Mohon tunggu...
Ivan Tahir Hehanussa
Ivan Tahir Hehanussa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

menulis media cetak & online

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Pudarnya Intelektual Mahasiswa

30 Desember 2015   08:32 Diperbarui: 30 Desember 2015   08:32 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Oleh : Ivan Tahir Hehanussa

Pendidikan merupakan salah satu dasar untuk membentuk manusia menjadi lebih baik, begitu besar peran pendidikan dalam kehidupan manusia hingga berbagai aturan tentang pendidikan dibuat, itu semua semata untuk menyetarakan pendidikan bagi seluruh manusia dan memberikan kesempatan kepada semua manusia untuk mengenyam pendidikan minimal sampai Menangah Atas.

Namun dalam semua kategori pendidikan, Dunia Perguruan Tinggi merupakan salah satu dari sekian banyaknya kelas pendidikan yang menjadi perhatian dan konsen pemerintah, wajar memang, karena Perguruan Tinggi merupakan salah satu institusi pendidikan yang sangat berperan dalam melahirkan kaum intelektual-intelektual yang nantinya akan berperan sebagai penyenggara Negara dan penerus bangsa.

Hingga saat ini, Perguruan Tinggi masih diyakini sebagai temat tumbuh dan kembangnya benih-benih intelektual, hal ini tentu berbeda dengan orientasi satuan pendidikan dasar dan menengah, karena perguruan tinggi merupakan institusi yang memilki kekushusan tersendiri dalam membentuk karakter dan pola hidup masyarakat yang ilmiah. Kita lihat saja pada UU Pendidikan Tinggi nomor 12 tahun 2012 pada pasal 6 butir A dan B, dimana Perguruan Tinggi diselenggarakan dalam rangka mencari kebenaran ilmiah dan membudayakan baca tulis bagi cicitas akademika atau yang sering kita dengungkan “Masyarakat Ilmiah”.

Dalam peradaban pendidikan, Perguruan Tinggi semestinya dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsi yang ilmiah, namun yang patut kita pertanyakan, apakah Perguruan Tinggi kita sudah menjalankan prinsip-prinsipnya sesuai dengan sistim akademik yang direncakan dan dicanangkan? Apakah pelaksanaan orientasi Perguruan Tinggi sudah kita laksanakan berdasarkan etos kerja ilmiah yang intelektual? Pertanyaan yang sangat miris untuk kita jawab.

Perguruan Tinggi memang dikultuskan sebagai tempat pembenihan dan pelestarian benih cendekiawan-cendekiawan bangsa, karena tentunya Perguruan Tinggi memiliki tradisi ilmiah intelektual (intellectual Cultivation)yang sebenarnya benar dan sangat bermanfaat bagi manusia-manusia, namun rasanya semua itu tidak ada artinya jika kita melirik sejenak (tak perlu lama-lama, nanti ketahuan kedoknya) kedalam Dunia Kampus, kita jadi ragu untuk terus mengkultuskan bahwa Perguruan Tinggi adalah tempat Pembenihan dan pelestarian benih Cendekiawan muda bangsa, karena tradisi dan budaya ilmiah itu kini sebatas retorika dan isapan jempol semata. Lihat saja seminar yang dilaksanakan para pendidik dan penyelenggara Perguruan Tinggi, hanya sebatas melaksanakan program, namun tidak memiliki nilai dan itu tentunya adalah seminar dangkal, workshop instan demi menghabiskan anggaran belanja DIPA tahunan. Mirisnya lagi, budaya baca kini tidak lagi membuat kita terpesona karena telah berganti hanya dengan budaya Bicara (Orasi-red) yang hanya menjadi satu-satunya konsen mahasiswa saat ini, sementara budaya duduk di dalam bilik yang sunyi atau sering kita sebut sebagai Perpustakaan tidak lagi terlihat, mungkin teknologi semakin canggih hingga tidak perlu berdiam diri dalam bilik perpustakaan untuk membaca, namun banyak dan rering kita jumpai mahasiswa yang menggunakan teknologi bukan untuk kebutuhan akademiknya, namun untuk bermain media social yah paling tidak nonton film yang diperankan actor kawakan seperti Angelina Jolie, Jhoni Dhep, Hayden Christensen, Jami Bell, Rachel Bilson atau artor-aktor Bollywood seperti Salman Khan, Kharena Kapoor, Sahruk Khan, Ajay Defghan, Sonaly Bandreet, Kajol dan lainnya yang akhir-akhir ini menghipnotis para mahasiswa kita (boli curia, boli kenggena….jadi ingin ikut bergoyang juga).


Hal ini setidaknya memberi isyarat bahwa etos-etos ilmiah intelektual tengah mengalami penurunan. inilah yang mungkin membuat risau dan gelisah para cendekiawan tua bangsa ini karena ketika mereka menilik dunia akademis kita, ternyata yang lebih disibukan oleh tradisi kelisanan (Orality) ketimbang keberaksaraan (literacy) dimana yang seharusnya itu menjadi hal terpenting yang seharusnya didahulukan.

Namun, peran Perguruan Tinggi sebagai benteng pendidikan yang memiliki kewajiban sebagai tameng kewarasan moral Publik seakan tidak lagi memberi harapan (chieee harapan palsu ni ee) bagi bangsa ini, mungkinkah kita harus menyamaknnya dengan baju yang telah luntur warnanya, jika memang iya, maka itu artinya “Telah Pudarnya Intelektual Mahasiswa Kita”. Perguruan Tinggi kita mungkin terlalu disibukkan dengan persoalan-persoalan esensial yang pada akhirnya kita lupa apa peran dan tugas Perguruan Tinggi sebenarnya.

Kita mungkin sudah tahu, banyak Perguruan Tinggi di Indonesia yang carut marut, mulai dari ketidak profesionalan Dosen sebagai ujung tombak perguruan tinggi, ketidak pastian penyelenggaraan Sistim Akademik, hingga ketidak beresan dalam system pengelolaan Angaran DIPA, namun yang lebih parahnya lagi para Pejabat Kampus yang berkelahi hingga kemeja hijau (PTUN-red) hanya persoalan jabatan (hummm…oppo sih maunya..duit mane jadi masalah). Padahal jelas dalam Permendikbud Nomor 41 Tahun 2009 telah jelasmengatur tentang tunjangan berbentuk jaminan kepada tenaga dosen, agar dosen tidak lagi ngelantur sana-ngelantur sini dalam soalan titik aman kedua yakni “PERUT”, bukankah semua hal yang menyangkut dengan kesejahteraan tenaga dosen sudah diberikan dengan selas? Lalu masih apa lagi rebut-ribut soal jabatan segala macam (mendingan konsen dee..sama tugasnya..hehehe..ampun..ampun..ampun).

Berbagai akses kemudahan yang diberikan pemerintah dalam rangka mensejahterakan tenaga pengajar itu ternyata tidak sebanding dengan apa yang dihasilkan Perguruan Tinggi, memang kita tidak harus menyalahkan seluruhnya kepada dosen dan penyelenggara Perguruan Tinggi, karena mahasiswa tentunya lebih mengetahui apa yang mereka butuhkan dan dimana kekurangan intelektual mereka yang harus mereka penuhi, agar menjadi calon cendekia-cendekia yang handal dan memiliki pengetahuan, namun sebagai regulator pendidikan, seharusnya Perguruan Tinggi memiliki peran dan tugas yang sangat amat penting demi terciptanya masyarakat yang ilmiah dan memiliki integritas serta pengetahuan yang nantinya akan bermanfaat bagi Bangsa dan Negara Indonesia ini kedepannya.

Produktivitas akademik ilmiah Mahasiswa kita,jika kita membaca laporan Kompas yang diposting pada tanggal 2 Desember 2014 lalu, hanya terdapat 10 persen hasil penelitian (Karya Ilmiah) mahasiswa yang terealisasi, karena banyak diantara sarjana kita yang menyelesaikan studynya dengan mengandalkan Jasa Pembuat Skripsi. Dari hasil penelitian yang dilakukan Lembaga Penelitian Mandiri (LPM) Maluku tahun 2013-2015, sebanyak 65 persen mahasiswa semester akhir tidak melakukan penelitian akhir untuk membuat laporan (Skirpsi), namun mereka lebih banyak menggunakan sumber dari internet, bahkan diantara 65 persen tersebut, terdapat 43 persen tidak membuat laporan sendiri, namun menggunakan Jasa Pembuat Skripsi (enak juga ya..mau sarjana ada yang bikin skripsi..asal punya duit ajee semuanya beres)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun