Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cintaku Di Rumah Para Dewa

18 April 2014   15:27 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:31 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Waktu pagi belum sepenuhnya tiba, masih terang tanah, gelap masih enggan untuk  pergi, masih ada beberapa kendaraan yang menyalakan lampu kendaraan, ketika Honda CB 100ku mulai menapaki jalan daerah Baciro, lalu menuju jalan Godean, terus-teruuuuss ke arah barat. Agak dingin memang, tetapi tidak di dalam hati ini. Pipit merapatkan tubuhnya padaku, mungkin dia merasakan kedinginan itu, atau hanya alasan untuk merasakan hangatnya tubuhku, atau…. itu hanya isyarat kalau dia ingin lebih dekat denganku, mumpung masih ada waktu.

“Pit…”

“Ehmmmm”

“Pegangan yang erat….nanti jatuh”

“yupz..” dan kumerasakan ada tangan kecil yang makin erat memegang pinggangku, ada tubuh kecil imut yang makin merapat ke depan. Sedikit kehangatan yang ditimbulkannya, mengalahkan hangatnya hati ini, di dalam dada ini.

Pipit, bukan nama sebenarnya, dia hanya panggilan, tepatnya panggilan khusus dariku untuk Retno, wanita kecil imut-imut dari sekitaran Dieng. Antara Dieng dan Wonosobo. Kami mulai akrab dua tahun ini, ketika aku hampir menyelesaikan kuliah di Bulak Sumur, sementara pipit masih lama. Masih dua tahun dibawahku. Kalau saja semua sesuai rencana, minggu depan aku akan ke Jepang. Untuk waktu lama, gak jelas, bisa tiga tahun, lima tahun atau sepuluh tahun. Semuanya tergantung, pada nasib dan keberuntungan dan suasana bathinku di sana. Sebelum aku berangkat, akan kutuntaskan dulu persoalanku pada Pipit. Semuanya harus jelas, hingga aku akan ringan meninggalkan negri tercinta ini. Dengan satu kepastian iya atau tidak.

Kami sudah berada di perempatan Kenteng, lalu motor aku belokkan ke kanan, ke arah sendang Sono, ke arah Kalibawang. Kini, laju motor CB 100 ini, mulai melambat, tanjakan itu makin terjal dan tinggi saja. Kalibawang merupakan tujuan terdekat kami, hingga akhirnya, motor CB 100 itu sampai di persimpangan yang memisahkan arah ke sendang Sono dan ke Puncak Suroloyo. Ke Puncak Suroloyo, akhir tujuan kami. Setelah mendapat tempat penitipan motor, aku dan Pipit mulai perjalanan ke puncak Suroloyo dengan berjalan kaki. Perjalanan melelahkan!. Jalan setapak, mendaki menyusuri anak tangga beton, yang disana-sini ada yang mulai rusak, dan berjarak lima belas kilo.

Akhirnya, rintangan besar itupun terlewati sudah. Aku dan Pipit tiba diujung perjalanan mendaki yang melelahkan ini. Puncak Suroloyo. Wajah Pipit mungil, imut-imut itu, memerah, mungkin karena ada aliran darah yang mengalir kencang, ketika pendakian tadi, ada keringat yang nyaris menetes di wajah itu. Semuanya terbayar tunai dengan hamparan indah di depan kami. Puncak Suroloyo, dengan ketinggian yang 1.091 meter, pantas disebut sebagai rumah Para Dewa.

Pipit membentangkan kedua tangan lebar-lebar, berlari kesana-kemari seakan, lepas dari beban berat, lalu mendapat apa yang selama ini dicari. Aku tak tak tahan melihat kebahagian yang terpancar di wajah itu. Lalu…. Dengan sekali tangkap, kuraih pingangnya, kamipun hanyut dalam pelukan panjang. Dua hati yang sedang berbunga-bunga itu, jadi semakin dekat, dengan merapatnya dua tubuh kami. Di ujung pelukan panjang itu, kuraih tangan Pipit, kubimbing dia mendekati Patung Batara Guru yang sedang berdiri di atas Lembu Andhini.

“Pit…” kataku pada Pipit, ketika Pipit telah duduk pada sebuah batu dekat sang Batara Guru. Bersebelahan dengan Lembu Andhini.

“Ehmmm..”

“Coba Pipit lihat sekitar kita. Disana terlihat Puncak Gunung Merapi, Puncak Gunung Merbabu, Puncak Gunung Sumbing, Puncak Gunung Sindoro… sementara pada pada ujung lain, coba lihat Borobudur itu..”

“Iya mas… aku lihat semua”

“Indah sekali ya?”

“Bukan hanya Indah Mas, menakjubkan”

“Sementara kita sendiri, kini berada di rumahnya Para Dewa. Di rumahnya Para Dewa ini, disaksikan Batara Guru dan disaksikan empat Puncak Gunung di Tanah Jawa dan Borobudur. Aku melamarmu Pit, bersedialah jadi istriku. Berjanjilah kau akan mendampingiku hingga kakek nenek, hingga maut memisahkan kita”

“Iya Mas, aku bersedia dan berjanji..”

“Lalu..”

“Lalu apa Mas?”

“Kita akan jadikan ritual kunjungan setiap tahunnnya, ke Puncak Suroloyo ini, setiap tanggal 20 Februari, sesuai hari lahir Pipit, dan hari ketika Mas melamar Pipit di puncak Suroloyo ini, hari ini”

******

Sudah sejak jam sepuluh tadi, aku duduk di puncak Suroloyo, tak ada yang berubah, Batara Guru masih berdiri di tempat yang sama, dengan arah sudut pandang sama, demikian juga keempat Gunung itu dan Borobudur itu, masih di tempat yang sama. Tak ada yang berubah, meskipun empat tahun telah berlalu. Ternyata alam lebih kokoh, lebih kuat dari aku dan Pipit. Mereka lebih konsisten pada posisinya. Meski tanpa bicara, dalam hening.

Seminggu setelah aku melamar Pipit di puncak Suroloyo, akupun ke negeri Matahari terbit itu.Sepuluh haridi Negeri matahari terbit itu, musibahpun terjadi, 11 Maret 2011. Gempa dengan kekuatan 9,0 pada skalarichter, menghancurkan segalanya, menimbulkan Tsunami hebat, terutama pada semenanjung Oshika, pantai timur Tohoku. 15.269 orang tewas dan 8.526 orang hilang. Meskipun aku selamat, tapi semua data yang kumiliki hilang, termasuk personal contact pada Pipit. Hubunganku dengan Pipit terputus.Tak ada yang bisa kujadikan alat untuk menghubungi Pipit. Semuanya hilang kontak. Empat tahun sudah, semuanya berjalan dalam kesunyian, mungkin Pipit, menyangka aku salah satu korban dari musibah itu.

Empat hari lalu, aku kembali ke Jogya, kembali ke kota ku, Jogya yang kini, sudah jauh berbeda, Malioboro sudah penuh sesak, Mall dimana-mana, hotel-hotel megah berdiri, membuat aku asing dengan Jogya ku sendiri. Kemana sepeda-sepeda itu, yang dulu merajai jalan-jalan di kotaku. Empat hari yang membosankan aku dalam penantian. Sesuai komitmen kami, pada tiap tanggal 20 Februari, kami akan selalu mendaki puncak Suroloyo. Jika saja hari ini, di puncak Suroloyo ini, Pipit tak jua muncul, itu artinya besok aku akan ke Wonosobo, lalu naik sedikit, menjelang Dieng, disitulah tujuanku, rumah bidadari kecilku, rumah Pipit.

Rasanya, waktu bergerak sangat lamban, sama seperti halnya di rumah para Dewa ini, tak ada perbedaan yang mencolok antara kemarin, kini dan bilangan tahun kemudian. Kemanakah kau, bidadari kecilku, apakah kau lupa dengan janji yang kita ucapkan di rumah para Dewa ini, empat tahun lalu, janji kita akan selalu mengunjunginya setiap tanggal 20 Februari, tanggal yang keramat bagiku dan bagimu. Tanggal hadirnya kau kepermukaan bumi ini, tanggal lahirnya tekad kita untuk menghabiskan sisa usia kita untuk bersama, menapaki cinta kita. Merajut masa depan kita, sesuai apa yang kita idamkan.

Tiba-tiba………Aku mengusap-usap mataku, takut mata ini salah lihat, dari anak tangga terakhir tempat arah datang, sosok itu berjalan ke arahku, sosok yang sangat kukenal, sosok bidadari kecilku, Pipit. Kami berpelukan erat. Lamaaaa. Di rumah para Dewa ini, disaksikan empat puncak Gunung dan Borobudur serta Batara Guru. Kami dipertemukan kembali.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun