Kawan saya menyuruh adik itu untuk pulang, beristirahat, besok pagi kembali.Â
Keesokan paginya terjadi hal yang sama. Kakinya melangkah memasuki teras dan perutnya diserang rasa mual yang hebat. Kawan saya membalur tubuh si adik dengan minyak kayu putih, memijat lehernya pelan, mencari tahu apa penyebab mual. Apakah masuk angin pagi, bau-bauan di sekitar restoran (sepagi itu belum ada aktivitas memasak), kondisi tertentu atau apa?
Saat membalur, kawan saya melihat tangan kiri si adik menggenggam sesuatu.
Apa itu, tanya kawan saya.
Bukan apa-apa, jawab si adik.
Sedikit memaksa, akhirnya adik itu bersedia memperlihatkan apa yang ada dalam genggamannya. Kemiri dalam kondisi buruk, dibungkus secarik kain -super kumal, dan diikat karet.
Si adik berkata bahwa jimat itu diberikan oleh ayahnya, dengan pesan untuk selalu menggenggamnya agar terjaga dari serangan-serangan jahat dari luar.Â
Itu keyakinan yang salah, kata kawan saya. Kita harus buang benda ini. Benda ini tidak berkuasa sedikit pun atas diri kita.Â
Kamu setuju benda jelek ini saya buang, tanya teman saya setelah memberi penjelasan. Si adik menggangguk. Lalu mereka berdoa kepada Tuhan Seru Sekalian Alam, Pemilik Semesta, Sang Firman itu, untuk melindungi mereka.Â
Tidak ada yang terjadi setelah itu. Si adik dapat bekerja dengan baik karena ia lebih percaya diri.Â
Teman saya, yang sudah lebih dulu dibebaskan dari masalah, meluangkan waktu tiap minggu untuk mengunjungi kawan-kawan odgj. Saling mendoakan, saling menguatkan, saling menghibur.