Matahari bersinar cukup terik. Sambil menunggu persiapan, para perempuan yang duduk tepekur, tidak saling bicara atau meributkan panas matahari. Lalu para laki-laki rapi berjas dan tutup kepala putih (disebut talitali), seperti parbaringin. Mereka mengatur tempat duduk para pemuda dan pemudi. Bahkan suara anak-anak, meski mereka tidak diperintahkan untuk diam, tidak bersuara keras dan mengganggu.
Sekitar pukul 3, Ketua Parmalim (disebut Ihutan Parmalim yaitu pimpinan tertinggi sekaligus Guru Spritual Parmalim), keluar dari kediamannya. Pemimpin tertinggi dalam agama Malim ini mulai mendaras doa dengan suara lembut dan lancar, doa kepada Debata Mulajadi Nabolon. Sesekali umat menjawab, Nabonar Junjunganku.
Persembahan sesaji (disebut pelean) dibawa oleh para laki-laki (yaitu para Ulu Punguan atau pimpinan cabang) dalam mangkuk-mangkuk, diserahkan kepada Ketua Upacara (Ihutan Parmalim), dan ketua upacara menyerahkan kepada petugas untuk menaruh dan menyusun rapi persembahan itu ke atas mezbah. Doa-doa terus dilantunkan. Kemudian mereka manortor, dalam harmoni dan keindahan dan keteraturan yang luar biasa. Musik (gondang sabangunan) dan tarian (tortor) berpadu serasi.
Laki-laki dan perempuan dewasa (khusus perempuan disebut paniaran) berputar mengelilingi mezbah beberapa kali (ini disebut tortor paniaran). Ketua Malim turut manortor dengan satu tangan, tangan kanannya. Setelah itu sekelompok laki-laki pengantar persembahan sesaji (pelean) itu menyingsingkan pakaian mereka, membawa (disebut mangalahat) seekor kerbau persembahan (disebut Horbo Sitingko Tanduk Siopat Pusoran), dan ditambatkan ke satu pohon (disebut Borotan), yang sengaja didirikan di sana. Mereka mengikat (disebut mamborothon) kepala kerbau itu, dengan sebuah keterampilan bersama yang mengesankan. Kerbau terikat dekat pohon, tidak memberontak, meski bergerak ke sana-sini, sesekali.
Mereka terus menari, pemusik gondang sabangunan memainkan musik, Uluan (Ihutan Parmalim) menyampaikan doa. Sungguh keteraturan yang indah.
Sementara itu langit di atas berubah hitam. Angin membawa air dalam awan-awan di atas lokasi, dan menurunkan hujan. Uluan (Ihutan Parmalim) tetap dalam posisi doa, dalam hujan. Umat tidak bersuara hanya bergerak sedikit, menghindari diri dari terpaan hujan yang keras bagi beberapa perempuan berumur, dalam suasana terbit dan kesopanan kepada atmosfer doa.
Mereka menyelesaikan doa dan tarian dan semua ritual, dalam hujan, dalam harmoni. Hujan dan panas bagi mereka, adalah sama. Semuanya pemberian dari Sang Maha Kuasa. Manusia hanya bisa menyesuaikan diri, tak mengeluh tak mengutuk.
Tak membosankan mengikuti upacara yang berlangsung seharian itu. Menurut Manurung, ada sekitar 800 orang yang datang dari pelbagai daerah, dan menginap di lokasi. Upacara ini sudah berlangsung sehari sebelumnya, dan akan selesai pada keesokan harinya.
Pada akhir ibadah, kami sempat mendekati Uluan (Ihutan Parmalim), Amang Raja Monang Naipospos, dan kami diajak untuk masuk ke rumah kediamannya. Upacara yang tertib, kata kami. Kenapa kami tertib seperti itu, karena tiap orang tahu apa yang harus dilakukan.
Jawaban yang sederhana dan mengena. Setiap orang yang tahu untuk apa dia ada di sana, dia akan tenang, mengikuti setiap ritual, hati dan dirinya berada di sana, tidak di tempat lain. Â
Itasiregar/17Agustus2025