Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Naftali [6]

6 Oktober 2022   08:41 Diperbarui: 6 Oktober 2022   08:53 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Tiba-tiba segerombol anak sekolah muncul dari balik dinding. Pelataran mendadak dipenuhi pelajar berseragam yang bersenda-gurau dan saling mengejek, mengabaikan guru mereka yang sibuk menjelaskan sejarah Borobudur. 

Thiru segera tidak menyukai pemandangan itu. Seharusnya anak-anak diajari menghargai peninggalan kuno dan gurunya, omelnya. Bagaimana guru-guru ini mengajar sejarah kepada anak muridnya?  

Satu tingkat menuju puncak stupa kami berpapasan dengan Watanabe. Ia bersorak seperti anak kecil memandang kami, membungkukkan tubuhnya, tersenyum malu-malu. Lesung di pipinya bertambah dalam, seolah-olah ada bolong kecil di pipi kiri-kanannya. 

Aku memandang si pipi chubby itu untuk beberapa saat. Kau boleh menerkamnya sekarang, Sayang, goda Thiru. Kamu suka candi ini, Watanabe? tanyaku seperti seorang ibu yang bertanya kepada anaknya yang baru kembali dari sekolah. Ya, candi bagus, jawabnya tanpa memandangku. 

Aku meminta semua orang saling berfoto dengan kamera masing-masing. Thiru berpose dengan tangan dijulurkan menyentuh stupa dan tubuh Buddha. Kamu benar-benar manusia kuno, seruku geli melihat gayanya. Watanabe terkekeh-kekeh. Orang Muslim dan Kristen merusak tempat-tempat seperti ini dengan alasan agama,  omel Thiru. 

Tidak semua seperti yang kamu pikir, sahutku. Watanabe mengangguk-angguk, menyetujui perkataanku. Buktinya, sebelum kedua agama itu tersebar ke seluruh dunia, bumi ini aman dan damai. Sekarang mereka menuduh Hindu dan Buddha menyembah dewa-dewa dan mengklaim hanya agama mereka yang benar dan direstui Tuhan, ujarnya sambil menggerak-gerakkan tangannya di udara, yang jelas tak menambah bobot ceritanya. 

"Kamu cocok menjadi guru sejarah, Thiru," kata Watanabe dengan sopan, mengangguk-angguk.

"Mengajar di angkasa," jawabku dan Thiru, bersamaan, lalu kami tergelak  bersama. 

Kami beristirahat di Warung Jangan Lupa, seperti diisyaratkan Bambang, yang menyediakan setangkup roti tawar dengan pilihan jam nenas dan peanut butter, satu telur rebus, sepiring buah-buahan, dan pilihan kopi atau teh, kepada setiap peserta tur. Aku pesan kopi, Watanabe teh, Thiru membeli Pocari Sweat. Aku lalu bertanya kepada Watanabe, tentang siapa yang mewarisinya lesung pipi. Ibu saya, hehe, ibu saya. Ibu saya suka tersenyum karena mempunyai lesung pipi yang indah, jawabnya sambil mengangguk-angguk. 

Thiru menyuapiku potongan telur rebus. Saya suka kemesraan kalian, komentar Watanabe. Setelah berkata itu wajahnya benar-benar merah seperti udang rebus dan matanya hanya segaris. Kalau nanti saya punya kekasih, kalau ada yang mau, saya ingin yang seperti Naftali yang manis seperti bayi, katanya lagi sambil mengangguk-angguk, menyembunyikan wajahnya. 

Thiru tertawa besar mendengar itu. Watanabe, Naftali sudah jatuh cinta kepadamu sejak sekarang, kata Thiru. Ah, tidak, tidak, saya tidak mau mencuri kekasih orang, kata Watanabe mengangguk-angguk lagi, sungguh-sungguh. Kami tertawa girang. Teman-teman segrup melirik kami, ikut tersenyum meski tidak tahu masalahnya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun