Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Bersedekah Pada Yang Kaya

4 Oktober 2014   17:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:24 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gak salah tuh judul? Bersedekah pada yang orang kaya? Bukankah orang kaya tak memerlukan sedekah lagi. Bener, orang kaya tak memerlukan sedekah lagi. Tetapi bukankah hakekat sedekah itu, memberikan sesuatu yang dapat membuat mereka yang disedekahi merasa senang. Merasa, jika dia tidak sendiri, melainkan masih ada orang sekitar yang masih perduli pada mereka. Rasa tidak sendiri dan rasa masih ada yang perduli itu, yang kadang jauh lebih berharga dari nilai nominal benda yang mereka terima.

Kejadian ini, bermula ketika saya berada di Medan. Sebelum ke Medan, saya singgah di rumah orang tua, lalu cerita pada Ibu, jika saya akan ke Medan, tujuannya karena ada pekerjaan yang akan dikerjakan di Medan selama kurang lebih satu setengah tahun. Lalu ibu, cerita, jika di Medan, beliau memiliki kakak sepupu yang lama tak ada kabar berita. Saya diberi tugas, agar menyambangi beliau, istilah ibu, merangkai kembali tali ikatan keluarga yang hampir putus. Sayapun menyanggupi tugas yang diberikan ibu. Tugas mulia “merangkai kembali tali ikatan keluarga yang hampir putus”.

Singkat cerita, pagi itu saya telah tiba di Medan, sekitar jam Sembilan pagi. Dengan berbekal alamat yang diberikan Ibu, sayapun mencari alamat Paman. Alhamdulillah dalam waktu singkat, alamat yang diberikanpun akhirnya dapat saya temui.

Dengan memperkenalkan diri dan menceritakan serba ringkas siapa saya, maka akhirnya saya diterima dalam keluarga besar itu. Ketika makan malam sore itu, hampir seluruh keluarga besar Paman kumpul. Semacam acara suka cita, karena bagian keluarga yang dianggap hilang itu, kini telah ber”temu” kembali.

Apa yang digambarkan Ibu, tentang kondisi keluarga Paman, ketika saya akan berangkat ke Medan, tidak semuanya benar. Paman yang saya lihat, benar-benar seorang pedagang sukses. Beliau memiliki tiga buah ruko berlantai empat. Dua ruko ditempati anak-anak beliau yang menjadi pedagang seperti beliau. Satu ruko lain ditempati beliau, yang hingga kini (ketika peristiwa ini terjadi) masih beliau usahakan untuk berdagang alat-alat rumah tangga.

Pagi-pagi setelah sholat subuh, seluruh anggota keluarga, Paman dan beberapa orang pegawai yang tinggal di rumah beliau, memulai aktifitas “business”. Membuka toko dan menyusun semuanya serapi mungkin, sekitar jam setengah tujuh, semuanya beres. Bisaanya untuk sarapan pagi, Bibi membeli sarapan pada warung yang berada di seberang toko beliau. Sarapan dilakukan secara bergantian diantara pegawai beliau, sedangkan saya dan Paman akan sarapan setelah pegawai beliau selesai sarapan semua.

Memang ada sesuatu yang berbeda, jika dibandingkan dengan Jakarta, aktifitas toko Paman termasuk sangat pagi, sejak jam setengah tujuh pagi, sudah ada saja mereka yang belanja, apakah itu untuk dijual lagi atau untuk dipakai sendiri. Sedangkan untuk Jakarta bisaanya dilakukan setelah jam 9 pagi.

Setelah tiga hari berada di rumah Paman, saya berniat untuk pindah ke Mess yang disediakan perusahaan, karena aktifitas proyek sudah akan dimulai. Tetapi beliau mencegahnya, dengan alasan tak mau jika kepindahan yang cepat itu, diarikan sebagai pertanda saya tidak betah, dan itu berarti ada sesuatu yang membuat saya tidak betah, lalu apa yang akan dikatakan ibu saya tentang Paman kalau itu benar. Demi menjaga perasaan beliau, maka kepindahan dari rumah Paman saya tunda.

****

Sejak malam itu, kesibukan saya bertambah. Setiap pulang dari proyek saya selalu membawakan dua bungkus Jamu yang sudah diseduh, Jamu yang saya beli ketika dalam perjalanan pulang, lalu sambil meminum Jamu, cara minum Jamu yang saya lihat rada aneh, karena Paman meminumnya seperti minum kopi saja, diseruput pelan-pelan, sedikit demi sedikit, kami melihat TV dan ngobrol. Pada kesempatan ngobrol itu, Paman banyak bercerita tentang ibu, tentang nostalgia mereka berdua ketika kecil, cerita-cerita yang membuat saya surprise, karena, banyak dari cerita itu, ibu tak pernah menceritakan sebelumnya. Lalu ritual minum Jamu akan selesai ketika jam menunjukkan pukul 12 malam, ketika Jamu baru saja tandas kami minum dan siaran TVRI menyanyikan lagu rayuan pulau kelapa, sebagai pertanda usainya siaran.

Ritual minum Jamu yang memiliki banyak dimensi, mengakrabkan antara sang Paman dan Ponakannya, membuat sang Paman gembira, karena ada tempat untuk curhat tentang cerita masa kecilnya bersama sang adik, sekaligus membawa kepayahan fisik tersendiri bagi saya. Betapa tidak, tidur jam 12 malam, lalu setengah lima pagi setelah sholat Subuh, langsung berkeingat-keringat membantu Paman menyusun dagangannya, lalu pergi ke Proyek, kerja fisik hingga jam delapan malam….. begitu terus menerus dilakukan. Namun, yang membuat saya terkejut, badan ini kok merasa tambah sehat saja? Apakah karena rutin tiap malam minum Jamu bersama Paman, atau karena suasana akrab yang diciptakan Paman itu yang memenuhi rongga hati ini, sebagai obat dari rasa rindu pada ibu atau karena gerak fisik yang teratur, dengan irama yang sama. Entahlah…mana yang benar.

*****

Malam itu, saya pulang dengan tambahan yang lain, selain membawa dua bungkus Jamu seduh, saya juga membawa satu pak rokok, dengan merk rokok yang bisaa dihisap Paman. Karena sore tadi saya menerima gaji pertama untuk proyek di Medan ini.

Awalnya, saya berniat sebagai sebuah kejutan saja, sekaligus rasa terima kasih karena sudah bisa menemani Paman selama satu bulan di rumah beliau. Selesai saya menuangkan Jamu pada dua gelas yang saya sediakan, lalu saya memberikan rokok itu. Reaksi yang terjadi pada Paman, membuat saya sungguh terkejut. Paman menangistersedu-sedu… saya bertanya; “ada apa Paman?”.

Paman menceritakan, beliau sangat terharu, bagaimana ponakan yang baru saja bertemu dengan beliau, memberikan perhatian yang begitu besar pada beliau, awalnya dengan buah tangan rutin berupa Jamu, dan mendengarkan seluruh kisah-kisah beliau. Kini, ditambah dengan rokok satu pak. Padahal anak-anak beliau yang telah beliau besarkan hingga seluruhnya selesai dengan pendidikan S1. Tidak memberikan perhatian demikian. Mendengar curhat beliau, saya jadi larut dalam keharuan itu.

Peristiwa itu, sudah lama berlalu, Paman kini sudah almarhum, tetapi cerita tentang Paman, menyadarkan pada saya, bersedekah tidak harus pada mereka yang terlihat kekurangan secara materi saja, pada mereka yang berkecukupan secara materi, kadang perlu juga diperhatikan, mereka bisa saja miskin perhatian, miskin rasa damai dan kaya akan kegersangan Jiwa.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun