Fakta tentang Mudik Lebaran
Mudik dapat dikategorikan sebagai perjalanan wisata, yang jelas-jelas merupakan kemewahan (kebutuhan tersier) bagi kalangan menengah ke bawah. Ditambah lagi, fakta bahwa penuaian 'komoditas' langka ini hanya setahun sekali. (Bandingkan dengan tuntutan kebutuhan primer yang wajib dipuaskan setiap harinya. Atau kebutuhan akan pulsa HP paket mingguan atau bulanan yang digolongkan pada kebutuhan sekunder).
Berdasarkan kedua faktor di atas (biaya dan waktu), mudik Lebaran ditetapkan sebagai kebutuhan tersier.
*
Namun faktanya...
1. Pengorbanan Ekonomi
Seorang penyapu jalan bahkan menjual sepeda di tempat kerjanya di Jakarta, demi menutup biaya mudik ke kampung halamannya di Boyolali. Bahkan ia berencana 'memboyong' sejumlah hadiah (amplop) untuk kerabatnya di sana. Ia juga menyisihkan untuk ongkos hidup beberapa hari di desanya, dan mempersiapkan uang untuk sedikit berjalan-jalan ke tempat wisata lokal bersama keluarganya.
Ilustrasi di atas menggambarkan kebutuhan sekunder (sepeda) yang dikorbankan demi kebutuhan tersiernya (perjalanan pariwisata mudik).
Tak jarang pada masyarakat berpendapatan sangat rendah (the haves-not), diperkirakan terjadi fenomena pencairan tabungan menjadi konsumsi.
2. Pengorbanan non-ekonomi
Mudik sebagai perisitiwa siklus tahunan, amat khas ditandai dengan sikap pasrah para pemudik walau terjebak kemacetan berjam-jam hingga berhari-hari. Termasuk orang-orang penting (the haves) yang biasanya menganut falsafah "Time is Money", kini bahkan ikhlas untuk 'wasting time', dalam bentuk mengantri, mulai dari tahap ticketing, entry, dan seterusnya. Antrian mengular ini terjadi baik di bandara udara, stasiun kereta api, pelabuhan, dan gerbang-gerbang tol.