Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Naftali [1]

3 Oktober 2022   11:53 Diperbarui: 3 Oktober 2022   12:29 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Naftali

Oktober 2006. Aku terbang ke Bali untuk mengulang peristiwa manis sebuah festival yang kusambangi persis setahun sebelumnya. Di Desa Ubud. Ini tahun kedua, festival yang mempertemukan penulis dan pembaca.  

Pada satu sore yang sibuk, tanpa sengaja kami berjumpa di gerbang Puri Royal Ubud, kediaman bangsawan Bali yang menyokong kegiatan, menjelang perayaan pembukaan. Aku penulis dengan sejumput jam terbang, dia pelancong yang tiga hari melawat puluhan candi, pura, ashram, dengan khidmat, di sekujur Klungkung, Besakih, Bangli, Karangasem. Ubud adalah malam terakhirnya. 

Aku mengantre tenang sambil melamun mengelus-elus  kalung polyester, 4-day pass-ku. Dia berdiri selang tiga orang di depanku, tertahan petugas perempuan mungil di pintu masuk yang dengan gerakan tangan di udara menjelaskan sesuatu kepadanya, sepertinya agak genting, dan saat itulah aku memperhatikan. 

Anda perlu undangan atau identitas untuk bisa masuk, petugas mungil menjelaskan kepadanya dalam bahasa Inggris, lurus-lurus.  Seperti apa, tanyanya datar. Petugas itu menunjukkan selembar kertas undangan, kemudian kalungnya sendiri, seperti milikku. Dia kelihatan mengerti apa yang dimaksud petugas, berkata, saya hanya ingin melihat sebentar lalu keluar. Bahasa Inggrisnya sekarang kentara beraksen India yang kental. Saya sarankan Anda ke box office untuk mendapatkan identitas ini, si mungil bertahan, memamerkan senyum sambil menegakkan peraturan.

Menanggapi usul itu dia mengangkat kedua tangan ke udara, tanda mengalah, meninggalkan lokasi dengan gerakan biasa tanpa maksud melecehkan petugas atau peraturannya. Traumatik peristiwa Bom Bali 2002 tampaknya masih membekas pada sikap kehati-hatian warga. 

Antrean berikutnya maju. Dalam sedetik, entah untuk alasan apa kesadaranku mengatakan untuk keluar barisan, mengejarnya. Hei, panggilku. Dia tak mendengar. Langkahnya panjang dan cepat, menuju Pasar Ubud. Aku berlari agar bisa menghadangnya. Melihatku di depannya dia berhenti, menatapku, menunggu. Maaf, Anda masih mau masuk ke dalam sana? tanyaku dalam bahasa Inggris. Dia tak bergerak memikirkan apa maksud tawaranku, lalu menggerakkan alisnya, pandangannya curiga. Saya bisa antar Anda mendapatkan identitas seperti ini, kataku cepat sebelum dia memikirkan yang lain, menunjukkan kartu 4-day pass-ku. Wajahnya yang mengeras tadi sedikit melembut, kemudian berkata, oh tidak, terima kasih, tidak perlu lagi, jawabnya mengangkat tangan seperti yang tadi dilakukannya di pintu masuk, kepalanya menggeleng-geleng.

Mulutnya menolak, tetapi telingaku mendengar lain. Aku memegang lengannya erat seperti lintah menempel pada kulit manusia, menariknya untuk berjalan. Box office hanya lima menit dari sini, kataku percaya diri. Hei, hei, apa ini? serunya. Tapi dia tidak melawanku, melangkah mengikuti arahanku. Setelah beberapa langkah aku melepas peganganku, bertanya namanya. Thiru, jawabnya. Dari India? tanyaku lagi. Tamil, jawabnya. 

Di BO kulihat Bob, relawan Australia yang gemar berkostum Bali, yang bersiap pergi. 

"Hi, Darling!" sapanya.

"Bob, aku perlu bantuanmu. Temanku, relawan, baru datang," kataku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun