarakat Terhadap Polisi

Polisi diharapkan oleh masyarakat untuk menjadi pelindung, pengayom, dan penegak hukum yang adil. Namun dengan banyaknya kasus yang muncul terkait penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak aparat kepolisian, banyak masyarakat Indonesia yang tumbuh kecewa terhadap kinerja kepolisian. Dampak yang ditimbulkan media terhadap opini masyarakat menjadi semakin cepat dan luas dengan adanya internet. Internet yang tak terbatas ruang hingga waktu menjadi sebuah sarana yang efektif untuk menyebarkan wacana dalam sebuah teks baik tulis, audio, visual, hingga audio visual (Sari, 2020). Kepercayaan publik ditentukan oleh bagaimana aparat memperlakukan warga negara, ketika aparat kepolisian melakukan sesuatu yang bertentangan dengan harapan masyarakat, maka kepercayaan publik akan menurun, hal ini dapat menimbulkan berbagai dampak negatif. Kepercayaan publik penting untuk dibangun karena hal ini mencerminkan kepercayaan publik bahwa polisi berhasil meyakinkan publik bahwa mereka aman dan terlindungi di negara mereka (Jackson et al., 2012; Madon & Murphy, 2021; Nalla & Nam, 2021). Kepercayaan masyarakat membantu menciptakan perekonomian yang sejahtera berdasarkan keyakinan mereka terhadap kebebasan berekspresi dan menjalankan urusan mereka dalam lingkungan yang aman dan terjamin untuk memperkuat posisi ekonomi suatu negara berdasarkan perasaan positif individu terhadap keberhasilan pemenuhan layanan kepolisian. Keselamatan, keamanan, dan hukum serta ketertiban merupakan dasar bagi stabilitas ekonomi, politik, sosial, teknologi, dan lingkungan suatu negara (Beeri dkk., 2019).

Gap antara Harapan dan Realitas

Idealnya polisi adalah sebagai penegak hukum yang profesional dan menjadi sosok yang dapat dipercaya oleh masyarakat dengan memberikan rasa keamanan dan ketertiban (OA Getsa, 2020). Namun, Masih banyak kasus yang menunjukkan kesenjangan antara harapan masyarakat terhadap aparat dengan kenyataan kinerja aparat. Polisi dilihat sebagai sebuah alat kekuasaan yang tak pandang bulu dalam mengeksekusi perintah, sehingga sangat dekat kaitannya dengan tindakan represif di mata masyarakat (Setiyono, 2023). Selain anggapan langsung yang muncul dari masyarakat media juga mendorong anggapan tersebut menjadi lebih jelas dengan mencitrakan aparat kepolisian secara "miring" dalam redaksi beritanya (Junior, 2023). Media memiliki dampak yang cukup besar dalam membentuk opini masyarakat terhadap aparat kepolisian. 

Pada demonstrasi terjadi pada bulan September 2025 lalu cukup menjadi sorotan oleh media. Demonstrasi yang menyuarakan kekecewaan masyarakat terhadap kinerja DPR memicu banyak insiden yang melibatkan kekerasan antara aparat dan peserta aksi. Insiden yang paling menjadi sorotan adalah tindakan represif dari aparat yang dinilai berlebihan bahkan tidak manusiawi. Hal ini menjadi bukti dari ketidakpedulian aparat terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan hak masyarakat untuk mneyuarakan pendapatnya. Hak yang dilindungi oleh hukum nasional maupun internasional ini terlihat diabaikan begitu saja oleh aparat kepolisian. Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), mengungkapkan terdapat puluhan jurnalis yang mendapatkan tindakan kekerasa secara fisik maupun psikis. Aparat kerap dianggap lebih mengedepankan pendekatan kekerasan dibandingkan pendekatan persuasif. Hal ini memunculkan persepsi negatif di masyarakat dan memicu anggapan bahwa polisi adalah sosok antagonistik, bukan mitra masyarakat.

Dampak terhadap Persepsi Publik

Menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian mengakibatkan berbagai dampak yang bersifat negatif untuk negara Indonesia. White dkk. (2021) menyatakan bahwa keselarasan moral polisi dengan warga negara menghasilkan solidaritas dengan warga negara. Demikian pula, Wu dkk. (2021) menjelaskan bahwa ketika masyarakat selaras secara moral dengan lembaga pembuat hukum mereka, mereka akan mematuhi aturan dan peraturan serta berperilaku baik. Tanpa adanya kendali atas kinerja polisi, masyarakat akan menjadi lebih segan untuk mematuhi hukum yang berlaku dalam negara. Ketika masyarakat merasa bahwa kepentingan mereka sama dengan kepentingan lembaga publik yang secara langsung maupun tidak langsung, hal tersebut akan berhubungan dengan tingkah perilaku mereka terhadap pematuhan hukum4. Penelitian menunjukkan bahwa ketika warga negara merasa puas dengan layanan yang diberikan oleh lembaga pemerintah dan percaya bahwa pejabat pemerintah bekerja untuk kepentingan publik, mereka mulai mempercayai lembaga tersebut (Pryce & Gainey, 2022). Kepercayaan ini krusial untuk tingkat kedamaian masyarakat. Pentingnya kinerja lembaga publik dalam memuaskan publik terkait berbagai hal. Akuntabilitas kepolisian juga berkaitan dengan komunikasi kewaspadaan dan transparansi tindakan serta pola kerja untuk menjamin perdamaian dan keharmonisan di negara ini (Ojedokun dkk., 2021). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa studi mendukung adanya korelasi antara kepercayaan publik terhadap kinerja kepolisian dengan kedamaian masyarakat warga negara.

Upaya Perbaikan

Dengan tingginya kasus kekerasan polisi, muncullah upaya perbaikan untuk menangani permasalahan tersebut. Keterbatasan dalam penerapannya di lapangan seringkali menjadi sumber konflik, baik secara hukum maupun regulasi yang tidak sepenuhnya sejalan dengan standar internasional dan kurangnyapelatihan yang menyeluruh bagi para pejabat menyebabkan munculnya risiko penyalahgunaan wewenang. Hal ini tidak hanya mencederai prinsip-prinsip hak asasi manusia, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Dalam perspektif sosiologi hukum, ketimpangan ini dapat dipahami sebagai akibat dari kurangnya integrasi antara norma hukum dan dinamika sosial dalam masyarakat. Untuk menangani masalah tersebut, perlu ada regulasi dalam kinerja kepolisian (Gunawan, 2023).

Hal yang dapat dilakukan oleh tersangka terhadap anggota polri yang telah melanggar hak-haknya dengan melakukan kekerasan terhadap tersangka adalah dengan melaporkan oknum anggota polri tersebut kepada pihak yang berwenang, tetapi biasanya hal tersebut tidak berpengaruh. Jurnal Media Hukum, menyimpulkan bahwa adanya masalah yang lebih mendalam dalam budaya organisasi Polri, di mana pelanggaran sering kali tidak dihukum, sehingga melemahkan legitimasi institusi tersebut. Studi ini menyoroti kesenjangan antara ketentuan hukum normatif dan praktik nyata, yang menunjukkan perlunya pelatihan komprehensif tentang hak asasi manusia, mekanisme pemantauan yang lebih kuat, dan pergeseran menuju pendekatan kepolisian yang lebih transparan dan berorientasi pada masyarakat. Reformasi ini penting untuk memulihkan kepercayaan publik dan memastikan Polri secara efektif menegakkan hukum sekaligus melindungi hak-hak warga negara. Untuk mengatasi persoalan ini, diperlukan reformasi internal di tubuh kepolisian, khususnya dalam hal pengawasan, pelatihan etika, serta penegakan sanksi terhadap aparat yang melanggar. Selain itu, transparansi dalam penanganan kasus kekerasan juga sangat penting agar masyarakat dapat melihat adanya komitmen serius dari institusi kepolisian dalam memperbaiki kinerjanya. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan perlindungan hak asasi manusia, diperlukan langkah-langkah konkret, seperti peningkatan pelatihan bagi anggota kepolisian tentang hak asasi manusia, penguatan sistem pengawasan internal dan eksternal, serta penerapan sanksi yang lebih tegas terhadap petugas yang terbukti melakukan pelanggaran. Tanpa perubahan mendasar dalam sistem dan budaya kerja di Kepolisian Nasional, sulit bagi institusi ini untuk memulihkan kepercayaan publik dan membuktikan komitmennya dalam menegakkan hukum yang adil dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia (Fernando, 2023). 

Simpulan

Kasus kekerasan yang melibatkan aparat Kepolisian Republik Indonesia menunjukkan adanya masalah serius dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Meskipun secara normatif polisi diharapkan menjadi pelindung, pengayom, dan penegak hukum yang adil, realitas di lapangan masih menunjukkan banyaknya tindakan represif dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini menimbulkan kesenjangan antara harapan masyarakat dan kenyataan yang terjadi, sehingga berdampak negatif terhadap persepsi publik terhadap kinerja kepolisian. Kekerasan aparat tidak hanya mencederai korban secara fisik dan psikologis, tetapi juga menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri. Rendahnya kepercayaan publik menjadi indikator bahwa reformasi internal yang telah dilakukan belum berjalan secara efektif. Lemahnya mekanisme pengawasan, kurangnya pelatihan berbasis hak asasi manusia, serta budaya organisasi yang permisif terhadap pelanggaran turut memperburuk citra kepolisian. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah konkret untuk memulihkan kepercayaan publik, antara lain melalui peningkatan transparansi, penegakan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran, serta penguatan pelatihan etika dan hak asasi manusia bagi aparat. Reformasi ini penting agar Polri dapat kembali memperoleh legitimasi di mata masyarakat dan menjalankan perannya sebagai institusi penegak hukum yang profesional, humanis, dan terpercaya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun