Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Tujuan Bukan Reportase Perjalanan

10 Maret 2015   21:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:50 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini Kisah nyata. Catatan tertinggal ketika saya bersilaturahmi pada Guru Sekolah Menengah Pertama. Pertemuan yang pertama setelah 35 tahun berpisah menginggalkan banyak cerita dan banyak inspirasi. Salah satunya yang saya tuliskan ini.

Saya menghabiskan waktu tiga tahun untuk menyelesaikan sekolah SLTP yang dimiliki yayasan misi khatolik. Nama sekolah tersebut, SMP Xaverius. Sudah tentu, guru-gurunya Beragama khatolik.

Meskipun demikian, hubungan pribadi-pribadi antara murid dan guru cukup akrab, tak ada sekat keyakinan agama yang memisahkannya. Termasuk saya dengan guru yang ada dalam cerita saya kini. Sebut saja namanya pak Puji. Beliau seorang penganut khatolik yang fanatik, dari ujaran-ujaran yang beliau ucapkan sehari-hari, mengambarkan kesalehan beliau. Demikian juga perilakunya yang santun penuh kasih. Lengkap sudah penyatuan antara ajaran kitab yang tertulis dengan perilaku keseharian beliau. Ini pula agaknya, yang membuat saya menghargai beliau, meskipun mata pelajaran yang beliau berikan bukan mata pelajaran favorite saya. Mata pelajaran pavorite saya Ilmu Ukur & Aljabar, sedangkan beliau mengajar bahasa Indonesia.

Singkat cerita, pertemuan setelah perpisahan tiga puluh lima tahun itupun terjadi. Saya bersama adik mengunjungi beliau. Seorang yang saya hormati. Ketika itu beliau sedang berada diberanda depan rumahnya, sekitar pukul empat sore. Mengetahui kedatangan saya, beliau peluk saya, layaknya orang tua memeluk anaknya. Anak yang hilang itu, telah kembali. Lalu setelah, acara basa-basi diteras itu, beliau mengajak saya masuk ke ruang tamu, tak lama kemudian, masuk pula ke ruang tamu isteri beliau, anak beliau dan menantu beliau.

Anak dan menantu itulah yang menjadi pemicu dituliskannya tulisan ini. Anak pak Puji, sebut saja Sri, adalah anak yang manis, ketika saya sekolah dulu, masih anak-anak sekali. Sri sekolah di sekolah Misi khatolik dari mulai TK hingga tamat SMA. Lalu kuliah di Universitas Negri di Provinsi yang sama. Bertolak belakang dengan latar belakang kehidupan Sri. yang kini duduk di depan saya, adalah Sri yang memakai Jilbab Syar’i (ini untuk membedakan dengan Jilbob). Sementara suaminya, berkumis tipis dan berjenggot lebat. Seorang tokoh ulama. Jujur saya kaget melihat penampilan anak dan menantu dari seorang tokoh Khatolik di daerah, dimana saya menghabiskan masa SLTP dulu itu.

Saya lihat pak Puji hapy-hapy saja, demikian juga dengan isteri beliau. Dari tatap mata mereka berempat saya lihat mereka semua bahagia. Tak tergambar adanya ganjalan karena perbedaan kepercayaan antara anak dan orang tua. Sayapun menghilangkan rasa kaget untuk selanjutnya larut dalam kebahagiaan keluarga yang saya kunjungi itu.

Pulang dari Silaturahmi pada keluarga yang bahagia itu, adik saya bertanya, bagaimanakah menjelaskan fenomena yang baru saja terjadi tadi. Apa alasan logisnya, hingga mereka mampu bahagia dalam perbedaan itu.

………….

Inilah alasan logis yang saya berikan pada sang adik. Alasan yang belum tentu benar. Karna hanya berdasarkan logika sederhana dan dengan pendekatan-pendekatan analogi saya saja. Jika ada kekeliruan dalam penjelasan itu, saya harap saudara-saudara saya pembaca semua, mau memberikan koreksi dan masukan membangun.

Ber-Tuhan adalah tujuan. Sedangkan beragama, adalah jalan.

Begini analoginya. Jika kita menempuh perjalanan antara Surabaya dan Jakarta. Maka Jakarta adalah tujuan. Sedangkan apa yang kita lihat, kita rasakan, serta metode yang dilakukan dalam menempuh perjalanan itu, disebut agama.

Tetapi, mengapa ada perbedaan antara agama-agama jika tujuannya sama? Jawabannya sederhana. Karena, mungkin perjalanan dilakukan dilakukan dengan waktu yang berbeda. Atau, perjalanan dilakukan dengan jalan yang berlainan. Kita ambil saja contoh A dan B. A melakukan perjalanan dari Surabaya ke Jakarta pada tahun 1990 sedangkan B melakukannya pada tahun 2015. Maka kesan yang dialami A akan berbeda dengan B. Demikian juga dengan tantangan yang dialami A tentu berbeda dengan B. Jika A membuat mannual atau buku pedoman menempuh perjalan ke Jakarta, maka Buku yang dibuat A tentu akan berbeda dengan buku yang dibuat B.

Kemungkinan perbedaan lainnya, moda transportasi yang digunakan berbeda. A menggunakan Kereta Api sedangkan B menggunakan Pesawat Udara. Maka Jika A dan B membuat mannual perjalanan ke Jakarta akan berbeda.

Sedangkan tujuan A dan B sama. Yakni JAKARTA

Bukankah A dan B masing-masing mengklaim, bahwa mannual yang mereka buatlah yang paling benar? Jawabannya, tentu saja. Selama seluruh mannual yang dibuat oleh A atau B diikuti dengan menyeluruh dan total. Yang tidak benar itu, jika kita memakai mannual itu setengah-setengah. Separo kita pakai mannual A sedangkan separo lagi, kita memakai mannual B. Bagaimana menjelaskannya, logika ber-Kereta Api kita gabungkan dengan logika ber-Pesawat Udara?

Bukankah juga, A dan B masing, mengklaim, hanya dengan cara merekalah para pengikut akan masuk syurga? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya merasa takut. Karena seakan mempertentangkan antara A dan B. Padahal, tujuan antara A dan B sama, yakni Jakarta. Lalu mengkriminalisasi salah satunya. Yang benar masuk Syurga dan yang salah masuk Neraka.

Untuk jawaban pertanyaan yang terakhir ini, saya tetap menggunakan analogi lagi. Rakyat boleh melakukan pelanggaran apa saja, hakim boleh menjatuhkan hukuman seberat apapun sesuai dengan yang tertera dalam kitab hukum. Lalu diujung, hukuman yang diterima Pesakitan, akan ada pengampunan yang mungkin saja diperolehnya oleh kebaikan sang kepala Negara dengan hak Prerogatifnya. Pertanyaannya, jika kepala Negara, Presiden atau Raja yang sama-sama manusia saja, memiliki kuasa yang seakan diluar norma hukum yang berlaku. Lalu, Mengapa Tuhan yang memiliki segalanya tidak bisa?

Jika sudah sampai pada pengertian demikian, mengapa pula kita harus usil pada mereka yang tidak sama dengan kita, atau sebaliknya, mereka usil dengan yang kita miliki. Tokh tujuan akhirnya sama. Jika sang Tujuan saja tidak pernah marah dan usil, lalu, mengapa kita usil dan sok benar sendiri. Lakukan saja mannual yang kita miliki dengan sempurna, lakukan saja mannual yang saudara kita punya dengan sempurna. Karna logikanya, hanya kecelakaan yang akan terjadi jika Manual ber-Kereta Api dicampur adukkan dengan mennual ber-Pesawat Udara

Demikianlah, jawaban saya pada sang adik, semoga dia mengerti….. wallahu A’laam

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun